Bagian 6

57 14 0
                                    

Hari Minggu merupakan sebuah hari kebebasan bagi kami-kami para anak sekolah. Satu hari yang cerah untuk menghabiskan waktu bergoleran di kasur maupun berkendara mengelilingi kota bersama teman maupun pacar. Namun, hari Minggu tidak sedemikian menyenangkan setelah kelas 12 menyerang. Sepertiku sekarang ini contohnya. Alih-alih bangun lantas lanjut tidur lagi, di jam sembilan pagi ini aku sudah terjebak di alun-alun kota. Menyangklong drafting tube sambil menenteng-nenteng tote bag yang di dalamnya terjejal peralatan melukis. Bukan semacam para seniman yang tengah berproses menciptakan suatu karya, diriku ini malah lebih terlihat seperti seorang bocah yang baru saja diusir dari rumah. Pagi ini aku hanya menggosok gigi dan mencuci wajah. Piyama kotak-kotak belum kusalin sejak semalam. Cukup kurangkap dengan jaket tipis untuk menghalau udara pagi yang mendung ini.

Aku memutuskan menjadikan sebuah paviliun reot yang dirambati bunga bugenvil sebagai objek yang akan aku lukis lalu kumpulkan sebagai tugas akhir mata pelajaran seni. Pagi ini gairah melukisku sedikit kabur entah pergi kemana. Pikiranku penuh sesak sejak semalam. Goresan pensil di kertas serasa kaku, tidak seluwes biasanya. Mungkin untuk tugas seni kali ini aku harus cukup berbangga diri hanya dengan bisa menyelesaikannya. Harus kubuang keinginan muluk yang menuntut ini harus menjadi sempurna.

Semalam ayah dan ibuku kembali bertengkar. Kurasa keluargaku akan hancur lagi seperti beberapa tahun yang lalu. Mungkin ayahku akan menceraikan ibuku yang sekarang lantas menikah lagi. Aku akan memiliki ibu tiri yang baru. Itu artinya aku harus kembali beradaptasi lagi. Namun, mungkin saja ayah akan kembali dengan istri pertamanya, ibu kandungku. Itu artinya hari-hariku akan ribuan kali lebih suram daripada sekarang ini. Itu artinya akan ada banyak lebam baru di tubuhku seperti ketika aku masihlah kanak-kanak. Dan itu artinya ayah akan secara sadar mencemplungkan anaknya ke dalam neraka dunia. Kedua kalinya.

Kertas berukuran A3 yang kupangku mulai memburam dalam pandanganku. Alisku saling tertaut. Kurasa wajahku sedikit memerah dengan ekspresi cemberut. Menahan tangis lantaran enggan tersedu di tengah hiruk-pikuk kota. Akan tetapi, apalah daya jika musuh kita adalah kesedihan dan air mata. Aku mengedip kemudian jatuhlah dua tetes air ke atas garis sketsa yang baru saja kubuat. Aku biasanya tidak seperti ini. Aku tidak pernah menangis di luar kamar. Aku tidak suka jika terlihat menyedihkan, karena dengan itu akan ada celah untuk orang-orang melakukan penghinaan kepadaku. Seperti dulu.

Aku ingin menertawai narasiku sekarang ini. Kebanyakan akan berakhir dengan kata "seperti dulu", nampak sekali kalau aku ini golongan manusia yang gemar terjebak dengan masa lalu dan susah maju. Ini agak memalukan tapi aku harus mengakui jika itu adalah benar. Sampai sekarang aku tidak bisa berdiri di depan ibu kandungku tanpa meninggalkan rasa was-was. Aku belum bisa bertemu dengan beliau tanpa harus menahan badan yang gemetar. Sebaik apapun perlakuan beliau kepadaku sekarang ini, kilasan kelam akan kenangan masa lalu akan selalu menghalangiku membuka hati. Masih segar dalam ingatan ketika dirinya memukulku dengan gantungan baju ketika nilaiku di tahun pertama TK tidak memuaskan. Tak akan kulupakan kenangan ketika beliau bergumul dengan laki-laki selain ayah setiap malam lantas mengancamku agar tidak mengadu kepada ayah. Padahal dulu yang kutahu hanyalah ayahnya temanku sedang bertamu. Lambat laun ayahku tahu dengan sendirinya. Beliau pulang dari luar negeri dengan segera, kemudian tertangkaplah kedua insan yang tengah bermaksiat di tengah malam. Selesai. Keluargaku selesai malam itu.

"Seperti dulu" tidak selesai hanya dengan sepenggal kisah menyedihkan itu. Beragam kisah yang berpotensi menjadi trauma kembali datang menyerang ketika aku menginjak kelas dua SMP. Setelah ayahku menikah lagi, aku dipertemukan dengan wanita baik yang menggantikan peran ibu. Beliau wanita baik. Nyaris terlalu baik. Aku dididik untuk menjadi anak yang sempurna dari berbagai sisi. Terlalu sempurna. Akibat kesempurnaan itu aku selalu dimanfaatkan banyak teman, direndahkan banyak orang, dicibir puluhan orang ketika aku berlalu di depan mereka. Memasuki SMA, aku melabeli diri sebagai anak jahat dan anti sosial. Karena hanya dengan itu aku bisa menenangkan diri jika terpikir akan cibiran orang lain.

Aku dan Kamu, Tanpa Kita {JakeNoo}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang