Nyatanya, bukan pertanyaan Mas Hardy yang memecah keheningan di dalam mobil selama beberapa menit ini, melainkan dering pelan ponselku yang menampilkan nama Mbak Tina di sana.
"Lo masih hidup kan, Gen?" Adalah pertanyaan pertamanya.
"Masih, Mbak. Nggak apa-apa kok." Hiburku menenangkan. Mbak Tina tidak perlu tahu betapa dinginnya atmosfer yang melingkupi kami sekarang ini.
"Nggak apa-apa gimana? Kalau lo diculik trus diperkosa sama dia sih gue nggak apa-apa. Nggak rela sih, tapi masih mending daripada lo disekap trus dibunuh gara-gara dia nggak rela lo sama orang lain."
"Mbak ...." Aku mencoba menyela hayalan di luar nalarnya itu, tapi tidak berhasil.
"Gue mesti bilang apa sama orang tua lo? Belum lagi, gue saksi terakhir yang lihat lo hidup, gue pasti bolak-balik kantor polisi kalau bener kejadian kayak gitu."
"Mbak, aku baik-baik aja." Jelasku lagi, lama-lama ngeri juga mendengar omongan Mbak Tina yang tidak-tidak itu. "Kami cuma ... ngobrol." Tambahku tak yakin, karena sampai sekarang pun Mas Hardy belum menunjukkan tanda-tanda ingin berinteraksi denganku.
Kudengar Mbak Tina mendengus. "Di sekitar lo ada barang mematikan nggak sih? Batu, palu, apa kek gitu? Gue janji, gue bakal jadi saksi yang meringankan kalau lo sampai nimpuk kepala Hardy."
"Mbak ...."
"Denger ya, Gena." Kali ini nada bicara Mbak Tina mendadak serius. "Gue tahu, nasehatin lo di saat-saat gini tuh percuma. Tapi yang lo harus inget, dia itu udah punya tunangan. Dia calon suami orang. Jadi apapun yang dia katakan buat baik-baikin lo, tetep nggak akan ngerubah apa pun di antara kalian. Paham?"
Aku mengangguk, "Iya Mbak."
"Jadi, bilangin sama cowok sableng di sebelah lo buat hati-hati. Gue kenal semua temen dan keluarga dia. Bahkan mantannya aja gue kenal semua. Jadi kalau dia macem-macem, dia berhadapan sama gue."
"Makasih, Mbak." Kataku tercekat sebelum Mbak Tina mengakhiri panggilan kami.
"Tina?" Suara Mas Hardy terdengar tak lama setelah aku memasukkan kembali ponselku ke dalam tas.
"Iya." Sahutku pendek.
"Kenapa?"
"Mastiin aku masih hidup apa nggak."
Mas Hardy tersenyum ringan.
"Kadang aku sampai bingung, Tina itu sebenernya temenmu apa temenku sih Gen? Rasanya kamu terus yang dibelain."
Aku hampir saja kelepasan dan menjawab, "Temen kita, Mas." Untung saja aku ingat bahwa aku dan Mas Hardy tidak lagi punya 'Kita' untuk dibicarakan.
"Yang mau Mas Hardy bicarain, itu ini?" Tanyaku berani.
Mas Hardy memutar kemudinya dalam diam, ekspresi wajahnya kembali tertekuk sementara tatapannya lurus ke depan.
Sebenarnya aku tidak ingin memperhatikan, tapi selain rambutnya yang mulai tumbuh memanjang, aku harus mengakui bahwa penampakan laki-laki yang hari ini mengenakan kemeja berwana gading itu memang tetap menawan.
Selain sikap dan senyumnya yang hangat, aku juga ingat bahwa dia punya bahu yang begitu nyaman untuk disandari dan juga pelukan yang menenangkan.
"Kamu beneran punya pacar?" Aku nyaris terlonjak dan merasa bersalah karena sempat-sempatnya melamun untuk beberapa waktu.
Aku menghela napas lelah. Jawaban pastinya sudah pasti tidak.
"Kalau-kalau Mas Hardy lupa, aku bukan jenis perempuan yang gampang jatuh hati, apalagi bisa membagi perasaan pada dua orang di waktu bersamaan. Aku bukan Mas Hardy." Tantangku kejam. "Dan kalau pun akhirnya akan ada orang lain, itu sama sekali bukan urusan Mas Hardy."
Jari Mas Hardy mengencang di atas kemudinya. Aku tahu dia marah, jantungku rasanya juga berdebar keras saat mengatakan ini, tapi aku harus menyampaikannya. Biar bagaimana pun, kurasa Mas Hardy harus tahu batasannya.
"Kamu suka sama dia?" Kejarnya, berusaha tidak terpengaruh dengan ocehan panjang lebarku barusan.
"Siapa? Garaksa?"
Mas Hardy tidak menjawab, jadi aku mengambil kesimpulan kalau jawabannya adalah iya.
"Gara baik." Sahutku netral. Kecuali waktu dia memutuskanku, maksudku.
"Ganteng dan juga mapan, jangan lupa." Mas Hardy menimpali.
"Hm. Iya." Sahutku pendek, malas menjawab kalimat bernada menyindir yang begitu kental dalam suara Mas Hardy.
"Dan kalian punya kenangan panjang yang menyenangkan untuk diingat juga pastinya."
Aku mengabaikan racauan Mas Hardy yang tidak jelas ini.
"Apa sih bagusnya deket-deket mantan?" Tambahnya panas. "Mantan itu dijauhi, bukan malah diajak nostalgia segala macam."
Rasanya aku ingin sekali menertawainya sekarang.
"Ini maksudnya Mas Hardy lagi nyindir diri sendiri, ya? Mas sendiri bahkan nggak cuma balikan tapi udah tunangan juga kan?"
Aku benci nada bergetar dalam suaraku, tapi aku lebih benci pada kenyataan menyakitkan yang lagi-lagi dipaparkan di depanku.
"Kita lagi nggak bahas Alea di sini."
"Oh, sure. Jadi Gara juga nggak layak untuk dibahas di sini tentunya."
"Jangan berani-berani, Genara." Ancamnya dengan suara rendah.
"Apa?"
"Kamu cuma lagi berusaha buat bikin aku marah, Gen. Dan itu berhasil. Jadi please, jangan melangkah lebih jauh lagi."
Kali ini aku benar-benar tertawa mendengar nada penuh percaya diri yang didengungkan Mas Hardy.
Aku memang masih mencintai laki-laki itu. Tidak sebanyak hari-hari kemarin, tentu saja. Tapi melakukan hal konyol hanya untuk menarik perhatiannya? Aku tidak semenyedihkan itu.
Kali ini aku menunggu sampai mobil Mas Hardy benar-benar berhenti di tempat tujuan kami sebelum bicara lagi. Aku ingin dia mendengarkan dengan baik apa yang ingin kusampaikan.
Lalu Kutatap wajah laki-laki itu lekat-lekat sambil tersenyum.
"Mas Hardy tenang aja. Aku udah berhenti melakukan sesuatu karena Mas kok. Segala perhatian Mas tentang hidupku udah nggak lagi jadi hal yang penting. Mas udah nggak seberharga itu lagi sekarang." Jelasku tenang.
Mas Hardy menatapku lama. Tatapan tajamnya itu rasanya seperti sedang mengulitiku sampai ke dalam, seakan sedang menelanjangi pikiranku dan mencari tahu keberan di dalamnya.
Keadaan tidak menyenangkan ini buyar saat Mbak Tina tahu-tahu menggedor kaca jendela di sebelahku.
Kudengar Mas Hardy mengumpat lirih saat aku membuka pintu mobilnya.
"Lo sinting apa gimana sih, Har?" Tanya Mbak Tina sambil menarikku turun. Pertanyaan yang diabaikan Mas Hardy begitu saja. "Lagian mau ngomongin apa sih, sampai nekat nyulik anak orang segala?" Tambahnya menuntut.
"Mas Hardy cuma penasaran Mbak, Mbak Tina tuh temenku apa temennya dia, gitu Mbak." Jawabku kacau.
Siapa sangka Mbak Tina malah memberikan jawaban serius sambil tersenyum sedih.
"Kalau gue temennya Gena, gue pasti jadi orang pertama yang bakal nolak hubungan kalian. Tapi lo lihat sendiri kenyataannya kan? Meskipun bertahun-tahun kenal lo dan tahu gimana hubungan lo sama Alea yang ruwet dan nggak kelar-kelar itu, gue malah selalu jadi orang pertama yang bantuin lo deketin Gena. Gue goblok karena sempat percaya waktu lo bilang kali ini bakalan beda. Tapi sekarang, gue yang bakal berdiri paling depan buat mastiin lo jauh-jauh dari Gena."
Mbak Tina mengakhiri kalimat panjangnya sambil membanting pintu mobil Mas Hardy dengan keras.
◼◻◼
KAMU SEDANG MEMBACA
Sometimes, Love Just Ain't Enough
Romance"Tapi cinta aja nggak cukup, Genara." Aku tidak menanggapi, bahkan bergerak pun tidak. Atau mungkin, jangan-jangan aku juga lupa bagaimana caranya bernafas, entahlah. Aku tidak tahu bagaimana ekspresiku sekarang, tapi Mas Hardy menatapku dengan soro...