Minggu pagi. Hari yang seharusnya bisa kujadikan alasan untuk bermalas-malasan dan lepas sejenak dari jeratan buku Wangsit yang tebalnya sungguh jahanam. Sayangnya, alasan tersebut tidak bisa kupakai hari ini. Aku ada kegiatan lain. Agenda menemui ibu kandung setiap dua minggu sekali.
Hari ini kami janji temu di sebuah rumah makan yang menyediakan berbagai jenis sate yang ada di pusat kota. Setelah sepanjang pagi memaksakan diri, setelah sepanjang pagi berusaha abai dengan celutukan pedas menjelekkan yang ibu tiriku tunjukkan untuk ibu kandungku, di sinilah aku berakhir. Duduk diam sambil mengunyah potongan daging dari tusukan, menyaksikan adegan keluarga bahagia yang ada di depan.
Seperti sebelum-sebelumnya, ibuku membawa serta suami serta anak barunya. Agenda bertemu ini sudah menjadi semacam formalitas sampah untuk sekedar meredam omongan tetangga. Ibuku sesekali melemparkan pertanyaan lantas kujawab singkat seolah tanpa minat. Bukan bermaksud durhaka, aku hanya ingin menyembunyikan rasa takut yang membekas di ingatan. Ayah tiriku ikut serta, lalu kujawab pula seadanya. Sedangkan adikku, ah, anak mereka yang masih balita hanya tolah-toleh sambil menunggu suapan berikutnya.
Seperti biasanya, ibu membicarakan hal-hala buruk tentang ayah. Tentang ibu tiriku pula. Kejadian seperti ini tidak begitu mengherankan. Selalu terjadi bahkan. Ketika aku berkumpul dengan keluarga ayah, maka keburukan keluarga ibulah yang dibicarakan mereka. Begitu pun sebaliknya. Ironisnya, mereka saling melempar senyum, sapaan sopan, berikut kata-kata manis ketika bertemu satu sama lain. Munafik. Orang-orang dewasa begitu munafik.
Truk-truk besar yang memuat ratusan tebu berderet-deret melewati jalan raya di depan rumah makan. Berikut beserta transportasi umum dan kendaraan pribadi lainnya. Pemandangan keluarga bahagia di depanku tidak lebih baik daripada pemandangan kepulan asap polusi yang ada di luar sana. Maka kuputuskan untuk menatap jalanan saja ketimbang semakin perih hati melihat keluarga bahagia mereka.
Lama berselang, kendaraan yang lewat di depan rumah makan semakin jarang. Hanya ada satu-dua motor yang berjalan secepat kilat. Kepulan asap abu-abu perlahan mulai menguap bergabung dengan udara jernih di sekitar. Nampaklah monumen pancasila yang berdiri gagah di ujung pertigaan. Monumen itu begitu menonjol mengingat tidak ada bangunan yang berdii di sekitarnya. Monumen itu di dampingi oleh lautan luas dan trotoar reot yang tidak kunjung direnovasi oleh pemerintah.
Laut di kota jelek. Airnya keruh kecoklatan. Tidak seperti laut yang kudatangi ketika membolos sekolah beberapa hari yang lalu. Tidak seperti laut yang kudatangi dengan Mahameru. Hah, manusia itu. Manusia yang menghantuiku dengan cengiran lebar yang ditampilkannya di depan pagar saat aku pulang sekolah. Untung hari ini Minggu. Biasanya di hari Minggu Tuhan akan absen untuk menjatuhkan Mahameru di tengah hari-hariku.
"Nu."
"Sunu." Kesadaranku kembali tertarik kepada hal duniawi. Anganku lepas begitu aku menolehkan kepala, mengangkat alis ketika melihat ayah tiri dan ibu kandungku menatapku dengan penuh tanya. "Ibu tanya kamu nggak ngejawab malah ngelamun. Lamunin apa kamu? Lagaknya kaya punya masalah besar aja." Ibu tertawa. Ayah tiriku juga. Aku memaksakan senyum mengembang. "Mikirin apa kamu? Ada masalah?" Ibu kandungku melanjutkan bertanya tanpa minat. Seperti yang kubilang sebelumnya. Formalitas.
"Aduh, Sayang. Anak muda bisa punya masalah apasih? Pasti si Sunu lagi galau abis ditolak cewek tuh. Hahahaha," sahut ayah tiriku sembari mengusap cemong bumbu kacang di pipi anaknya. Iya kalau aku suka cewek?, ingin sekali aku menimpali tapi urung karena takut ibu semakin kecewa denganku. Lantas ibu akan mengadu pada ayah dan berlanjut mereka akan saling menyalahkan. Akhirnya bisa kutebak. Di akhir perdebatan mereka akan semakin membenci dan tidak menginginkan aku ada di hidup mereka.
Mereka saling menceritakan kisah mereka ketika muda. Membandingkan masa muda di zaman mereka dengan remaja zaman sekarang. Tertawa meledek, tertawa geli. Yang kulakukan hanya sekedar mempertahankan senyum di wajah. Seolah mengikuti alur perbincangan yang mereka buat padahal sibuk dengan angan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Kamu, Tanpa Kita {JakeNoo}
FanfictionPeringatan : Cerita ini mengandung unsur LGBT yang akan mengganggu bagi beberapa orang. Tentang Sunu Diantara, seorang anak SMA yang melakukan banyak hal untuk bisa diterima oleh orang tuanya. Seorang anak yang gencar sekali merasa kurang dan tidak...