#20

2.5K 265 38
                                    

"Hei beb."

Malik menyampirkan lengan besarnya di bahuku dengan seenaknya sambil menjajari langkahku menuruni tangga. Dia sepertinya tidak peduli bahwa sekitar selusin orang sedang berada di bawah, menunggu giliran untuk rapat mingguan dengan Pak Tyo.

Aku sungguh tidak butuh dehaman memperingatkan dari Pak Danang atau lirikan menggoda yang diberikan Mbak Tina untuk menyadari bahwa beberapa kepala sedang menatap dengan penasaran ke arahku sekarang ini.

Pasca Mas Hardy, aku sungguh tidak mau lagi jadi pusat pembicaraan orang terkait hubungan asmara, dan Malik justru membuat mereka bertanya-tanya lagi gara-gara tingkahnya yang tidak jelas begini.

"Kapan balik ke sini?" Tanyaku sembari memindahkan tangannya dari bahuku.

Sebenarnya ini adalah pertanyaan pertama yang begitu ingin kutanyakan saat melihatnya tadi pagi. Sayang saja, kami hanya sempat bertukar 'Hai' sebelum dia buru-buru naik menemui Pak Tyo.

"Semingguan lah."

"Udah puas menjelajah Surabaya nih ceritanya?"

"Nope. Masih pengen bebas kemana aja dan pulang jam berapa aja tanpa dimarahin Mama sih sebenernya. Tapi Mama nangis mulu, nggak mau tinggal di rumah sendirian. Ya gimana lagi, Ge? Aku kan anak berbakti." Jelasnya, mengangkat bahu dengan gaya sok keren.

"Dih." Decihku, menyikut pelan perutnya.

"Jadi, kamu apa kabarnya, Junior?"

"Baik, Senior." Jawabku, tersenyum. Yah, meskipun tidak bisa dibilang bahwa kami bersahabat dekat, tapi harus kuakui bahwa Malik adalah tipe orang yang tidak akan melupakan temannya begitu saja.

Terbukti, meskipun kami jarang bertemu, ngobrol pun hanya sekali-sekali, tapi laki-laki ini masih peduli saat aku kesulitan mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah. Malik jugalah yang mengenalkanku pada Pak Danang dan membantuku masuk ke Setyo Perkasa yang sedang butuh karyawan waktu itu.

"Jadi, kenalan lama nih, ceritanya?" Mbak Tina menyahut antusias.

"Dari dulu banget. Dari jaman Genara masih suka pakai kalung rafia plus pita warna warni ke sekolah, Mbak." Malik menjawab dengan sama antusiasnya.

"Itu waktu MOS, Lik." Selaku, meluruskan.

"Iya, tau. Tapi waktu itu kamu emang beneran pakai begituan ke sekolah, kan?"

"Trus, trus. Kalian deket? Pacaran gitu?" Mbak Tina meneruskan interogasinya.

"Maunya sih gitu, Mbak. Tapi ya gimana lagi? Genara maunya cuma sama Garaksa seorang sih." Lanjut Malik dengan ekspresi sedih yang kentara sekali dibuat-buat.

Oh, biar kuluruskan.

Aku mengenal Malik waktu SMA, itu benar. Nyaris bersamaan dengan waktu aku mengenal Gara, tentu saja.

Malik empat tahun di atasku. Dia termasuk alumni sekolah yang berprestasi. Sering ikut olimpiade, menjadi tiga lulusan terbaik sekolah dan berhasil masuk di kampus paling bergengsi di Bandung. Terang saja sekolah langsung menunjuknya sebagai pengisi seminar saat MOS waktu itu.

Dan bukan, kami tidak pernah terlibat urusan asmara dan sebangsanya. Kedekatan kami murni hanya karena Malik menyukai teman dekatku dan minta dibantu untuk itu.

Itu saja.

Tidak berhasil, sayangnya. Mireya, temanku itu tidak mau punya hubungan jarak jauh. Dia lebih memilih pacaran dengan ketua PMR daripada Malik yang saat itu kuliah di Bandung. Dan Malik, si pantang menyerah itu tetap berusaha lagi, lagi dan lagi tiap kali tahu Mireya putus dengan pacar-pacarnya setelahnya.

Sometimes, Love Just Ain't EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang