lni memang baru pertama kali aku bertemu Alea secara nyata. Tapi bukannya aku tidak pernah melihatnya sama sekali.
Berkat Mbak Tina yang memang mengenal Mas Hardy sejak masa SMA, aku berhasil tahu dan menjadi penguntit media sosial Alea dan juga semua mantan Mas Hardy sejak pertama kali laki-laki itu mendekatiku. Jadi aku sama sekali sudah tidak asing lagi dengan sosoknya.
Aku hanya terkejut karena ternyata penampilan Alea tidak kalah menarik dari apa yang ditampilkan media sosialnya. Dia memang benar-benar cantik. Kulitnya terlihat begitu halus dan pembawaannya anggun. Bahkan suaranya pun sangat sopan di telinga.
"Oh, halo, Mbak. Genara." Kataku kikuk sambil mengulurkan tangan.
Aku sungguh tidak tahu apakah Mas Hardy pernah menceritakan kisah kami pada Alea atau tidak. Tapi kalaupun Alea tahu, dia berhasil menutupinya dengan sangat baik. Dia hanya mengangkat alisnya sedikit lalu balas menyalamiku sambil tersenyum lebar.
"Halo, Genara." Lanjutnya. "Hardy sering cerita tentang kamu loh."
Aku menelan ludah lagi.
"Ya bukan melulu tentang kamu aja sih. Dia banyak cerita tentang apa aja kok tiap kami ngobrol."
Aku diam dan tidak menanggapi. Jujur saja aku tidak ingin tahu sesering atau sebaik apa komunikasi mereka sebagai pasangan.
"Hardy emang sering cerita tentang anak buahnya, tapi aku inget banget bagian yang ada kamunya."
Kali ini aku mulai mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
"Katanya, kamu satu-satunya orang di kantor yang nggak suka kopi. Nggak suka bunga, dan lebih suka baca buku ketimbang nonton film. Kita sama banget, Gen."
Alea menjeda kalimatnya dengan senyum lebar sementara aku hanya diam tanpa mampu mengeluarkan tanggapan atas kata-katanya.
"Hardy bilang kita bahkan sama-sama tukang lelet, suka ngaret dan punya alergi sama udang. Kok bisa sih, kita punya persamaan sebanyak itu, Gen? Coba kita seangkatan ya, kita pasti bisa jadi temen deket."
Sementara Alea mengabsen satu-persatu kesamaan kami, aku justru mendongak untuk menatap Mas Hardy.
Dia sedang menatapku dengan tatapan sedih sambil menggeleng sedikit. Entah untuk apa gelengan itu, aku tidak tahu. Barangkali untuk membantah ucapan Alea, atau untuk meyakinkanku bahwa apa yang sedang kupikirkan saat ini sama sekali tidak benar.
Tapi, mana mungkin dia bisa membaca pikiranku sekarang, kan?
Mana dia tahu kalau saat ini kepalaku sedang menyusun kemungkinan-kemungkinan menyakitkan? Mana dia tahu kalau aku mulai merasa bahwa dia hanya mencintaiku karena berhasil menemukan sosok Alea pada diriku?
Dan kalau semua yang dikatakan Alea benar, lalu sebenarnya, siapa yang dicintai Mas Hardy setahun terakhir ini?
Aku? Atau hanya bayangan Alea?
"Jangan mau sama-samaan kayak Gena deh, Le. Dia bego soalnya. Cowok brengsek kok dipercaya. Ya patah hati lah." Mbak Tina menyela kami.
"Oh. Gena baru putus? Kenapa?"
Alea menyambar umpan Mbak Tina dan mengalihkan perhatiannya dariku. Memberiku sedikit waktu untuk menekan hidung kuat-kuat dan menyeka sedikit air diujung mataku.
"Biasalah, cowok kampret. Omongannya nggak bisa dipegang. Katanya cinta-cinta apalah gitu, tapi malah milih tante-tante yang lebih kaya." Sahut Mbak Tina sekenanya.
"Masa sih?" Alea menyahut lagi.
"Iyalah." Mbak Tina menatapku. "Makanya Gen, lo buruan cari pacar baru deh, biar nggak buang-buang waktu buat nangisin cowok model begituan terus."
"Mbak!" Aku tidak bermaksud membantah Mbak Tina apalagi membela Mas Hardy. Tapi kurasa Alea tidak perlu mendengar banyak tentang patah hatiku.
Aku sungguh tidak tahu kenapa tema ini begitu menarik untuk dibahas sekarang, tapi sepertinya Alea dan Mbak Tina masih tidak mau beralih dari pembahasan ini.
"Emang tipe Gena yang seperti apa sih?" Alea menatap Mbak Tina penasaran.
Aku sendiri tidak tahu bagaimana tipe idealku. Jadi aku sungguh tidak yakin kalau Mbak Tina lebih paham tentang ini.
Mbak Tina menatapku sebentar sebelum bicara melantur lagi. "Lo tahu Adrian Ivashkov? Gue sendiri nggak tahu soalnya. Tapi katanya Gena suka sama dia. Bangsawan kaya raya yang ganteng, terkenal dan keren tapi nggak main-main kalau udah suka sama cewek. Iya kan, Gen?"
Ya. Dulu aku memang mengagumi sosok fiktif karangan Richelle Mead itu dengan alasan seperti yang dijabarkan Mbak Tina. Tapi sekarang aku melihat vampir itu dalam sudut pandang lain. Dia mencintai seseorang dengan sepenuh hati, diberi harapan lalu dicampakkan begitu saja. Dan dalam hal ini aku tahu persis bagaimana rasanya jadi Adrian.
"Wah, agak susah ya nyari yang kayak gitu." Alea membalas lagi.
"Jelas lah. Hari gini kan manusianya kebanyakan jelmaan kampret semua. Apalagi mantannya Gena."
"Siapa sih mantannya Gena? Anak kantor sini juga?"
Tidak ada yang menyahut. Dan saat kupikir Mas Hardy akan menjawab pertanyaan ini, kudengar dia justru berkata, "Ayo, Le." Lalu melangkah mendahului Alea keluar ruangan.
Alea pamit sambil melambai pada kami dengan antusias. Tapi aku sama sekali tidak mendengarkan. Mataku masih terpaku pada punggung Mas Hardy yang baru saja menghilang dari balik pintu kaca.
Aku sendiri tidak tahu kenapa aku melakukan hal bodoh ini lagi. Tapi hari ini, aku merasa begitu asing dengan laki-laki yang kutemui hampir setiap hari itu. Kalau ini mungkin, sepertinya Mas Hardy berhasil membuatku patah hati lagi.
"Dasar cowok brengsek! Santai banget seakan nggak ada dosa sama sekali. Kampret aja malu ketemu dia. Sumpah deh, kok bisa sih ada cowok kayak gitu? Mantan laki gue aja nggak sekampret dia. Sumpah Gen, gue nggak mau tahu. Pokoknya lo harus move on. Dapet pacar secepatnya. Harus."
Mbak Tina mengatakan ini dengan menggebu-gebu. Tapi lagi-lagi, aku hanya diam seperti orang bodoh.
◾▫◾
KAMU SEDANG MEMBACA
Sometimes, Love Just Ain't Enough
Romance"Tapi cinta aja nggak cukup, Genara." Aku tidak menanggapi, bahkan bergerak pun tidak. Atau mungkin, jangan-jangan aku juga lupa bagaimana caranya bernafas, entahlah. Aku tidak tahu bagaimana ekspresiku sekarang, tapi Mas Hardy menatapku dengan soro...