Bagian 7

62 14 2
                                    

Kujilat ludahku sendiri, —bukan secara harfiah— aku mengakui. Baru saja kukatakan kalau aku tidak ingin menjalin hubungan, sekarang aku sudah berakhir duduk di alun-alun kota sembari memegang botol air mineral di tangan dengan Mahameru yang duduk di sampingku sambil tangannya mengusap-usap punggungku. Air mata kampretku sudah kering sejak dua menit yang lalu. Sekarang ini hanyalah tersisa wajah lecek penuh bekas air mata, hidung merah dengan ingus bening yang menggelandut di antara lubang hidung dan bibir, dan juga sesegukan yang mulai jarang.

Kami berdua bungkam sejak para khalayak berhenti mengomel dan menyumpahiku. Terbesit sedikit rasa khawatir kalau-kalau sehabis ini suara Mahameru menghilang lantaran terlalu banyak menuturkan kata maaf setiap ada seonggok manusia yang mengomel panjang lebar. Lucu sekali, juga mengharukan. Tidak pernah ada orang yang mau repot meminta maaf atas kesalahanku.

Dia berdehem. Elusan tangannya mulai melambat, kemudian berhenti. Mahameru berdehem. "Jadi ... apa? Kenapa?" Aku masih bisa merasakan tangannya di punggungku. Aku menoleh, menyatukan kedua pangkal alis, mengerutkan dahi. dia menjilat samar bibirnya. Matanya segera teralih menatap ke arah botol air mineral yang aku remat hingga tewas. "Itu ... maksudnya, kamu kenapa? Ada masalah apa sampai —oh, maaf kalau kamu tersinggung." Segera diriku tersadar kalau wajahku tengah mengerut dengan kesal. Tangan Mahameru yang bebas, menggaruk tengkuknya dengan canggung. Wajahnya mengedar, menghindar dari menatap paras kesalku yang belum kunetralkan.

Sejak tadi hatiku sudah sedikit damai lantaran dia menjadi diam, tidak seperti biasanya. Seperti biasa, Tuhan selalu punya kejutan besar untuk dijatuhkan secara tiba-tiba di depan hidungku. Ini lagi si Mahameru, tidak berempati sampai-sampai menyakan hal demikian dengan terang-terangan.

Dia hanya bertanya. Dan itu wajar karena rasa empatinya lebih besar daripada milikmu, pikiran baikku menasehati dari relung terdalam. Benar juga. Meski aku kesal setengah mati dan begitu membenci dunia fana ini, tidak semuanya harus merasakan pelampiasan kekesalanku.

Ekspresiku segera kurubah menjadi biasa saja. "Maaf," kataku. Dia menyelesaikan acara mari-menatap-sekitar-dan-menghindari-tatapan-kesal-nya. Entah mengapa kekesalanku kembali ketika melihat senyum tipis muncul di wajah Mahameru. "Jangan senyum," peringatku. "Aku benci manusia bahagia." Aku melanjutkan. Lunturlah senyum setipis pahala itu dari wajahnya.

"Iya, maaf." Tangannya membebaskan punggungku, nada bicaranya sedikit masam. Nampak sekali kalau orang ini sedang kesal. "Jadi kamu tadi ngapain? Motivasi macam apa yang menahanmu berdiri di tempat kaya kambing dongo?" Mahameru menurunkan sedikit kelopak matanya, dagunya terangkat untuk menunjuk ke arahku dengan pongah.

"Cuma nggak sadar aja kalau ada tronton mau ngegilas badan." Kujawab saja dengan asal. Wajahku terpaling kembali ke arah depan. Menatap bunga kertas na'as yang tewas akibat diinjak pengunjung buta aturan. Mahameru berdecih sinis. Kesinisanku memaksa ingin dimuntahkan. "Kenapa?"

"Ternyata kehebatanmu cuma sebatas kabur dari manusia, bukan yang lainnya." Apasih yang dia maksudkan sekarang ini? Apakah ini semacam bentuk balas dendam berupa penghinaan? "Kalau bohong itu yang masuk akal. Karangan kamu malah lebih buruk dari anak TK." Hidungku gatal, pula dengan tanganku yang gemas ingin menyumbat mulutnya. "Kalau seumpama ada masalah, lebih baik dicari jalan keluar lainnya. Bukan malah berdiri menantang maut."

"Aku enggak! Hidupku mulus-mulus aja, tuh!" kilahku sambil berteriak serta memasang wajah nyolot.

Mahameru membalik wajah. Mata kami bertemu, saling bersitatap selama beberapa saat. Wajahnya dingin. Tidak ada senyum jahil yang biasa dipasang di wajahnya. Mata kecoklatannya menatap keji seolah akan mempreteli setiap inci dati bagian tubuhku. Aku tidak mau kalah. Kusatukan kedua pangkal alis, kulengkungkan bibir ke arah bawah. "Yaudah, sih, terserah," katanya. Dia bangkit berdiri, meregangkan badan lantas menoleh lagi ke arahku. "Kalau nggak mau cerita ya tidak usah melotot juga," sewotnya. Wajahku kembali normal. Aku ikut berdiri. Memungut tote bag yang isinya sudah berantakan dan juga drafting tube yang penyok di bagian bawah. Semoga tugasku terselamatkan. "Kamu pulangnya gimana?" Baru saja aku akan membuka mulut, tiba-tiba saja dia melanjutkan, "Aku senang saja, sih; kalau kamu minta diantar pulang. Latihan band bisa dilakukan nanti." Entah apa yang salah dengan Mahameru, tapi sekarang dia tengah tersenyum malu-malu seolah aku baru saja melemparkan gombalan murahan kepadanya.

Aku dan Kamu, Tanpa Kita {JakeNoo}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang