[iv]

77 8 0
                                    

Menepuk pundak sang kakak sekali, Elizabeth memilih beranjak dan pergi meninggalkan Albertus dengan sejuta kesakitan dalam hatinya. Gundah dan resah, itulah yang kini terjalar dalam hati Albertus. Mengapa wanita itu datang ke Batavia?

"Na al die tijd ... waarom kwam je weer opdagen Isabel?"

Albertus termangu dalam senja yang semakin menghilang diganti malam. Jari-jari pria itu bertautan dibalut dingin udara kota Batavia. Pikiran dan hatinya bertanya dibalut gundah tiada tara. Menunggu baswara berganti rembulan dengan perasaan sulit dijelaskan. Albertus mengira, wanita Netherlands itu tidak akan datang lagi. Setelah sekian lama, Isabel justru kembali menemui dirinya. Niat apa yang ada dalam pikiran pun hati wanita itu, Albertus tak mampu memprediksi sama sekali.

Ketika udara berhembus kian dingin dan memayungi bumi dengan kegelapan, Albertus memutuskan untuk beranjak dari kursi teras. Masuk ke dalam rumahnya guna menenangkan barangkali sedikit rasa gelisah yang kini berpacu dalam diri pria itu. Sulit mengekspresikan diri, kerap membuat Albertus kelimpungan sendiri. Pria itu selalu menjaga raut muka dalam kondisi-kondisi tertentu. Ketika dilanda gundah, penjagaan pada ekspresi nya makin sulit di kendalikan.

Melangkah lebih dalam, mata segelap malam milik Albertus menangkap pergerakan seseorang yang sibuk mengelap guci dengan kain yang bertengger manis di tangannya. Tersenyum kala menyadari bahwa itu wanita yang ia kagumi,  Albertus mendekat beberapa senti. Mengikis jarak diantara keduanya.

"Saya harap, kamu tidak lupa soal malam ini."

Laras yang menebalkan telinga mendengar kalimat tuannya, spontan menghentikan pergerakan tangan. Jelita itu menoleh mendapati senyum Albertus ter arah untuknya. Pria ini benar-benar mengharapkan pertemuan itu. Entah apa maksud dan tujuan di balik pertemuan mereka nanti malam.

Menarik napas panjang, Laras kembali menatap guci yang sedang ia bersihkan dan berkata ,"iya tuan. Saya tidak lupa."

Beberapa detik setelah kalimat Laras menyentuh indra pendengarannya, Albertus tersenyum lagi. Wajah putih pria Belanda itu berseri-seri bak di terpa kegembiraan bertubi-tubi. Hatinya bagai disiram jutaan mawar merah mekar untuk menggambarkan perasaannya pada Laras.

"Saya tunggu kamu nanti malam. Di taman belakang rumah ini."

Kaki dengan tapakan besar itu melangkah menaiki tangga. Membuat suara berderit yang terkadang mengganggu telinga para insani disana. Tak terkecuali Laras. Deritan tangga itu membuat tangannya bergetar disertai gemuruh hebat dalam hati pun pikirannya. Diam-diam gadis itu merapal doa, agar Albertus tidak berniat membunuhnya dengan kedok pertemuan.

****

Malam ini akhirnya datang. Malam yang tidak pernah di nanti oleh bedinde itu. Ketika semua manusia terlelap dengan alasan lelah bekerja seharian, dibawah rembulan, dengan selembar selimut hangat yang memeluk erat daksanya, Laras harus berdandan dan meyakinkan diri dengan kebaikan Tuhan.

Jujur dirinya sangat lelah, rasa mengantuk gadis itu membuncah disertai kelopak tipisnya yang sudah ingin tertutup rapat. Namun permintaan Albertus tidak bisa ia abaikan, Laras paham betul bagaimana watak pun sifat Albertus. Pria itu harus mendapatkan yang dia mau, jika tidak ia tak segan melakukan apapun agar keinginannya tercapai.

Ketika gelap mengusai tempatnya berpijak kini, Laras mengendap - endap dalam kamar sempitnya. Membuka lemari kayu lusuh dengan salah satu engselnya yang patah. Gadis itu mengambil sebuah kebaya pemberian ibunya. Kebaya keluaran lama dengan bordiran bunga sepatu berwarna secerah apel merah yang manis. Menggulung rambutnya dengan ayu dan menusukkan konde, Laras merasa ia sudah cukup berpenampilan untuk menatap wajah Albertus malam ini. Ingin berdandan seperti biasanya, dan tak menuruti Albertus, namun di palung hati paling dalam, ia mau terlihat cantik dan menarik di kedua bola mata gelap milik Albertus. Entahlah, Laras juga mengira dirinya gila untuk saat ini.

PRIBUMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang