[vi]

79 7 5
                                    

Lagipun, malam ini ia hanya ingin Laras tahu. Tahu bahwa wanita itu pantas dicintai, tahu bahwa perlakuan manisnya bukan cuma-cuma namun menyimpan pesan tersirat jua. Ia hanya mau, wanita itu tahu bahwa Albertus menyukai semua yang berhubungan dengannya. Albertus tidak mau mencinta dalam diam. Untuk perihal ini, ia tidak akan bungkam.

Laras masih terdiam di tempat. Gemuruh dalam hatinya begitu hebat sampai ia tak mampu lagi berucap bahkan bergerak. Malam masih panjang, dan kedua insani itu sama-sama diam. Sunyi menerpa suasana saat ini, apalagi setelah Albertus mengucapkan perasaannya.

Pria berkepala dua itu menatap Laras yang masih menundukan kepala. Ada sedikit rasa bersalah di hati Albertus setelah mengatakan perihal hatinya pada Laras. Lihatlah, wanita itu menjadi semakin diam dan tidak bergerak. Persis seperti orang yang hendak dilukis.

Albertus tidak pernah tahan berdiam-diaman dengan Laras. Ia selalu ingin membangun komunikasi yang baik dengan wanita itu. Pria itu ingin mendengarkan suara Laras yang menurutnya lebih merdu dari alunan manapun. Albertus ingin duduk berdua dengan Laras, kemudian bertanya tentang kehidupan Laras, dan wanita itu akan menceritakan perihal hidupnya pada Albertus.

Namun, Albertus tahu mimpi itu hanya akan menjadi ilusi. Jarak vertikal hubungan mereka terlalu jauh. Laras pun merupakan wanita yang sopan dan tahu diri. Mau sekuat apapun Albertus membujuknya untuk bicara, Laras akan tetap diam dan menjawabnya dengan kaku. Ya, bukankah itu hal biasa diantara atasan dan bawahan? Mengapa Albertus mengharapkan hal lebih dari ini?

Menghembuskan napas pelan, Albertus berujar ,"kamu akan tetap diam seperti ini sampai malam usai?"

Laras mendongak dengan spontan. Matanya menabrak iris mata Albertus. Pria itu menatap Laras dengan lembut, dengan penuh damba. Laras dapat merasakan kehangatan dari tatapan yang Albertus layangkan untuknya.

"Maaf, tuan. Jika tuan merasa terganggu, saya akan pergi," balas Laras pelan.

Albertus lantas terhenyak. Ada setitik emosi, yang meluap di dadanya. Perempuan ini, Laras, dia akan pergi? Setelah membuat Albertus seperti ini?

"Kenapa kamu ingin sekali pergi, Laras? Apa saya
benar-benar pria yang sangat buruk dimatamu?" tanya Albertus pelan.

Laras kembali dibuat bingung. Sebenarnya apa mau Albertus? Pria ini sukses membuat jantungnya seperti melompat-lompat. Sekarang, pria ini juga tidak membiarkannya pergi. Jujur saja, saat ini Laras merasa begitu tidak nyaman. Ingin berbicara, dia segan. Tidak berbicara, dia tidak tahan. Keadaan seperti ini membuatnya pusing.

"Saya hanya menghormati tuan sebagai atasan saya. Saya, merasa tidak pantas berlama-lama dengan tuan seperti ini. Bagaimana jika ada pekerja lain yang melihat kita disini?"

Albertus tampak diam. Memilah kata dalam kepala. Menghindari kalimatnya salah, dan menyakiti hati Laras. Ada banyak tanya dalam benak pria keturunan Belanda itu. Selama ini, Albertus berusaha bersikap manis dan memperlakukan Laras dengan istimewa. Agar wanita itu tidak kaku dan terlalu segan kepada dirinya. Tapi, justru karena tindakan ini, Laras merasa semakin tidak pantas.

"Mengapa semesta begitu tidak adil? Seolah saya melakukan sebuah kesalahan, karena mencintai kamu. Ada banyak wanita Belanda yang mendekati saya, Laras. Tapi, tidak satupun dari mereka, yang membuat saya tertarik. Bukan salah saya, kalau hati saya berlayar dan memilihmu sebagai pelabuhannya," tegas Albertus.

Laras memilin bibir. Tangan indahnya meremat kain jarik cokelat yang kini semakin kusut. Hari semakin larut, dan mereka hanya mampu mengucapkan sepatah, dua patah kata untuk membalas satu sama lain. Entah mengapa, keduanya sulit sekali mengungkapkan perihal hati. Padahal jikalau mampu berkomunikasi, mungkin suasana tidak akan secanggung ini.

PRIBUMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang