“I knew it like destiny. And at the same time, I knew it as a choice.”
.
.
.Di suatu pagi yang cerah dan tenang, seorang pria terlihat sedang memancing di tepi danau. Wajahnya terlihat serius, seakan ia sedang mengerjakan suatu misi mata-mata. Padahal sebenarnya, ia hanya mencari jenis ikan tertentu yang entah kenapa sedari tadi belum ia dapatkan.
Pancingnya ditarik. Wajahnya berubah sumringah, penuh dengan harapan bahwa ia akhirnya mendapatkan ikan yang ditunggu. Namun saat ia menggulung benang dan menarik ikannya ke daratan, ia kembali kecewa. Ia hanya dapat menghela napas gusar sebelum akhirnya kembali melepaskan ikan tersebut.
Kembali ia memasang umpan pada kailnya. Ia heran, padahal ia sudah membawa umpan khusus untuk ikan yang ia incar, tetapi kenapa ikannya tidak tertangkap juga? Padahal ia sedang dikejar deadline untuk membuat menu baru dan ikan yang harus ia tangkap ini adalah bintang utama dari menu tersebut.
Ia berdiri dan mulai mengukur jarak lemparannya. Ia mundur sedikit dan membuka kuda-kuda. Belum ia melempar kailnya, tiba-tiba terdengar suara ceburan air disertai dengan teriakan.
“Tolong! Tolong aku!”
Ia melemparkan pancingnya sembarang.
‘Peduli setan dengan pancing ini!’ batinnya, sebelum ia berlari ke arah pria itu.
Jarak antara tempat ia memancing dan lokasi pria itu terjatuh lumayan jauh. Danau ini pun bukan danau yang sering dikunjungi di pagi hari. Sembari berlari, ia memperhatikan bahwa pria itu sepertinya terjatuh dari jembatan kecil yang mengarah ke danau. Sesampainya di jembatan tersebut, ia langsung melompat ke danau. Dengan cekatan ia berenang ke arah pria tersebut. Ia memeluk tubuh pria itu dengan satu tangan sembari berenang ke tepian. Namun ia merasa pria yang ia selamatkan mulai tidak sadarkan diri.
“Hei! Jangan tidur!” teriaknya.
Pria tersebut menggenggam lengan yang melingkari tubuhnya dan berujar pelan dengan suara yang gemetar, “…aku tidak tidur.”
Ia bersyukur bahwa pria ini tidak panik dan meronta seperti kebanyakan orang ketika diselamatkan. Disaat seperti ini, ia bersyukur pernah mengikuti pramuka dan pernah mengambil TKK Perenang. Ia tidak menyangka ia akan menggunakan kemampuannya untuk saat seperti ini, namun tentu ia tetap bersyukur.
Sesampainya di tepi, ia langsung membaringkan pria itu.
“Hei, bangun,” ujarnya sambil menepuk pelan pipi pria itu.
Pria itu membuka matanya. Ia memandang pria itu dengan seksama, menyadari bahwa mata pria itu terlihat tidak fokus.
“Apa kau bisa melihatku?” tanyanya.
Pria itu mengerutkan dahinya, “Aku tidak bisa melihatmu dengan jelas.”
“Apa kau menabrak sesuatu ketika terjatuh?” tanyanya lagi sambil memperhatikan kepala pria itu.
“Tidak, bukan begitu. Aku sedang sakit. Sudah beberapa bulan ini penglihatanku mulai kabur. Karena itu aku tidak bisa melihat dengan jelas,” jawab pria itu.
“Ah, begitu rupanya. Bagaimana kau bisa ke sini? Apa rumahmu di sekitar sini? Mau aku antar?” tanyanya lagi.
“Apa tidak merepotkan?”
“Tentu tidak. Sini, biar aku bantu berdiri. Berpeganganlah padaku,” ujarnya sambil membantu pria itu berdiri.
“Terima kasih,” balas pria itu.
Mereka mulai berjalan melalui jalan setapak. Sepertinya pria ini merupakan penduduk sekitar. Walaupun penglihatannya kabur, ia tidak ragu dalam melangkah. Bahkan sambil berjalan ke rumahnya pun, ia cukup mengikuti arah tubuh pria itu. Bisa dibilang, pria itu berjalan dalam mode autopilot, seakan sudah memiliki program dalam tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not a Disney Love Story
RomanceYibo melihat sekelilingnya. ... ... Siapa sangka niat baiknya menolong seseorang akan berakhir seperti ini.