[iii]

121 10 0
                                    

"Bahas- bahasa Belanda mu cukup bagus juga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bahas- bahasa Belanda mu cukup bagus juga."

Lagi, Laras terdiam mendengar pengutaraan dari Albertus. Susah payah wanita itu mencoba menjawab satu pujian, mengapa sekarang terus bertambah satu?

Menyebalkan.

Jelita itu masih terdiam di tempatnya. Memilah milah kata per kata yang pas ia runtutkan untuk membalas pujian dari Albertus yang kini menatap nya dengan tatapan yang menurutnya sulit terdeteksi. Pria itu memang terbalut dengan misteri. Semua gerak geriknya tidak akan bisa di tebak.

"Terimakasih tuan Albertus."

Tak mendapat jawaban yang signifikan, Laras memilih untuk kembali mengucap kata terimakasih. Masa bodoh dengan tanggapan Albertus selanjutnya. Laras kembali menatap lantai ruangan itu, kembali menggerakkan tangannya membersihkan lantai. Pekerjaan ini harus segera ia selesaikan. Daripada berlama-lama dengan Albertus dalam satu ruangan. Rasanya pengap sampai sulit bernapas.

"Kenapa bukan kamu yang datang kemari Laras?"

Mendengus sebal, Laras mencoba untuk tidak kehabisan emosi. Bukannya apa, Albertus adalah orang yang dingin dan menakutkan baginya. Pria bertubuh tegap dan gagah itu bukan sembarang orang yang bisa ia jawab dengan mudahnya. Pertanyaan yang keluar dari kurva pria itu harus dijawab dengan pilahan kata yang tepat. Kalau asal, nyawa yang menjadi taruhannya.

Meraup pasokan oksigen sebanyak-banyaknya, kemudian menetralkan darah yang berdesir melewati seluruh pembuluh dalam tubuhnya, Laras mencoba memikirkan kata yang tepat.

"Karena, Ririn ingin mengakui kesalahannya tuan."

Untuk sejenak, Albertus tersenyum. Pria dengan wajah tembok itu menarik kedua sudut bibirnya membentuk lengkungan yang jarang ia perlihatkan pada orang lain. Terlalu malas untuk menarik bibir dan tersenyum bukan pada orang yang ia sukai. Laras menarik di mata pria itu. Jadi, tidak mengapa kalau harus tersenyum kan?

"Tapi, kamu sendiri yang mengaku bahwa kopi itu buatanmu bukan?"

Laras merutuki dirinya sendiri kali ini. Apa yang harus ia lontarkan untuk menjawab pertanyaan kali ini? Apakah Albertus sedang mengadakan ujian dadakan untuk wanita itu? Tidak.  Albertus punya banyak pekerjaan sebagai penerus usaha-usaha keluarganya. Mengadakan ujian bersama pembantu seperti Laras merupakan hal terbodoh bagi seorang londho.

Laras makin terdiam merasakan kepalanya yang sedikit berdenyut. Terlalu pusing memikirkan harus menjawab Albertus seperti apa. Haruskah jujur? Tapi dirinya masih mau merasakan indahnya kota Batavia di Hindia-Belanda ini. Apalagi, setiap malam, Laras akan merapalkan doa berharap perang akan usai. Konyol jika wanita itu mati lebih dulu.

"Benar tuan. Saya hanya tidak mau Ririn dihukum atas kelalaiannya. Dia masih baru dan belum berpengalaman disini."

Untuk kesekian kali, Albertus tersenyum penuh arti pada Laras yang masih membersihkan noda di lantainya. Wanita ini benar-benar luar biasa. Dari paras, sampai ke dalam hatinya. Semua bersih, suci bagai putih tak ternoda hitam sedikitpun. Jantungnya makin bergemuruh dan bergetar. Panas menusuk wajah putih pria itu. Menahan perasaan salah tingkah, Albertus menyilangkan kaki dan berusaha bernapas perlahan. Ia harus mengendalikan diri pun emosi ketika berbicara atau beradu pandang dengan Laras.

PRIBUMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang