Ada yang bilang bahwa cinta pertama tidak akan pernah mati. Aku tidak percaya. Pengalamanku tidak begitu. Kisah cinta pertamaku jelas tidak seindah itu.
Aku mulai naksir laki-laki teman Abang itu sejak masuk SMA. Aku dan banyak anak perempuan lain, maksudku. Tidak heran, masa itu, siapa sih yang bisa kebal dengan pesona anak chindo yang punya tampilan keren begitu?
Bisa dibilang bahwa Abang adalah key pass dalam hubungan kami. Aku menjadikan Abang sebagai alasan untuk bisa berada dekat-dekat Gara. Dan Garaksa Batara Adriawan itu nekat memacariku karena aku adalah adik sahabatnya.
Sayangnya, itu juga yang akhirnya menjadi alasan menyebalkan yang sama, yang membuat Garaksa akhirnya memutuskan untuk menjadikanku mantannya.
Menurut pengakuannya, dia kesulitan membedakan rasanya terhadapku. Dia bingung, apakah sebenarnya menyukaiku karena menganggapku adik, atau sebagai laki-laki dan perempuan. Jadi, karena dia sendiri tidak bisa memilah, dia memutuskanku dan berdalih bahwa dia tidak ingin menyakitiku. Bahwa aku terlalu baik untuknya, dan bahwa aku pantas dapat yang lebih baik dan sebagainya. Pacaran tiga tahun yang berakhir patah hati. Menyebalkan sekali.
Tapi aku tidak akan munafik dan mengatakan bahwa cinta pertamaku adalah kesialan total, tidak. Nyatanya, meskipun rasa cinta itu sudah menguap bertahun-tahun yang lalu, masih tetap ada bagian-bagian yang sulit untuk kulupakan sampai sekarang.
Biar bagaimanapun juga, laki-laki itulah yang pertama kali membuatku jatuh cinta. Mengenalkanku pada hangatnya ciuman pertama serta memberiku patah hati untuk yang pertama kali. Dan bagian itu yang rasanya paling kuingat dengan jelas sampai sekarang, patah hati.
Jadi tidak aneh rasanya kalau aku masih tidak suka saat terpaksa harus bertemu dengan orang yang menyebalkan itu lagi, seperti sekarang ini.
Aku baru saja turun dan bersiap hendak ke kantor saat hal pertama yang tertangkap oleh netraku adalah sosok Garaksa Batara Adriawan yang sedang duduk di atas sofa ruang tamuku dengan begitu santai.
"Hai." Suara beratnya menyapa basa-basi.
Aku tidak perlu repot-repot berpikir dua kali untuk memastikan bahwa itu memang benar Gara. Aku hafal betul bagaimana suaranya. Laki-laki itu juga tidak banyak berubah. Tubuhnya masih selalu tinggi dengan kulit putih bersih yang kadang membuatku iri. Dan entahlah, mungkin karena kami terlalu lama bersama, aku bahkan bisa langsung mengenalinya begitu saja di mana pun.
"Hm, hai." Sahutku, tersenyum sopan tanpa berniat melanjutkan basa-basi.
Sebenarnya tidak aneh menemukan Gara berkeliaran disekitarku di saat-saat begini. Bukan untuk menemuiku, tentu saja. Aku akan sering mendapati wajah itu kalau Abang sedang pulang ke rumah, seperti pagi ini.
"Udah mau berangkat?"
Pertanyaan Randika, Abangku yang duduk persis di hadapan Garaksa itu menghentikan langkah kakiku.
"Iya, Bang."
"Motor lo kempes." Katanya tiba-tiba.
Aku mendengus kecil. Alur cerita karangan Abang sudah bisa ditebak arahnya. Tiba-tiba ada Gara di rumah, ban yang mendadak kempes dan aku yang akan berangkat kerja. Apalagi kalau bukan Abang berharap Gara akan memberiku tumpangan?
"Oh, oke Bang, aku pesen ojek online aja."
Mungkin Abang lupa betapa canggihnya teknologi jaman sekarang, tapi aku masih punya akal untuk menghindari segala macam skenario yang dia bangun untuk membuatku dan Gara balikan.
Di antara aku dan Gara, memang Abang lah yang paling tidak bisa move on. Entahlah, mungkin membayangkan adik dan sahabatnya naik pelaminan adalah hal yang menyenangkan untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sometimes, Love Just Ain't Enough
Romance"Tapi cinta aja nggak cukup, Genara." Aku tidak menanggapi, bahkan bergerak pun tidak. Atau mungkin, jangan-jangan aku juga lupa bagaimana caranya bernafas, entahlah. Aku tidak tahu bagaimana ekspresiku sekarang, tapi Mas Hardy menatapku dengan soro...