Enam

36.2K 191 7
                                    

Keesokan harinya ...

Tasya terbangun dengan tubuh yang sangat pegal. Dia beringsut, sedikit bersusah payah untuk duduk. Tak lupa, tangan kanannya memegangi selimut putih agar tubuh telanjangnya tidak terekspos. Tasya bukannya sudah lupa pada apa yang terjadi semalaman. Ketika Marko dan Wildan bergantian menggagahinya hingga mereka semua kelelahan.

"Eh, sudah bangun, Sya?" Suara Wildan menyapa pendengaran Tasya. Pria itu tersenyum simpul dan menghampiri Tasya hanya untuk mendaratkan ciuman di bibir.

"Beruntung kelas gue dimulai sejam lagi dan gue harus berangkat sekarang. Papa juga udah berangkat kerja setelah bangun kesiangan. Hahaha, servis lo kayaknya beneran muasin Papa gue."

Tasya tidak peduli apakah Wildan bermaksud memuji atau menghina. Dia hanya melirik pada jam dinding dan sedikit terkejut melihat sudah pukul 10 pagi. Seumur hidup Tasya baru kali ini dia bangun sesiang ini. Jika bibinya Amel ada di rumah, mungkin Tasya sudah dikurung di gudang dan tidak diberi makan selama tiga hari tiga malam.

"Sekolah...," lirih Tasya baru ingat jika hari ini dia sangat terlambat untuk pergi.

Dengan wajah polos, Wildan pun membalas. "Lo santai aja. Papa udah ijinin ke Wali Kelas lo kalau hari ini lo nggak enak badan. Jadi nggak usah khawatir dengan beasiswa lo bakal kenapa2."

Wildan mengukir senyum miring seolah sedang memamerkan betapa dia dan Papanya adalah laki2 paling baik dan perhatian di dunia. Tapi Tasya sama sekali tidak berpikir demikian. Bahkan untuk mengucapkan terimakasih pun dia enggan.

"Hm, ya udah gue berangkat dulu. Kata Papa nggak usah siapin makan malam karena dia ada lembur. Kalau buat gue, lo juga nggak perlu siapin makan, paling gue makan di luar sama temen2."

Tasya hampir bernapas lega karena berarti dia akan sendirian di rumah selama seharian ini. Otaknya pun berpikir cepat dengan kemungkinan dia punya banyak waktu untuk kabur dari rumah, namun tatapan penuh arti dari sepupu laki2nya membuat Tasya memicing curiga.

Benar saja, sebab Wildan tiba-tiba membungkuk hanya untuk berbisik pada Tasya. "Nggak usah berpikir lo bisa kabur dari rumah ini, Sya. Lo ingat rekaman video tadi malam? Kalau lo kabur, seluruh orang di sekolah lo, dan seluruh orang di kota ini bakal ngelihat video lo diewe keenakan."

Deg!

Tasya hampir saja melupakan fakta itu. Kedua bahunya pun merosot ke bawah. Putus asa.

"Be a good girl and we will be good to you. At least selama seminggu lo nggak perlu jadi babu di rumah ini, " tambah Wildan menyudahi. Lantas dia segera meninggalkan kamar untuk berangkat ke kampus.

Meremas bedcover yang menutup tubuh telanjangnya, Tasya menangis. Mungkin dia benar-benar harus menerima nasib menjadi pemuas nafsu dari paman dan sepupunya sendiri. Tasya merasa jijik pada diri sendiri tapi dia bisa apa? Risiko video itu tersebar dan berakibat beasiswanya dicabut membuat Tasya ketakutan. Lalu jika seluruh orang di kota ini melihat video itu, bukankah dia akan diusir?

"Mama... Papa... Tasya takut," cicit Tasya disela isak tangisnya.

***

Tasya bangun ketika pintu kamarnya digedor dari luar. Dia beringsut duduk dan langsung menarik selimut. Dilihatnya jam kecil di atas nakas yang sudah menunjukkan pukul 11 malam.

"Tasya... Sudah tidur?" Itu suara Om Marko.

"Sya... Bangun! Kok pintu kamu dikunci sih? Bangun, Sya! Buka pintunya! Om mau masuk!"

Tentu Tasya tidak akan membuka pintu tersebut. Dia tetap diam agar Marko tidak curiga saat ini dia terjaga karena gedoran pintu keras tersebut.

"Sialan! Kok bisa tadi Papa lupa ambil kunci kamarnya. Kita jadi nggak bisa masuk." Lagi, terdengat ocehan samar dari Marco. Nampaknya dia sedang berbicara dengan Wildan.

Diary Life of TasyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang