Delapan

33.1K 171 13
                                    

"Sya! Lo dipanggil Kepala Sekolah tuh!" Nadya berseru pada Tasya tepat di pintu kelas. Suara ramai dari siswa-siswi memenuhi kelas maupun koridor. Maklum sekarang jam istirahat.

"Kenapa?"

"Mana gue tau?" jawab Nadya sambil mengindikkan bahu, lalu pergi bersama teman-teman segeng-nya.

Tasya menghela napas singkat. Padahal dia sudah bertekad tidak akan beranjak dari kursinya sampai jam sekolah berakhir. Alasannya adalah karena Tasya risih harus ke mana-mana tanpa pakaian dalam. Meski notabene dia memakai seragam tapi tetap saja rasanya aneh. Selain itu, dia juga tidak ingin mengambil risiko dengan ketahuan tidak memakai bra dan celana dalam di sekolah. Tasya hanya ingin hidupnya aman.

Tapi ini permintaan dari Kepala Sekolahnya. Tidak mungkin bukan Tasya menolak atau beralasan untuk bertemu? Bisa-bisa beasiswanya dipertaruhkan.

Akhirnya, Tasya pun keluar dari kelas. Dia harus berusaha keras untuk berekspresi biasa saja agar siswa lain tidak menyadari ada yang aneh dengan dirinya. Sesekali beberapa siswi menyapa Tasya yang hanya dibalas anggukan kecil olehnya. Menjadi salah satu siswa berprestasi di sekolah memang membuat Tasya sedikit banyak populer. Banyak yang mengenalnya.

"Ke mana, Sya?"

"Ruang Kepsek!" Teriakan entah siapa dijawab Tasya sekenanya. Gadis itu berjalan cepat menuruni tangga lalu menyusuri beberapa koridor untuk bisa segera sampai ke ruang kepala sekolah. Memang ruangan orang dengan jabatan tertinggi di sekolah itu berada di tempat yang paling ujung, tepat disamping gudang kebersihan yang hampir tidak pernah dikunjungi kecuali oleh tukang kebun dan tukang bersih-bersih.

Nahas saja, saat berbelok di koridor paling akhir, Tasya tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang. Membuat tubuhnya hampir terjembab ke lantai. Untuk refleks orang yang dia tabrak cepat. Dengan kuat meraih tubuh Tasya agar tidak jatuh.

"Hati-hati kalau jalan, Sya."

Tasya mendongak. "Dion?"

Tasya mengenal siswa itu. Bagaimana tidak jika selama dua tahun belakangan pria itu mengejar dirinya terus menerus. Entah sudah berapa kali Dion menyatakan perasaannya pada Tasya yang berujung penolakan sebab Tasya memang tidak menyukai lelaki ini. Bukan masalah tidak pintar, hanya saja Dion adalah tipe-tipe cowok yang suka berkelahi. Selain itu Dion sering merokok, membolos, mabuk dan melakukan berbagai pelanggaran di sekolah hingga dicap sebagai berandalan.

Dengar-dengar dari murid lain, karena orang tua Dion adalah salah satu milyarder tanah air makanya cowok itu tidak di DO. Uang memang selalu nomor satu.

Tersenyum miring, Dion lantas langsung mencium bibir Tasya tanpa permisi.

Sontak saja Tasya mendorong tubuh Dion menjauh, yang menyebabkan Tasya menyesal setengah mati. Ternyata saat itu Dion tengah memegang aqua botol tanpa tutup, sehingga menyebabkan sebagian cairannya tumpah mengenai seragam Tasya.

"Ups, basah... " Ucapan Dion menggantung di udara. Kedua matanya menyipit melihat ke depan. "Lo nggak pakai bra?!" tudingnya kemudian tanpa tedeng aling-aling.

Refleks Tasya menyilangkan kedua tangan menutupi dada. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, gadis itu berlari meninggalkan Dion yang penuh tanda tanya.

***

"Sumpah malu banget," cicit Tasya di sebuah kebun kecil belakang. Dia mengibas-ngibaskan seragamnya yang basah tadi dengan harapan agar segera kering. Semoga Pak Kepala Sekolah berkenan menunggu sedikit lebih lama.

Angin yang bertiup sepoi-sepoi dan matahari yang bersinar terik membuat Tasya bersyukur. Setidaknya dua hal ini membantunya untuk mengeringkan seragam putihnya. Meski Tasya terpaksa harus berjemur di bawah sinar matahari.

Diary Life of TasyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang