Seperti yang sudah kubayangkan dan memang sudah seharusnya terjadi, ibu memijit pangkal hidung sembari mengocehkan sebuah kalimat berulang-ulang. Wajah ayah yang merengut masih nampak begitu jelas meski sudah berusaha beliau alihkan dengan kegiatan menyeruput teh hangat. Aku duduk di bawah sofa, memeluk lutut dengan pandangan yang tak teralihkan dari layar televisi. Kupingku penggang mendengar ibu yang terus bergumam menyayangkan mengapa diriku bertengger di posisi ketiga alih-alih berdiri di posisi pertama. Ayah merengut dan diam saja sejak tadi. Asalkan kalian tahu, hal itu pun tidak membantu sama sekali.
Hatiku sakit. Air mataku seperti sudah muak untuk mengalir keluar. Kata-kata seperti itu sering kudengar. Ketika nilai ulangan harian dibagikan, ketika nilai ujian tengah semester ditampilkan, dan ketika pengambilan raport di akhir semester. Ibu dan ayah, mereka selalu saja merasa ada yang kurang dengan hasil yang telah kucapai. Tanpa mau melihat kebelakang, menelisik kembali perjuangan keras yang kujalani hampir sepanjang hari. Ya, harusnya aku sudah terbiasa.
Ironisnya, mereka hanya melakukan hal demikian kepadaku. Mereka tidak begitu dengan adikku. Tak peduli seberapa hancur nilainya, mereka akan tetap menyayanginya lebih dari apapun. Memberi kata-kata semangat, membanggakan setiap pencapaian kecil adikku ke setiap orang. Ayah dan ibu tidak akan membiarkan kepercayaan diri anak bungsunya itu hancur lebur.
Kalau saja mereka tahu, hal tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan ibu kandungku dahulu. Mereka boleh berbangga karena tidak pernah memukuliku seperti yang dilakukan ibu kandungku tapi harusnya mereka sadar kalau perlakuan mereka tak jauh berbeda dampaknya.
"Yah, Bu, aku ngantuk. Mau tidur dulu." Aku bangkit lantas beranjak menuju kamar. Aku muak dengan segala ocehan yang ibu lontarkan. Keinginanku untuk memukul wajah merengut ayah juga semakin besar.
Pintu kamar aku tutup lantas kukunci rapat-rapat. Aku matikan Lampu yang semula menyala terang. Melompat ke kasur, menutupi seluruh tubuh dengan selimut, tak lupa kunyalakan kipas angin untuk menambah udara. Aku hanya meringkuk. Benar-benar hanya meringkuk dengan mata yang terbuka menatap cahaya temaram bulan yang menerobos ke gulitanya kamar. Malam ini rasanya sedikit berbeda. Tidak ada tangisan, yang ada hanya amarah yang semakin meninggi dan seolah menyumpal setiap inci rongga dalam tubuhku. Nafasku memberat dan sulit. Seolah aku perlu menyedot udara dari jarak berapa kilo meter si depan sana. Dadaku sesak, aku sangat ingin menangis tapi tidak bisa.
Aku melayangkan tinjuan ke kepala. Tinjuan pertama, rasanya seperti ditarik dari dunia nyata; berat deru nafasku agak berkurang. Tinjuan kedua, sesak dalam dada hilang sepenuhnya. Tinjuan ketiga, kepalaku mulai terasa pening tapi tubuhku terasa ringan seolah aku tidak pernah bersedih. Tinjuan-tinjuan berikutnya semakin meningkatkan rasa pening di kepalaku. Lucunya, akibat dari rasa pening yang sangat itulah untuk sejenak aku bisa melupakan semuanya. Sepertinya aku akan terus melakukan hal ini.
Hari berjalan seperti biasa. Hujan mengguyur pagi yang menurutku sudah suram. Kedua orang tuaku masih terlelap sementara aku sudah memakai seragam lengkap dan menyeduh minuman coklat di dapur. Di luar masih gelap tapi aku sudah bersiap.
Kupakai sepatu lalu kemudian menutup pintu. Menarik sepeda yang tersandar di tembok samping rumah. Aku pergi tanpa berpamitan dan menerjang gerimis hasil sisa dari hujan deras sepanjang malam.
