Bagian 4

78 14 0
                                    

Pagiku buruk. Pukul lima lebih lima belas aku mengayuh sepeda menuju pangkalan angkot terdekat; menyangklong beban berupa buku-buku paket yang tebalnya mampu membengkokkan tulang punggung, berangkat ke sekolah tanpa sempat menelan makanan. Keadaan rumah masih menguarkan aura mencekam meski Ayah dan Ibu berusaha keras menjalankan sandiwara sepasang suami istri yang hobi bermanis-manis ria. Kalau saja mereka tahu semua itu tidak berguna.

Aku tambah kecepatan kayuhan lantaran mendung di atas sana mulai menjatuhkan rintikan hujan. Sebelum alam semakin melunjak dan menjadi durjana dengan membuat tubuhku basah kuyup, aku harus segera tiba di tujuan.

Sekitar dua menit kemudian, aku sampai di pangkalan ojek tempat biasanya aku menitipkan sepeda. Rintikan hujan semakin rapat dan besar-besar, segera aku berlari ke seberang jalan tempat biasanya aku menunggu angkot yang lewat.

Aku membenci bulan Januari. Hampir seluruh pagiku dirusaknya dengan guyuran hujan. Hari ini masih terhitung beruntung karena hanya ujung celanaku yang basah. Sudah cukup untukku mengucap syukur mengingat beberapa hari yang lalu aku berangkat ke sekolah seperti tunawisma random yang habis terpeleset lantas  kecemplung kubangan air di jalan.

Sekarang ini diriku tengah berjongkok di bawah naungan kanopi pos polisi reyot yang dilupakan; memegang ranting di tangan kanan yang lalu kugunakan untuk mengorek-ngorek tanah yang basah. Kepalaku mengulang kembali kejadian semalam. Saran Ibu, suara frutasi Ayah, semua kembali terdengar seolah sekarang mereka tengah mereka ulang perdebatan semalam.

Aku belum bisa membaca apa yang aku takutkan. Kejadian perpecahan keluarga seperti ini sudah pernah aku lalui sebelumnya. Dulu sekali, ketika aku masihlah bocah TK yang belum memahami kehidupan, Ibu kandungku berteriak memaki Ayah, menyeret paksa diriku yang tengah terlelap untuk kemudian di bawa keluar dari rumah di tengah malam. Ayah mengejar di belakang, meneriaki Ibu, berkata jika memang Ibu ingin menderita di tengah malam, setidaknya tidak perlu aku diajak-ajak. Yah, usaha beliau sia-sia lantaran Ibu adalah orang yang keras kepala. Setelah itu, di sepanjang jalan menuju rumah orang tuanya, Ibu berulang kali memaki dan memukuliku. Melampiaskan segala kekesalannya terhadap sifat Ayah, kepadaku. Entah aku ini benar-benar anak kandungnya atau hanya bocah random berbalut daun yang beliau temukan di pinggir toko; karena terkadang sifatnya tidak menunjukkan bahwa dia merupakan ibuku.

Beberapa tahun kemudian, Ayah menemukan pujaan hatinya yang baru. Seorang wanita baik beranak satu. Entah bagaimana prosesnya —aku pun lupa— tiba-tiba saja aku kembali ke rumah Ayah. Ibu tiriku wanita yang baik, penyayang seperti ibu pada umumnya. Akan tetapi, dalam beberapa waktu tertentu, beliau terlalu banyak membagi keluh kesah rumah tangga mereka kepadaku. Mungkin terlihat aku cuek-cuek saja ketika beliau bercerita, tapi tanpa ada seorang pun yang tahu, otakku pun ikut memikirkan apa yang tidak seharusnya.

Dan, ya ... kurasa semalam puncaknya. Mereka akan bercerai, keluargaku akan kembali bubar. Salahku sendiri karena terlalu mengaharap kehidupan yang gemilang.

Angkot kuning butut berhenti tepat di depanku; menyipratkan beberapa percik air kotor ke seragam yang aku kenakan. Aku bangkit, memberengut samar, lantas melangkah masuk ke dalam.

"Hai, Magen," sapaku sembari menyenggol bahu seorang gadis yang duduk setengah maju —karena tertidur— dan hampir kejengkang. "Masih pagi udah molor aja." Kuhadiahkan senyum secerah mentari yang tertutup awan begitu gadis itu menoleh dan menukikkan kedua laisnya dengan tajam.

"Justru karena ini masih pagi," kepalanya kembali menghadap ke depan, "makannya aku ngantuk. Hujan-hujan begini harusnya memang sekolah diliburkan. Tapi, tidak, murid di Indonesia terlalu rajin. Dan pola pendidikannya pun terlalu baik untuk dikalahkan dengan guyuran hujan." Aku tertawa, iku memandang ke arah depan.

