"Tasya! Ini kenapa piring belum kamu cuci?! Dasar pemalas!"
Seruan dari dalam dapur membuat Tasya berlari masuk. Ia menemukan seorang wanita berwajah ayu dengan rambut yang dicat warna merah untuk menutupi uban karena termakan usia. Garis-garis keriput halus nampak di bawah mata dan area sekitar bibir.
Itu Bibi Amel, suami paman Marko. Adik kandung ayahnya.
"M-maaf, Bibi. Tadi Tasya baru habis nyapu halaman. Tasya istirahat bentar karena capek," cicit Tasya dengan kepala menunduk takut-takut.
"Halah alasan! Emang dasarnya kamu ini pemalas!" Kata Amel, tiba-tiba menjambak rambut Tasya dan mendorongnya menabrak wastafel.
"Cuci itu piring! Habis itu, jangan lupa sekalian masak buat makan malam. Awas aja malas-malasan, aku nggak segan bakal kurung kamu di gudang bersama para tikus!"
Wajah Tasya memucat. Bukan karena ia takut pada tikus yang berkeliaran, tapi Tasya takut kegelapan. Dia memiliki trauma tersendiri dengan gelap.
Mengangguk, Tasya bergumam, "Baik, Bi."
Bibi Amel pun pergi setelah memastikan Tasya melakukan tugasnya.
Selesai, Tasya pergi ke gudang. Mengambil sapu dan lap pel. Saat sedang mengepel lantai itulah, Rani lewat sambil cekikikan karena tengah berbincang asyik dengan temannya melalui ponsel. Ia tidak memperhatikan lantai yang masih basah sehingga ia pun jatuh terpeleset.
Putri kedua dari Amel dan Marko itu berteriak. Mengeluarkan kata-kata kasar yang tidak sedap didengar. Tasya berusaha menolongnya bangun tapi tangannya langsung ditepis begitu saja.
"Lo sengaja ya mau bikin gue celaka?!" tuduh Rani tepat saat Amel dan Marko datang. Mereka bergegas ke sana karena teriakan Rani tadi.
"Aduh, Sayang... Kamu nggak kenapa-kenapa? Aduuuh kok bisa begini?" Kata Amel membantu anaknya berdiri. Lantas menatap Tasya tajam. "Heh! Kerja yang bener dong! Kalau sampai Rani kenapa-kenapa, aku bakal seret kamu ke kantor polisi!"
Tasya menunduk, sementara Marko mengelus punggung istrinya. "Sudah, sudah... Sabar, Ma."
"Kamu ini, Mas. Bela aja dia terus! Udah tempat tinggal numpang di sini, makan gratis lagi, masih aja nggak tau terima kasih!"
Marko mengangguk-angguk. "Udah, udah... Kasian kalau darah tinggi Mama kumat."
Amel mendengus kasar lalu mengajak Rani pergi dari sana. Tapi sebelum itu Rani menyempatkan diri untuk mendorong tubuh Tasya hingga jatuh ke lantai, membuat gdis itu mengaduh sakit.
"Rasain!" seru Rani dengan senyum puas.
Ketiganya meninggalkan Tasya. Saat ia hendak berdiri, Wildan,/putra oertama di keluarga ini tiba-tiba menghampiri.
"Lo nggak apa-apa?" tanyanya sembari menolong Tasya berdiri.
Tasya menggeleng dan langsung melangkah mundur, mengambil jarak dengan Wildan. "A-aku nggak apa-apa," jawabnya singkat. Lalu meraih pel dan bergegeas pergi.
Bukan tanpa alasan Tasya menjaa jarak dengan Wildan. lelaki yang berumur 3 tahun lebih tua darinya itu sering diam-diam memperhatikan Tasya. Bahkan Tasya curiga bahwa Wilda seringkali diam-diam mengambil fotonya. Yang menambah rasa was-was Tasya.
Bukan hanya Wildan, sebenarnya Paman Marko sendiri juga sering seperti itu. Tapi Tasya tidak ingin berburuk sangka pada mereka. Di sini ia hanya menumpang hidup jadi tidak boleh berpikir negatif. Ia hanya cukup menjaga jarak agar merasa lebih aman.
***
Malam harinya, Tasya pergi mencuci piring setelah makan malam. Ia tidak makan bersama keluarga pamannya melainkan di dapur. Amel dan Rani selalu keberatan jika ia duduk semeja dengan mereka.
Sedang fokusnya mencuci piring, Tasya terkejut saat merasa bokongnya diremas seseorang dari belakang. Ia menoleh dan terbelalak melihat Wilda berdiri tepat di belakangnya.
"Gila... Lo seksi banget sih Sya mau diliha dari sudut manapun," ucapnya sambil terus menggerayangi tubuh Tasya.
"Wil-Wildan jang gini," mohon Tasya ingin menangis. Ia takut dan risih.
"Nggak usah jual mahal Sya. Biasa aja sama gue." Tepat saat itu tangan Wilda sudah bergerk ke depan, meremas kedua gundukan payudara Tasya.
Tasya menggigit bibir. Wajahnya memerah. Ingin mendorong Wildan dengan cara meliukkan tubuh sebab kedua tangannya masih memegang piring yang berbusa. Tapi justru karena efek tersebutlah, bokong Tasya yang bergerak dengan maksud mendorong Wildan, membuat Wildan justru tambah terangsang.
"Oh, Sya ... Lo tau kan gue udah lama suk sama bentuk tubuh lo? Lo seksi banget sih, bikin gue sange tiap liat lo," bisik Wildan.
Jika saja tidak terdengar langkah kaki mendekat, mungkin Wildan akan terus melanjutkan aksinya menggerayangi tubuh Tasya.
"Wildan? Kok lama banget ngambil gulanya? Tau tempatnya kan?" Suara Amel. Ia muncul di dapur dan saat itu Wilda sudah berpindah tempat. Ia berakting seolah sedang mencari-cari dalam almari.
"Di mana sih, Ma?"
"Astaga anak ini! Ituu gulanya bukan di lemari. Di rak itu loh depan kamu!" decak Amel gemas. Anak lelakinya ini memang sangat jarang menginjakkan kaki di dapur.
"Oh, ketemu!" ucap Wildn, mengangkat ebuah wadah kecil berwarna putih berisi gula.
"Nah! Lagian tadi kamu tanya sama tasya kan bisa. Jadi laama!"
Wildan hanya meringis. Amel berbalik dan angsung menyuruh Wildan menyusul. Amel sedang membuat es kepal Milo, kesuakaan Wildan dan Rani.
PLAK!
Tasya terkesiap karena sebelum meninggalkan dapur, Wilda menepuk dan meremas bokongnya sekali lagi. Dengan tanpa dosa ia mengedipkan sebelah mata.
"Gue suka pantat bulat lo! Suatu saat gue pasti bakal bia nyentuh dan lihat itu secara langsung."
Deg!
jantung Tasya berdetak cepat. takut membayangkan ucapan dari Wildan.
Dalam hati ia berjanji agar menjauhi pria itu. Sejauh-jauhnya. Lagi pula Wildan sudah gila! Bukankah mereka masih saudara?
![](https://img.wattpad.com/cover/284886499-288-k412016.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Life of Tasya
RandomSejak kedua orang tuanya meninggal, Tasya harus hidup bersama keluarga pamannya, Marko. Namun ia ingin cepat-cepat pergi dari sana karena selain sikap tidak baik yang ditunjukkan oleh istri Paman Marko dan anak gadis yang seumuran dengan Tasya, Tasy...