Setiap kayuhan santai membawaku melaju melewati aspal-aspal bolong basah yang menebar semerbak wangi hujan. Semilir angin dingin menjatuhkan butir-butir air yang semula bersinggah di daun pepohonan yang tumbuh di sepanjang jalan. Aku menikmati semuanya. Membiarkan lenganku yang tidak tertutup seragam merasakan hawa dingin yang menerpa. Membiarkan rambutku berterbangan mengikuti semilir angin yang tertiup. Rasanya seperti alam menyedot sedikit energi negatif yang mendekam sejak lama di dalam jiwaku. Rasanya ... sedikit ringan.
Ide bulus membawaku ke dalam gagasan untuk membolos dari sekolah yang memuakkan. Gagasan tersebut disetujui oleh seluruh tubuh lantaran mereka membawa sepedah yang kukayuh untuk berbelok ke jalanan kecil yang dipenuhi semak belukar di kedua sisinya. Jalan ini menuju ke laut. Laut yang sering kudatangi ketika aku masihlah anak berumur 15 tahun. Bahkan diriku tak mengingat alasan pasti mengapa aku berhenti datang lagi ke laut ini. Masih juga tak menyangka dalam dua tahun ternyata banyak yang bisa berubah.
Aku membiarkan sepedahku tergeletak menggenaskan di atas tanah. Peduli setan, toh sepedah butut itu sebentar lagi juga akan rusak. Aku berjalan dengan tas yang masih kugendong di punggung. Menuruni tanah, yang posisinya sedikit tinggi, lantas menapaki pasir putih yang menghampar sempit di bawah.
Laut ini tidak terlalu indah jika dibandingkan dengan laut lainnya. Di sini hanya ada pantai pasir putih sempit yang ditumbuhi satu-dua pohon cemara dan juga tanaman rambat yang tidak kuketahui namanya. Airnya bergradasi dari bening, coklat susu, menjadi semakin biru pada kawasan yang dalam dan jauh. Di pinggir menonjol beberapa batu karang tajam yang berlubang di bagian tengahnya. Jangan membayangkan yang muluk-muluk, batu karang itu diselimuti lumut dan lumpur yang akan segera membuat kaki terpeleset sedetik setelah memijaknya.
Aku menjatuhkan pantat ke atas pasir putih, menyandarkan punggung ke pohon cemara belia yang nampaknya masih berjuang untuk tetap merasakan kehidupan, menekuk lutut lantas memeluknya dengan tangan. Aku menatap lurus ke lautan luas. Langit masih gelap tertutupi awan-awan kelabu yang siap mengguyurkan hujan. Hal itu mengakibatkan biru lautan tak secemerlang biasanya. Hari ini, setelah kulupakan selama kurang lebih dua tahun, lautan ini tampak muram. Lantas terpikirkan oleh otakku apa yang istimewa dari lautan ini sampai dulu sering kudatangi?
Tanganku semakin rapat memeluk lutut, menahan dingin yang semakin menggila. Matahari mungkin tidak akan nampak sampai satu atau dua jam kemudian, atau bahkan tidak akan nampak seharian. Tapi siapa yang peduli? Aku bukan ibu-ibu atau anak rantauan yang mengkhawatirkan cucian, juga bukan para petani yang takut waktu jemur jagungnya akan semakin panjang. Aku hanya aku. Siswa SMA minim motivasi untuk melanjutkan kehidupan.
Di sini sepi. Tidak akan ada manusia hingga sekitar nanti siang. Itu pun kalau mentari berhasil mengalahkan para awan kelabu yang menginvasi langit luas. Kalau aku nekat melanjutkan langkah menerobos lautan luas, menapaki jengkal demi jengkalnya, tidak akan ada satu orang pun yang akan menarikku untuk kembali ke darat. Aku akan terus berjalan tanpa ada penghalang. Merasakan dingin air yang membasahi tubuh. Menikmati setiap proses di mana laut akan memeluk tubuhku seutuhnya. Membuai jiwaku yang putus asa ke dalam kehampaan. Menghapuskanku dari kehidupan.
Lantas, sebuah pertanyaan muncul di benak setelah kubayangkan aku menapaki lautan dari pinggir hingga hilang sepenuhnya di tengah. Haruskah? Haruskah sekarang aku melepaskan semuanya? Haruskah aku menyudahi semuanya sekarang?
Buku ini masih akan berlanjut kok, hehe:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Kamu, Tanpa Kita {JakeNoo}
FanfictionPeringatan : Cerita ini mengandung unsur LGBT yang akan mengganggu bagi beberapa orang. Tentang Sunu Diantara, seorang anak SMA yang melakukan banyak hal untuk bisa diterima oleh orang tuanya. Seorang anak yang gencar sekali merasa kurang dan tidak...