Cowok tadi benar-benar berdiri di depan gerbang sekolahku. Rambutnya sudah kering dan tidak selepek tadi, tertutup tudung jaket hitam yang dia kenakan. Rupanya dia masih waras karena mengganti hoodie basahnya. Dari jarak ini saja aku bisa melihat bahwa celana abunya sedikit kaku, jelas sekali kalau dia mengeringkan seragam dengan paksa. Hujan sudah berhenti sejak setengah jam lalu, dan sekarang cowok itu berdiri di depan gerbang sekolah sembari memasukkan kedua tangannya di saku jaket.
Ini pemaksaan namanya. Kalau tempat bertemunya di gerbang sekolah, bersedia atau tidaknya diriku, kita akan tetap bertemu. Padahal aku tidak pernah berniat untuk mengucapkan terima kasih kepada cowok itu. Yang penting aku mendapat novel gratis, kemudian aku tinggal cuci tangan —tidak mau tahu— dan kita berakhir seperti tidak pernah mengenal —secera teknis kita memang belum saling mengenal, sih. Kalau sudah begini, cara terampuh adalah lari.
Kututup kepalaku dengan tudung jaket, menurunkannya rendah-rendah sampai bayangannya menutupi separuh wajah. Kakiku kembali berjalan dengan jantung yang berdebar-debar. Takut kalau cowok tadi mengenaliku, kemudian berpikir bahwa diriku ini orang kurang ajar yang tak tahu sopan —ini merupakan kejujuran pahit yang tidak perlu diketahui semua orang.
Satu langkah, dua langkah, dan banyak langkah lagi, tahu-tahu aku sudah keluar dari gerbang. Semakin berdebar jantungku begitu celana abu kaku berdiri tepat di sebelahku. Kakiku melangkah dengan was-was, takut kalau cowok itu akan mengenaliku, kemudian menonjok wajahku karena dianggap tidak tahu terima kasih.
Puji syukur aku panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena beliau telah menyamarkan keberadaanku di mata si cowok. Ternyata ilmu transparanku berguna juga untuk saat ini; lihatlah, bahkan si Mahameru tidak menyadari keberadaanku.
"Sama-sama," katanya, sembari menarik tudung jaketku; memaksa agar aku berhenti melenggang pergi. Jantungku mencelos ke dalam kaos kaki yang belum aku cuci selama satu minggu, mataku terpejam, di dalam hati merutuki kesialan. Aku masih belum membalik badan ketika si Mahameru kembali berkata, "Kau ini ... tidak tahu terima kasih ya, Nu?" Jangan salah, Mahameru tidak mengucapkannya dengan sinisme atau sarkasme. Ucapannya biasa saja, tapi ada hal lain yang membuatku lebih jengkel.
Aku membalik badan dengan paksa, melepaskan cekikannya dari tudung jaket. "Nu?" Pangkal alisku menyatu, menatap penuh amarah ke arah cowok yang mengaku bernama Mahameru. Cowok kampret ini bukannya takut —atau minimal merasa bersalah— malah terkekeh gemas. "Jangan seenak udel memanggil orang asing," peringatku.
"Siapa yang orang asing?" Salah satu alisnya terangkat, yang mana membuat hasrat untuk menimpuk wajahnya dengan novel, muncul di dalam hatiku. Kalau bukan karena sayang dengan Akang Lockwood dan kawanannya, sudah aku kembalikan novel tadi kepadanya. "Siapa yang orang asing?" Dia mengulangi.
Aku berdehem singkat. Meniru gayanya yang memasukkan tangan ke saku jaket. "Kita. Siapa lagi?"
Kedua sudut bibirnya tertarik, melebarkan garis senyumnya. "Kita? ... kok tahu kalau aku sama kamu bakal jadi kita?" Mataku mengerjap, mencerna situasi, membiarkan otakku memproses data.
Sementara dia mengulum senyum malu-malu, aku merinding bukan main. Selama 17 tahun hidupku, tidak pernah sekali pun ada orang yang mau susah-susah menyuarakan godaan untuk membuatku tersipu malu. Alih-alih godaan, bahkan jarang sekali ada orang yang mau menyapaku. Dan sekarang, aku berdiri di sini, di depan gerbang sekolah, ... digoda seorang lelaki.
Sebagai antisipasi, segera aku membalik badan; melangkah cepat meninggalkan Mahameru yang masih menatapku dengan kuluman senyum malu-malu.
Baru saja aku menaiki trotoar, sebuah tangan besar dan panjang melingkari bahuku. Mataku membelalak, campuran antara kaget dan jengkel. "Kamu ngapain?" Berusaha keras aku singkirkan rangkulannya, tapi yang terjadi malah tubuh kami berdua yang semakin merapat. "Lepasin, heh!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Kamu, Tanpa Kita {JakeNoo}
FanfictionPeringatan : Cerita ini mengandung unsur LGBT yang akan mengganggu bagi beberapa orang. Tentang Sunu Diantara, seorang anak SMA yang melakukan banyak hal untuk bisa diterima oleh orang tuanya. Seorang anak yang gencar sekali merasa kurang dan tidak...