Tidak ada lagi pembicaraan di antara kami. Magen kembali memejamkan mata sedangkan aku menatap hujan lewat kaca jendela. Rupanya ada beberapa siswa rajin —atau entah terlalu gila— yang nekat menerobos hujan dengan mengendarai motor. Jas hujan model kelelawar mereka berkibar-kibar seiring dengan sepedahnya yang melaju di jalanan. Kalau saja ujung belakang salah satu jas hujan itu disambar truk yang melaju cepat, sudah dipastikan mereka akan tewas.

"Eh, jangan mengkhayalkam hal buruk," kuingatkan diriku sendiri.

Ngomong-ngomong tentang Magen, dia sejengkal lebih tinggi daripada aku —dan entah mengapa itu membuatku jengkel. Parasnya cantik namun hobinya adalah menghamburkan nikmat Tuhan itu dengan memasang tampang durjana. Dikarenakan sikapnya itu, alih-alih ada yang mendekati, beberapa cowok mungkin akan langsung ciut begitu ditatapnya. Kepribadiannya tak jauh berbeda dengan diriku, itulah mengapa kami bisa berkawan. Sayangnya kami tidak satu sekolah. Dia merupakan siswa di sekolah tetangga. Pertemanan kami terjalin tanpa sengaja lantaran sering menumpangi angkot yang sama. Entah sejak kapan tepatnya, kami tiba-tiba saja berteman. Setidaknya kehadiran Magen bisa menjadi pengganti dua sahabatku yang sekarang sudah menaiki motor ke sekolah.

Aku tidak menyalahkan mereka kalau diriku ini tidak bisa mengendarai mot —sebentar. Aku merasa ada yang ganjal. Magen bukan siswa di sekolahku tapi dati sekolah tetangga. Sekolah tetangga itu tempat si kunyuk kampret yang belakangan mengganggu ketenangan hidupku.

"Magen." Tanganku terulur untuk mengguncang tubuhnya agar terbangun dari tidur. "Magen." Aku mengulangi sampai alis Magen mengerut tak suka, disusul dengan kedua matanya yang mendelik durjana seolah akan mengeluarkan laser yang bisa merubahku menjadi batu.

"Apa, sih?" Kugeser beberapa centi jarak tubuh antara kami. Memamerkan senyum lebar untuk menetralisir tatapan Magen yang begitu sangat kejam. "Ngapain bangunin ndoro tidur? Belum juga sampai!"

"Anu, itu —"

"Cepetan, kalau enggak penting, aku tendang kamu sampai terjungkal ke aspal," sambarnya dengan kesal. Bulu tengkukku meremang, Magen adalah sejenis psikopat yang lolos dari pengawasan, maka hal yang dia katakan bisa saja benar-benar dilaksanakan.

"Kamu ... kenal bocah bernama Mahameru?" Persetan dengan ancamannya. Yang penting aku bisa mendapat sedikit petunjuk kenapa cowok kampret itu meninvasi hidupku belakangn ini. "Dia pembully? Pencari keributan? Hobi mencari kacung di sekolah tetangga? Gemar mengacau kehidupam bocah random?" Magen hanya melongo sepanjang aku mengoceh. Matanya mengerjap beberapa saat, mulutnya membulat, kepalanya mengangguk-angguk seperti burung pelatuk —memangnya pelatuk mengangguk? Sudahlah, lupakan.

Tangan Magen tergerak untuk mengusap liur yang jatuh di kain tasnya, yang mana itu membuatku mengerutkan kening tanda jijik, lantas mengelapkan tangan berliurnya ke tisu yang sekarang dimasukkan ke dalam saku seragam; sebelum dia mengucap, "Oh, si tolol yang suka sama kamu? Kenal, dong, kami satu kelas."

Petir imajiner menyambar kepalaku. Aku beberapa kali digoda oleh siswa lelaki di kelas, dan aku hanya menganggapnya sebagai candaan; pun dengan apa yang dilakukan Mahameru belakangan. Ternyata ... ada maksud lain dari godaan yang dilontarkannya.

"Jangan bercanda." Sekarang ini yang paling benar untuk aku lakukan adalah mengelak.

Magen mengangkat bahu. "Itu faktanya," ucap gadis kampret itu tanpa ada beban. Aku merasa punggungku ditepuk perlahan, "Selamat, akhirnya ada juga manusia yang nyadar kalau kamu itu ada." Sialan.

" Sialan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku dan Kamu, Tanpa Kita {JakeNoo}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang