"Perasaan, gue cuma nggak masuk sehari loh padahal. Kok udah banyak kejadian aja sih?" Mbak Tina yang terus menggerutu sejak pagi gara-gara gagal bertemu Garaksa, semakin senewen sejak kedatangan Alea dua menit yang lalu. "Reta resign, lo akhirnya resmi sama si Rio Haryanto KW, dan sekarang Alea dateng-dateng cuma buat pamer senyum sinis ke lo. Gue butuh cerita." Pungkasnya tak bisa dibantah.
Ramalan cuaca yang kudengar pagi tadi tidak sepenuhnya meleset. Yah, meskipun tidak sepenuhnya akurat karena bukannya hujan yang turun seperti apa yang mereka perkirakan, melainkan gerimis kecil yang terlihat begitu lembut seperti setengah jam belakangan.
Rasanya pasti menyenangkan sekali bisa menyentuh rintik gerimis itu sekarang. Entah hanya sekedar berdiri diam di bawahnya atau berjalan dengan berani, yang mana saja, aku sungguhan ingin mencobanya kapan-kapan. Seingatku sudah terlalu lama aku berlindung dan menghindari tetesan hujan.
"Hello, anybody home? Yang lagi gue ajak ngomong ini bukan sejenis setan budeg, kan?"
Aku menoleh dan menghela nafas lagi. "Apa sih, Mbak?"
"Dih, jangan sok nggak denger deh. Males banget ngulangin pertanyaan gue tadi." Sinisnya kemudian.
"Aku bareng Gara karena disuruh Abang, Mbak. Nggak ada acara resmi-resmian segala macem kok. Dan sampai sekarang aku belum ngobrol lagi sama Mbak Reta, jadi belum tahu pasti alasannya keluar." Jelasku.
Mbak Tina mengangguk. "Trus, Alea?"
"Alea kenapa?"
"Itu yang lagi gue tanyain, kan? Kenapa Alea ngasih lo senyum sinis gitu?"
Benarkah? Aku tidak menyadari itu tadi. Aku bahkan tidak sempat memperhatikan Alea lama-lama. Begitu tahu dia yang datang, aku memang sengaja menyibukkan diriku dengan membolak-balik berkas milik Koh Welly yang akan digunakannya untuk mengurus kredit. Jadi kalaupun benar Alea begitu, aku sama sekali tidak menyadarinya.
"Nggak tahu, Mbak." Jujurku. "Sinis kayak gimana?"
"Ya sinis. Gitu lah. Gimana nyeritainnya sih?"
Secara refleks, kepalaku mendongak ke atas. Ke lantai dua, tempat di mana ruangan Mas Hardy berada. Seolah aku bisa melihat menembus dinding dan mengamati interaksi Alea dan Mas Hardy di sana.
"Nggak tahu Mbak." Ulangku.
"Masa iya gue yang salah lihat? Nggak mungkin kan? Ah, nggak tahu deh." Ucapnya kesal sebelum kembali pada pekerjaannya yang terlihat menumpuk karena ditinggal kemarin.
Aku ingin menawarkan bantuan sebenarnya. Toh pekerjaanku hari ini hanya menghubungi semua klien yang sudah punya janji temu dan menunda pertemuan minggu ini ke minggu berikutnya. Dan semuanya sudah berhasil kuselesaikan tadi pagi.
Rasanya tidak masalah kalau hanya membantu Mbak Tina memilah nota pengeluaran proyek atau sekedar membantunya mencocokkan invoice mana yang hampir jatuh tempo.
Tapi aku membatalkan niatku saat melihat Alea turun sendirian. Mas Hardy jelas tidak ikut mengekorinya seperti kemarin-kemarin. Tapi bukan itu yang menjadi perhatianku, melainkan karena bukannya langsung keluar, Alea justru menyempatkan diri untuk duduk di depan mejaku.
"Lagi sibuk nggak Gen?." Tanyanya riang.
"Lumayan, Mbak." Tidak mungkin mengatakan padanya kalau pekerjaanku sudah selesai dan tinggal duduk manis menunggu perkembangan situasi, kan? Buat apa?
"Yah, padahal mau ngajak ngobrol. Nggak tahu kenapa ya, aku tuh suka banget ngobrol sama kamu, Gen." Keluhnya yang sama sekali tak kupercaya. "Aku numpang duduk di sini bentar nggak apa-apa kan? Duduk di sofa sana sendirian tuh nggak enak banget. Jadi ngerasa kesepian."
"Iya Mbak." Tanpa perlu persetujuanku pun, toh nyatanya Alea sudah duduk manis di hadapanku. Dia malah sudah mengeluarkan ponsel dari tas mahalnya dan mulai memainkannya tanpa rasa bersalah.
Sementara dia dengan santainya memainkan ponsel sambil menyanyikan lagu Déjà vu milik Olivia Rodrigo, aku mulai kebingungan akan melakukan apa untuk tetap terlihat sibuk.
"So when you gonna tell her, that we did that, too?
She thinks it's special, but it's all reused.
That was our place, I found it first I made the jokes you tell to her when she's with you.
Do you get déjà vu when she's with you?
Do you get déjà vu?"Sialannya, bukannya fokus menemukan kegiatan untuk kamuflase, nyanyian Alea justru terngiang di telinga dan membuatku overthinking sendiri. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa dia sengaja menyanyikan lagu itu untuk menyindirku.
"Duh, ganggu ya?" Tanyanya begitu menyadari bahwa aku menatapnya sedikit lebih lama. "Sorry sorry, suara aku nggak banget ya?" Dia tertawa sendiri. "Nggak tahu deh, tiap denger lagu ini tuh langsung keinget mantan-mantan Hardy tahu nggak sih, Gen?"
"Kenapa Mbak?" Mungkin aku sedang cari penyakit. Aku tahu. Sayangnya mulutku menyahut tanpa menunggu konfirmasi dari otakku terlebih dulu.
"Ya gitu. Suka kepikiran aja. Seandainya mereka tahu kalau waktu yang mereka habiskan sama Hardy, hal-hal yang mereka pikir istimewa, itu nyatanya nggak sespesial itu."
"Maksudnya?" Timpalku mencari perkara.
Aku tahu bahwa ini mungkin hanya ada dalam kepalaku, tapi rasanya Alea sedang menatapku dengan tatapan menantang sekarang.
"Maksudnya, Genara, semua hal yang mereka pikir istimewa itu, nyatanya sudah pernah aku lakuin. Aku yang pertama, kan? Aku juga yang paling lama menjalin hubungan sama Hardy. Ingat?" Ungkapnya penuh kemenangan.
Aku tidak tahu sehebat apa tatapan Alea dalam memersuasi keadaan. Tapi saat ini, dalam kepalaku mulai terbentuk bayangan tentang Mas Hardy dan segala hal yang sudah pernah kami lalui semasa pacaran. Aku mulai meragukan semua ketulusan ucapannya dan juga tatapan hangatnya selama ini. Aku bahkan mulai mempertanyakan realitas hubungan kami saat kudengar suara Mas Hardy.
"Masih di sini aja?" Tanyanya sambil lalu pada Alea. Dia bahkan tidak mau repot-repot menatap Alea saat menyakan ini. Mas Hardy lalu mendekat ke mejaku, tapi dia memilih sudut yang jaraknya lebih jauh dari Alea.
Kulihat, Alea hanya menaikkan bahunya sedikit sebagai respon atas pertanyaan Mas Hardy barusan.
"Besok tolong agendain untuk interview calon penggantinya Reta ya, Gen. Usahain pagi kalau bisa. Daftarnya masih ada di Pak Tyo, nanti jangan lupa minta itu saat dia turun. Aku mau ketemuan sama orang dari Dinas Pengairan dulu, kalau jam tiga belum balik, tolong ingetin ya. Takutnya nggak keburu buat selesain design-nya Koh Welly."
Aku sungguh tidak bermaksud melakukan ini, tapi aku hampir tidak mendengarkan instruksi yang didiktekan Mas Hardy barusan.
Sebagian pikiranku masih menaruh tanda tanya besar tentang kesungguhan hubungan yang pernah kami jalani. Sebagian lagi sibuk kugunakan untuk memperhatikan wajah Mas Hardy dan menyadari bahwa ada bayangan hitam di bawah matanya. Bibir laki-laki itu terlihat lebih kering dibanding biasanya dan wajahnya sedikit pucat.
"Mas sakit?" Adalah pertanyaan pertama yang terlintas di kepalaku begitu melihat kondisi Mas Hardy.
Untung saja otakku masih waras dan menolak keras keinginanku barusan, jadi aku menggigit ujung lidahku untuk mencegah kalimat semacam itu keluar dari mulutku.
Lagipula, meskipun aku sendiri heran kenapa aku begitu peduli, aku sepenuhnya sadar bahwa Alea sedang mengamati interaksi kami dengan serius. Meskipun jelas bahwa aku bukan selingkuhan, apalagi bertunangan dengan pacar orang, aku masih enggan membiarkan Alea tahu bahwa kami pernah dekat.
Jangan tanya kenapa. Aku sendiri tidak mengerti. Mungkin bisa dibilang gengsi, entahlah.
"Oke kan, Genara?" Tanyanya kemudian, yang langsung kubalas dengan anggukan meskipun aku nyaris tidak mendengarkan arahannya.
◽◾◽
KAMU SEDANG MEMBACA
Sometimes, Love Just Ain't Enough
Romance"Tapi cinta aja nggak cukup, Genara." Aku tidak menanggapi, bahkan bergerak pun tidak. Atau mungkin, jangan-jangan aku juga lupa bagaimana caranya bernafas, entahlah. Aku tidak tahu bagaimana ekspresiku sekarang, tapi Mas Hardy menatapku dengan soro...