Bagian 3

69 15 1
                                    

Sisa hariku berjalan seperti biasanya, setelah Mahameru menggeloyor pergi dengan motornya. Aku iringi kepergiannya dengan sumpah serapah lantaran dia bilang kalau esok dia akan kembali datang. Kuanggap telinganya sedikit tuli karena tidak bisa mendengar perkataanku ketika naik sepeda tadi. Besok aku akan pulang lewat gerbang belakang. Lagipula di belakang sekolahku adalah masjid, bukan kuburan. Meski itu berarti aku harus berjalan memutar sedikit lebih jauh dari biasanya.

Malam ini, hujan kembali mengguyur di luar. Cahaya putih berkilatan tanpa disertai petir. Aku tengah direpotkan dengan berbagai macam tugas akhir yang susahnya bukan main. Menyusahkan, mengingat sebentar lagi aku akan lulus sekolah. Terkadang aku pertanyakan jalan pikiran mereka; tidakkah mereka kasihan melihat murid kelas 12? Selain karena ujian-ujian akhir sekolah, kami juga harus menyiapkan ujian masuk perguruan tinggi —tidakkah mereka memikirkan itu? Entahlah, aku tidak bisa menebak isi kepala para guru.

Petir pertama menggelegar sesaat setelah adanya kilatan cahaya putih terang. Aku menjerit di balik bungkaman tangan.

Aku sudah pernah bilang kalau aku takut petir, 'kan?

Rintikan hujan di luar nampaknya berubah menjadi semacam gumpalan, terdengar dari suara jatuhnya di atas genteng yang semakin berisik. Petir kedua menyambar. Sekarang aku tidak bisa menahan ketakutanku; kutendang meja belajar dari atas kasur, menggulingkan tumpukan buku tulis dari atasnya. Untung saja aku sempat menyelamatkan lembaran kertas gambar dari menyongsong ajal.

Petir ketiga menyambar. Lebih panjang, lebih keras, lebih menyeramkan. Kugulung tubuh dengan selimut; bersembunyi di bawahnya, menutup kepala dengan bantal.

Keringatku bukan main banyak dan besarnya. Nafasku sesak karena tergencet bantal. Aku terlalu takut untuk keluar. Akan tetapi, aku juga akan cepat mati kalau lama-lama seperti ini.

Sementara aku hampir terbunuh di bawah sini, petir malah semakin menjadi-jadi. Mataku terasa berat, nafasku semakin sesak, keringatku semakin banyak. Jangan bilang kalau aku akan mati? Kuharap jangan. Kalian salah kalau mengira aku takut mati. Aku mengharapkannya lebih dari apa pun. Hanya saja, akan nampak menggelikan begitu orang-orang tahu penyebab kematianku adalah sesak nafas karena wajah yang tergencet bantal akibat ketakutan akan petir yang menyambar.

Mataku semakin berat, dan tiba-tiba gelap. Nah, kalau sudah begini memang waktunya untuk pasrah. Persetan dengan kegelian orang-orang.

Entah sudah berapa puluh kali petir menyambar. Entah sudah berapa lama hujan jatuh ke tanah. Entah berapa lama aku meringkuk dengan keringat dingin di bawah selimut, aku tak ingat. Ketika aku membuka mata, tahu-tahu semuanya sudah gelap. Kipas angin mati, tumpukan buku tulisku masih rebahan di lantai. Ternyata aku ketiduran, dan sekarang mati lampu. Malam yang indah.

Yah, setidaknya kilat dan petir sudah berhenti menyiksa bumi. Dan nyatanya aku tidak jadi mati karena diri sendiri.

Kegiatan pertama yang aku lakukan setelah tahu listrik padam adalah turun dari ranjang. Melangkah mendekati pintu, lantas keluar. Kalau kalian masih belum paham apa yang coba aku perbuat, aku sedang berusaha menjarah lilin di dapur, Kawan.

Rumahku adalah tipe sederhana, dan aku bersyukur karena itu. Jarak antara kamarku dengan dapur hanya satu kamar. Jadi aku tidak perlu berlama-lama celingukan dengan perasaan was-was di luar kamar. Aku juga tidak perlu menambah dosa karena telah berburuk sangka kepada para Penjahat dan mahkluk gaib yang mungkin kebetulan berada di rumahku sekarang. Ini adalah salah satu dampak buruk karena menggemari novel horor dan thriller. Ruang gerak kita dibatasi dengan imajinasi mengerikan yang kita ciptakan sendiri.

Aku terus berjalan sambil membayangkan ada seorang maling yang muncul entah dari mana; memergoki diriku yang tengah mengendap-endap dan celingukan, lantas menggorok leherku untuk membuatku bungkam. Akan bagaimana reaksi Ayah dan Ibu nanti? Selain itu, aku juga membayangkan ada wajah seram beraroma busuk yang tiba-tiba muncul di depan mataku.

Aku dan Kamu, Tanpa Kita {JakeNoo}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang