Lima menit lagi adalah penentuan tentang akan bagaimana kehidupanku kedepannya. Dalam lima menit lagi, setelah hampir sebulan menunggu, jawaban akan pertaruhan mati-matian yang aku lakukan selama memasuki SMA akan terpampang nyata di layar laptop yang sedang terbuka. Lima menit lagi merupakan penentuan apakah diriku ini akan berhasil atau gagal. Orang tuaku sangat berharap aku akan lolos dalam seleksi lewat nilai raport ini, karena menurut mereka siswa-siswa yang lulus lewat jalur ini adalah siswa yang paling pintar di antara yang terpintar. Karena itu, aku harus lolos seleksi ini. Karena hanya dengan itu aku bisa merasa kalau aku dibanggakan. Meski hanya sebentar, meski nanti ketika menginjak dunia perkuliahan mereka akan menaruh harapan baru yang lebih besar lagi, aku tidak masalah. Aku hanya ingin dianggap.
Adikku pulang dari asrama tadi pagi. Dijemput oleh ibu dan ayah (yang baru saja pulang semalam untuk menindak lanjuti pembicaraan tentang perceraian). "Bosan kehidupan asrama," katanya sambil duduk bersila di bawah sofa. Mereka bertiga sedang berbincang di meja makan sekarang. Bersenda gurau sehingga tawanya mengumandang sampai ke dalam kamar. Mungkin memang benar kalau adikku adalah semacam pembawa keberuntungan. Setelah dia sampai di rumah, ayah dan ibu bersikap seperti pasangan pada umumnya. Tidak ada lagi makian, tidak ada kata ketus, dan sikap ogah-ogahan. Mereka semua normal, layaknya keluarga. Pantas saja mereka begitu menyayangi adikku. Beda denganku, dia ratusan kali jauh lebih membanggakan dan membawa keberuntungan.
Jam 3 baru saja lewat satu menit. Aku kesenangan melamunkan hal-hal tidak penting sehingga lupa kalau ada yang lebih penting di depanku. Aku menarik nafas panjang. Membiarkan jemariku mengetik, kemudian menekan tombol Enter. Laptop mulai memproses semua informasi yang kumasukkan dengan lambat. Jemariku mengetuk-ngetuk pinggiran laptop dengan sedikit tidak sabar. Jantungku berdegup-degup menunggu kepastian. Kaki kananku tak mau diam, bergerak-gerak hingga membuat kasur bergetar.
Situs kampret ini tak kunjung menampilkan informasi yang kutunggu. Kata orang yang sudah pernah melalui, hal seperti ini adalah wajar. Mengingat banyak sekali yang mengakses satu situs yang berkembang ini dalam waktu yang sama.
Aku menutup wajah. Siap tidak siap dengan hasil yang akan terpampang nanti. Tubuhku tidak mau diam. Jantungku pun demikian. Aku sedikit mengintip melalui celah jari tangan, lantas mendecak, "Sial!" Bermenit-menit aku menunggu dengan tidak sabar dan jantung hampir sepenuhnya melompat ke luar, malah layar putih yang kudapat. Error. Aku harus mencobanya dari awal.
"Bagaimana hasilnya?" Ibu tahu-tahu berdiri di pintu. Bersama ayah yang bersedekap tangan di sampingnya, dan tentu saja adik yang mengekor di belakang mereka. Aku kembali menundukkan kepala, menatap layar.
"Belum lihat. Ini baru mau ngulang dari awal. Tadi eror." Aku menjawab sembari mengulang apa yang kulakukan tadi. Mereka bertiga tahu-tahu ada di belakangku. Ikut menatap layar. Gemetar tanganku sangat amat terasa. Ini lebih mendebarkan daripada tadi. Mereka, orang-orang yang sering memandangku rendah, ada di belakangku. Menunggu bukti apakah aku sedikit berguna atau memang sepenuhnya bodoh dan tiada guna.
Kutarik nafas sebentar, lalu kupencet tombol Enter. Ajaib, web tersebut bisa memuat informasi hanya dalam waktu beberapa detik.
Jantungku mencelos entah ke bagian mana. Mataku buram karena air mata yang menggenang. "Apa-apaan itu?" Suara geram ayah terdengar samar sedetik setelah warna merah terpampang di layar. Aku ditolak. Aku gagal. Aku tidak berguna.
"Kok bisa kamu ditolak?" Suara ibu mulai berubah ketus dan sinis. Aku memejamkan mata, membiarkan air mataku jatuh sebentar. Aku masih diam. Adikku berjalan ke luar kamar. Sepertinya dia tidak mau terlibat. "Apa ibu bilang?! Kamu itu harus serius kalau melakukan sesuatu." Lanjutnya dengan marah.
Aku menahan isak dan air mata yang ingin keluar. "Aku sudah serius, Bu, Yah." Tanganku meremat sprei, mataku masih menatap warna merah yang terpampang.
"Pasti pengumumannya salah. Coba kamu ulang lagi. Sini ayah aja yang ngulang." Ayah mengambil laptop di depanku dengan serampangan. Mengetik tidak sabaran, kemudian mendesah kecewa. Kegiatan seperti itu berulang sampai tiga kali. Mereka tidak menerima anak tengiknya ini gagal dalam seleksi.
"Ayah, stop!" Aku berbalik, merebut kasar laptop di tangannya. "Apa yang kalian harapin? Aku udah ditolak! Mau diulang sepuluh kali pun isinya ga bakal berubah!" Aku menatap nyalang ke arah mereka yang terkejut dengan teriakanku.
Ibu berjalan keluar dengan murka. Membawa seluruh rasaa kecewa dan amarah yang sudah dia pendam sejak lama. "Kamu memang tidak pernah membanggakan," katanya ketika kakinya hanya sejengkal dari pintu.
Aku menunduk. Menatap warna merah yang ada di laptop. "Nggak peduli seberapa keras aku berusaha, seberapa banyak prestasi yang aku punya, aku ga akan pernah menjadi anak yang membanggakan. Iya kan, Yah?" Aku mengangkat kepala, menatap ayah, meminta sedikit penguatan darinya. Kubiarkan air mataku jatuh ketika menatap wajahnya. Aku ingin dia tahu kalau aku sedang butuh pertolongan. Sekali saja aku ingin ayahku tahu kalau aku tidak pernah baik-baik saja. "Dari aku kecil sampai sekarang, aku cuma kesalahan, Yah? Aku gak pernah ngebanggain? Sekali pun?"
"Tidak usah berlagak. Pikirkan apa yang harus dilakukan jika sudah begini." Ayah beranjak pergi. Tidak menjawab pertanyaanku. Tidak mengindahkan permintaan tolongku. Membanting pintu kamar dengan keras, membiarkan aku merenungi semuanya. Aku putus asa. Setelah sekian lama aku menyangkal, akhirnya aku menerima kalau sudah lama aku benar-benar sendirian. Tidak ada lagi yang berdiri di sampingku, memegang tanganku, menemaniku melewati banyak hal. Sudah sejak lama aku sendirian.
Kubenamkan seluruh wajah ke bantal. Berteriak-teriak marah dan meraungkan tangisan. Hatiku sakit. Seluruh tubuhku sakit. Semua yang ada di sekitarku sudah menghancurkanku sampai ke tulang.
Aku tahu ini hal wajar. Ditolak dan diterima merupakan sesuatu yang memang seharusnya terjadi dalam sebuah tes masuk ke perguruan tinggi. Aku juga tahu masih ada puluhan tes yang bisa kuikuti. Aku juga masih bisa mendaftar untuk ikut tes tulis. Namun, aku tahu pula bahwa menangis jika hasil yang kita dapat tidak sesuai dengan apa yang kita mau itu wajar. Seharusnya semua ini wajar. Aku masih SMA, semua ini harusnya normal dan wajar.
Meskipun demikian, aku tidak bisa. Aku menyalahkan diriku, aku meraung dalam dekapan bantal. Bukan hanya untuk hasil seleksi yang mengecewakan tapi juga untuk banyak hal. Untuk aku di masa kecil yang dipukuli hanya karena nilaiku turun, untuk aku di masa kecil yang dikeluarkan dari rumah ketika tengah malam hanya karena aku tidak kuat lagi belajar, untuk aku yang dijadikan bahan perundungan dari sekolah dasar hingga tahun terakhir SMP, untuk aku yang tidak pernah merasakan peran orang tua, untuk aku yang melakukan banyak hal hanya agar diterima, untuk aku yang sudah lelah dengan segalanya, untuk aku yang sendirian dan tidak punya siapa-siapa, untuk aku yang tidak pernah menjadi berharga.
Jika sudah begitu, mati saja.
Suara asing itu kembali muncul. Kali ini lembut menyapa telinga, penuh kasih sayang dan juga godaan.
Kurasa kalian tahu bagaimana Bab Sunu akan berakhir :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Kamu, Tanpa Kita {JakeNoo}
FanfictionPeringatan : Cerita ini mengandung unsur LGBT yang akan mengganggu bagi beberapa orang. Tentang Sunu Diantara, seorang anak SMA yang melakukan banyak hal untuk bisa diterima oleh orang tuanya. Seorang anak yang gencar sekali merasa kurang dan tidak...