#6

2.3K 262 12
                                    

"Kok belinya yang botolan sih, Gen? Mama kan nitipnya yang isi ulang. Gimana sih?" Mama membuka plastik berlogo lebah itu, mengeluarkan isinya dan mulai ngomel lagi. "Harusnya yang lime, isi ulang 400ml, bukan lemon botolan gini Gen. Lagi ada promo padahal. Beli dua gratis satu, kamu malah beli dua yang botol semua. Kamu ih, kebiasaan, kalau disuruh nggak di dengerin."

Seharusnya Mama tidak perlu mengeluh. Harga sabun cuci piring yang kubeli lebih mahal dan kalau dihitung-hitung, volumenya lebih banyak dari permintaan Mama. Aku bahkan menambahkan beberapa detergen dan pewanginya sekaligus ke dalam belanjaanku malam ini. Tapi lagi-lagi, bukan Mama kalau tidak meributkan hal-hal kecil begini.

"Kenapa beli sabun cuci segala sih, Gen? Dirumah kan ada banyak, Mama jualan sekerdus malah. Buang-buang duit aja kamu."

Benar. Mama memang punya toko kelontong di depan rumah. Jelas saja semua barang yang kubeli hari ini sudah ada disana semua. Termasuk sabun cuci piring yang dipesan Mama itu. Jadi aku tidak habis pikir kenapa Mama malah memintaku untuk belanja barang yang jelas-jelas sudah dimilikinya.

"Itu di toko juga udah ada kan, Ma. Kenapa minta dibeliin lagi?"

"Ya kan promo, Gena. Beli dua gratis satu. Mama mintanya kamu beli dua dua dua, jadi bisa dapet bonus tiga. Lumayan kan kalau dijual lagi."

Aku mengiyakan omelan Mama sambil diam-diam bertanya dalam hati, kira-kira apa yang diributkan orang-orang kaya diluar sana dengan Mamanya? Bukan hal seremeh masalah sabun cuci piring pastinya. Mungkin mereka berdebat tentang ide bisnis, mobil mana yang harus dibeli, saham mana yang harus dimiliki, atau jenis menantu seperti apa yang layak untuk mereka restui.

Aku tersenyum miris dan hendak meninggalkan dapur saat Mama bertanya. "Kamu beneran lagi nggak punya pacar kan Gen?"

"Nggak punya, Ma." Sahutku jujur. Untung saja Mama tidak menanyakan ini sebulan yang lalu, atau aku akan kebingungan mencari cara untuk menghindari pertanyaan Mama.

"Kemaren-kemaren kayaknya sering pulang dianter mobil. Kok udah nggak?"

"Itu bos aku, Ma. Pulangnya searah. Kebetulan aja aku lagi nggak bawa motor, jadi dikasih tebengan. Dan nggak sering ya, cuma dua kali. Aku udah cerita kan kemaren?"

"Iya, iya. Orangnya masih muda nggak sih? Nggak sopan banget, anterin anak orang kok nggak turun trus nyapa-nyapa dulu."

"Ya kan emang cuma ngasih tumpangan, Ma. Dia nggak berniat kenal sama Mama, sama Papa atau pengen beramah tamah sama keluarga kita." Ucapku pilu. "Nggak usah diinget-inget lah Ma, orangnya udah mau nikah."

Mama diam sambil mengamatiku lekat-lekat. "Kamu nggak naksir sama dia kan, Gen?" Selidiknya.

"Sedikit." Akuku, tak sepenuhnya berbohong.

"Jangan deh Gen. Orang miskin kalau pacaran sama orang kaya, jarang ada yang berhasil sampe nikah. Susah. Ribet pasti dapat restunya. Kecuali kamu anak yang prestasinya segudang, cantik paripurna, dan banyak duit, mungkin keluarganya baru mau dan nggak masalahin orangtua kamu yang miskin ini."

Yah, terlambat kan? Aku terlanjur mencintai laki-laki itu. Dan aku tidak seberuntung itu sampai bisa diterima keluarga Mas Hardy, yang meskipun tidak pernah bertemu tapi sama sekali tidak menginginkanku.

"Mama sama Papa nggak miskin." Sahutku cepat. Kami memang bukan orang kaya, tapi paling tidak kami punya rumah sendiri. Mama punya toko dan Papa punya mobil, meskipun jenisnya bak terbuka. Tidak, kami bukan orang miskin. Kami hanya kalah kaya dari keluarga Mas Hardy. Kalah jauh. Sangat jauh.

"Ya makanya. Ibarat level, kita ini di level empat, Gen. Kalau mau cari suami, yang levelnya tiga, empat, lima gitu lah. Jangan yang tujuh atau delapan. Nggak dihargai kamu nanti. Kita pasti dianggap rendah. Nggak enak tau."

Aku tertawa. "Kok nggak level sembilan sepuluh sekalian, Ma?"

"Ya sadar diri dong, Gena. Yang levelnya segitu tuh bill gates, taipan, presiden, aktor hollywood gitu gitu. Mana kenal sama kita?"

Lagi-lagi aku tertawa. Sayang saja kami tidak membicarakan ini jauh lebih awal.

"Beneran nggak punya pacar kan, sekarang?" Ulang Mama.

"Iya, Ma." Jawabku mantap. "Kenapa?"

"Cuma memperjelas. Siapa tahu nanti ada yang nanyain."

"Siapa yang nanyain?"

"Ya kan siapa tahu, Gen. Anak Mama kan nggak jelek-jelek amat. Siapa tahu ada yang naksir, gitu."

"Emang ada?" Pancingku.

"Ada lah."

"Siapa?"

"Ada deh." Sahutnya sok misterius.

"Jangan aneh-aneh ya, Ma." Pintaku sungguh-sungguh.

"Aneh-aneh apaan sih, Gen? Mama ngapain coba?" Protesnya tak terima.

"Ya siapa tahu Mama mau jodohin aku sama duda ganteng kaya raya tapi udah tua, gitu." Selorohku asal.

"Hus. Ngawur kamu. Udah, mandi sana! Anak perawan kok joroknya minta ampun. Disuruh mandi aja susahnya kebangetan. Pulang kerja bukannya beres-beres trus mandi, malah males-malesan. Gimana nanti di rumah mertua coba?"

Aku memberi Mama cengiran lebar sebelum cepat-cepat naik ke kamar. Lebih baik pergi sebelum Mama mulai ngomel lebih banyak lagi.

◾◻◾

Sometimes, Love Just Ain't EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang