Bagian 8

62 14 4
                                    

Lima menit sebelum upacara bendera di Senin pagi yang indah, ketika aku baru saja merogoh topi dari dalam tas, seonggok manusia kurang kerjaan mengintip lewat jendela kelas sembari pamer cengir kekanak-kanakan yang belakangan sering aku lihat. Setelah kedua mataku menangkap deret giginya, rasa gugup yang sejak semalam menghantui langsung lenyap seketika. Sebagai gantinya, rasa panik dan heran mulai menyelubungi.

Entah aku sudah menutup resleting tas dengan benar atau belum, aku tidak sempat mengkhawatirkan. Cepat-cepat aku keluar dari kelas dan menarik Mahameru untuk menjauh dari beberapa anak kelas yang tengah mengerutkan dahi dengan penuh tanya. Bukan apa. Beberapa hari belakangan ini ada seonggok teman kelas kampret yang menyebarkan berita hoax kalau aku sudah mempunyai seorang pacar yang acap kali menungguku di gerbang ketika pulang sekolah. Seperti yang kalian duga, Kawanku, pacar yang mereka maksud adalah Mahameru.

"Ngapain pagi-pagi mbobol sekolah orang?" Aku masih berjalan cepat sembari menyeretnya dengan paksa.

"Aku masuk lewat gerbang. Bukan mbobol. Aku bukan maling kali." Kesal Mahameru yang tidak kuketahui bagaimana ekspresinya sekarang ini. Aku baru saja ingin menimpali ketika Mahameru berkata, "Kemarin Sabtu kan kamu bilang Senin ini enggak punya teman buat ke lapangan upacara. Makannya mau aku temenin." Kulepaskan tangannya dari genggaman. "Kok dilepas? Lagi, dong," kata Mahameru sembari menyodorkan tengannya.

Kuabaikan rajukan si kampret ini. "Hah?" Rahangku jatuh entah seberapa jauh. Otakku macet, tidak bisa mencerna gagasan yang baru saja dia katakan. "Kepalamu isinya macam apa, sih?" Mahameru merengut.

"Dih, nggak ngehargai usahaku banget, sih," cibirnya. Dia memiringkan badan, menunjuk ke arah lengannya dengan pongah. Awalnya kupikir dia ingin memamerkan otot lengannya atau apa, sebelum dia berkata, "Lihat, nih! Aku bela-belain malak seragam tetanggaku yang sekolah di sini!" Lantas tahulah aku kalau yang coba dia pamerkan adalah tanda pengenal sekolahku yang terjahit di lengan seragam bagian kiri. "Ini seharga sebungkus rokok tahu."

Kekesalanku luntur sepenuhnya. Aku tertawa. Entah bagian mana dari celotehan Mahameru yang lucu. Mungkinkah bagian dia yang mengaku memalak seragam tetangganya ataukah bagian di mana dia membelikan sebungkus rokok untuk menyogok tetangganya itu? Yang lebih anehnya lagi, jantungku berdebar-debar. Rasa-rasanya sekarang ini aku ingin melompat ke kasur kemudian menendang-nendang selimut.

"Pipimu kenapa jadi semu oren?" Kami saling bersitatap. Bibir kamu menganga selama beberapa saat.

Kutangkup kedua pipiku —yang sialnya akhir-akhir ini semakin berisi. "Ayo! Nanti telat." Aku membalik badan, melepaskan tangkupan pada pipi, mulai melangkah pelan.

Mahameru tiba-tiba saja menjajari langkahku. Menarik tangan kananku, mengapitnya di sela antara pinggang dan tangan kiri. Wajahnya menoleh, senyumnya mengalahkan cerahnya mentari. "Biar kaya orang mau ke altar." Bisakah kita menggelar hajatan di jantung dengan suara musik dangdut yang berkekuatan selusin sound system? Kenapa, kalian tanya? Karena itu yang kurasakan sekarang. Ada yang salah dengan organku.

Meskipun demikian, aku tidak berusaha melepaskan tangan dari kempitannya. Walaupun beberapa siswa memandang kami seolah kami adalah komplotan preman yang menyusup ke sekolah untuk menjotosi semua warganya. Tetap kubiarkan posisi mencurigakan kami walau ada dua orang teman sekelasku yang menampilkan senyum aneh ketika berpapasan denganku. Dan aku berani berjanji akan membiarkan posisi ini selama mungkin karena entah atas dasar apa aku merasa nyaman dengan kontak fisik ini.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku dan Kamu, Tanpa Kita {JakeNoo}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang