Bagian 5

68 13 1
                                    

Entah aku ini harus terharu dan gembira atau malah takut dan menangis tersedu-sedu. Dua tahun belakangan aku mulai bertanya pada Tuhan, "Tidak adakah seonggok manusia yang tertarik kepadaku? Kalau menjalin asmara terlalu mustahil, mungkin ada seseorang yang ingin lebih 'mengenalku'?" lantaran semakin ke sini, semakin mengabur pula eksistensiku di mata khalayak. Sebenarnya itu sebagian besar juga karena salahku sendiri, sih. Yang kulakukan di sekolah hanya mendekam di dalam kelas atau pergi ke toilet barang dua-tiga kali sehari. Ah, kemihku memang sebocor itu. Ketika aku di rumah pun tak jauh beda. Diriku ini hanya berbaring di kasur sambil menyelami tumpukan novel yang terjejal di rak.

Kurasa Tuhan itu memang baik. Doa yang kuucapkan selama dua tahun belakangan akhirnya terkabulkan lewat seoarang cowok random basah kuyup yang tahu-tahu menjajah hari-hariku yang damai. Ini rahasia kita saja, ya —tapi aku memang pernah membayangkan jika diriku ini memiliki kekasih seorang lelaki. Namun, karena hal itu mungkin akan menjadi nyata mengingat ada seorang cowok yang tertarik kepadaku; aku kaget bukan kepalang. Sekarang apa yang harus aku lakukan?

"Sudahlah, namanya juga kehidupan," kata Magenta —di AngKot tadi dengan santai— yang hidupnya mulus-mulus saja. Cewek kampret itu bahkan semakin mengompori dengan menunjukkan beberapa video tidak senonoh antara cowok dengan cowok. Berkat dia pula sekarang kepalaku dibayang-bayangi adegan kotor tadi. Aku merinding bukan main. Bukan karena mereka sesama jenis, melainkan terbayang bagaimana kalau aku yang diraba-raba seperti itu? Kemudian si kampret Mahameru akan menungga —tidak jadi! Lupakan!

Pelajaran olahraga tak ubahnya waktu bersantai ria bagiku. Sudah bukan rahasia lagi kalau guru olahraga adalah seorang yang sangat tidak ta'at dengan jadwal sampai-sampai datang di detik-detik terakhir jam pelajaran atau bahkan tidak datang sama sekali. Teman-teman cowok di kelasku sedang berlarian mengejar dan merebut bola dari satu sama lain. Bermain futsal di tengah teriknya mentari di jam sembilan pagi. Kutolak beberapa anak yang mengajakku bermain dengan muka cengengesan. Selain karena aku tahu mereka tengah mencoba mengejek halus diriku yang nol di pelajaran olahraga, aku juga malas kalau menjadi bahan amukan dari teman tim lantaran menjadi biang kerok penyebab kekalahan. Para cewek sedang berteduh di bawah pohon sembari makan jajanan. Bergosip sembari tertawa-tawa. Beberapa dari mereka menertawakanku yang hanya duduk di pinggir lapangan sambil mencabut rumput-rumput yang tidak berdosa. Kubiarkan saja mereka. Toh hal seperti ini sudah aku alami sejak aku masuk SMP. Bahkan ini tidak ada apa-apanya dibanding yang kualami di masa SMP.

Baru sekitar lima belas menit aku duduk bersila di atas rerumputan, sekarang pegal di punggungku sudah tidak bisa lagi dipertahankan. Kubaringkan tubuh, menikmati sinar hangat mentari yang meneyusup di balik dedaunan. Ini tahun terakhirku di sekolah ini. Tahun terakhir di tingkatan pendidikan wajib 12 tahun. Kuharap ini tahun terakhirku pula untuk hidup di dunia. Semakin lama dunia bukan semakin indah malah semakin suram. Memuakkan.

Bau asam keringat bercampur terik matahari menerobos masuk ke dalam lubang hidungku ketika aku baru saja menutup mata. Entah siapa yang sekarang sedang ikut berbaring di sampingku. Kuabaikan cecunguk berbau semacam kaos penuh keringat yang tergulung di kantung baju kotor selama seminggu. Mataku masih memejam, hidungku masih membaui rumput yang tercemar dengan bau masam si orang.

Si kampret di sampingku rupanya tidak merasa cukup hanya dengan menyiksa lubang hidungku. Kurasakan tangannya yang basah melingkari perutku, bertumpukan dengan kedua tanganku yang bertengger di atas perut. Aku masih diam saja. Hal ini sudah biasa. Teman cowok sekelasku biasanya merangkulku dipinggang juga bahu; memelukku dari belakang dan dari depan. Itu sudah biasa, kan, di antara para lelaki? (Katakan "iya" supaya aku tenang!)

"Kamu wangi," ucap si kampret yang melalui suara kuketahui identitasnya sebagai Setya. Tubuhku menegang. "Kamu jarang gerak, ya? Makannya wangi?" Aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Bukan! Bukan karena pujian yang dia lontarkan. Ada hal lain. Setya melontarkan pujian sembari mengendus-endus leherku. Berulang-ulang kali.

Aku dan Kamu, Tanpa Kita {JakeNoo}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang