Aku benci saat harus ke kantor dengan wajah kusut dan mata sembab seperti pagi ini. Aku benci saat orang-orang mulai memandangku dengan raut penasaran sekaligus kasihan. Dan, terutama, aku benci pada Hardyan Rahagi yang membuatku harus melalui saat-saat menjengkelkan seperti sekarang.
Terlebih lagi, saat laki-laki itu menatapku dengan seksama dari seberang meja sementara aku sedang mati-matian menjaga senyum saat menjelaskan kepada klien kami mengenai syarat kredit yang harus mereka siapkan.
Apa sih yang sebenarnya ingin dia temukan? Bahwa aku akan menangis meraung-raung disini? Mengakui padanya kalau aku kacau? Mengemis memintanya untuk kembali? Tidak, terimakasih. Egoku melarang untuk itu, untungnya.
"Gen." Panggilnya setelah akhirnya kami hanya tinggal berdua di ruangan ini.
"Ya, Mas?" Kuatur senyum sebaik yang kubisa. Aku profesional. Dia punya jabatan yang lebih tinggi dariku, dan aku wajib untuk menghormatinya saat dia ingin membahas masalah pekerjaan di jam kerja begini.
Tapi Mas Hardy tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya diam, menatapku yang sedang berdiri memeluk berkas-berkas klien dengan tangan gemetar dan bersiap kabur dari ruangan yang mendadak terasa terlalu dingin untukku.
Aku sama sekali tidak berniat merencanakan ini, tapi mataku dengan kurang ajarnya meneliti kesepuluh jari laki-laki dengan bahu lebar itu.
Bersih. Tidak kulihat cincin yang melingkar disana.
Aku tidak tahu apakah dia sengaja tidak memakai cincin pertunangannya, atau memang mereka sepakat bahwa hanya si perempuan saja yang mengenakan cincinnya. Entahlah, yang kutahu, aku menyesal karena sedikit penasaran dan peduli.
"Pak Awan udah clear kan?" Aku menyebut nama klien kami barusan, yang dibalasnya dengan anggukan kaku. "Oke kalau gitu. Aku balik dulu, Mas."
"Gen." Dia memanggil lagi saat tanganku sudah menyentuh gagang pintu. "Are you okay?" Tambahnya lirih.
Tunggu. Tunggu sebentar. Apa katanya tadi?
Dia bermaksud menanyakan keadaanku, kan?
Menurutnya, apakah aku akan baik-baik saja saat tiba-tiba kekasihku bertunangan dengan wanita lain? Dia gila kalau berharap aku akan ikut senang dan mendoakan kebahagiaannya.
Tapi mengumpati Mas Hardy detik ini juga tidak tepat. Aku harus ingat kalau laki-laki berkulit coklat itu sedang berperan jadi atasan tidak langsungku sekarang.
"Oke banget dong Mas, pak Awan kan nggak pernah bikin pusing orangnya." Kataku bersemangat, terlalu bersemangat sampai aku khawatir dia bisa melihat kepalsuannya.
Aku sendiri tahu Mas Hardy tidak sedang menanyakan tentang pekerjaan, tapi aku tidak mau berurusan dengannya diluar itu sekarang.
"Balik dulu, Mas." Pamitku lagi, membuka pintu tanpa menunggu balasan dari mas Hardy.
"Gen."
Dia memanggil lagi, tapi kali ini, aku memilih untuk pura-pura tidak mendengar.
▪▫▪
Cerita lain lagi.
Asal muasal cerita ini terbentuk gara-gara dengerin Sometimes love just ain't enough milik Patty Smyth.
Iya, lagu lawas yang keren itu.
(Plis, jangan tanya umur, karena jelas sudah bukan ABG lagi)
Nggak tahu kenapa, tapi rasanya jleb aja pas dia bilang, "baby, sometimes, love just ain't enough.."
Lalu mendadak tercetuslah nama Genara Amelia dan Hardyan Rahagi dalam cerita ini.
Jadi, selamat membaca. 😍
KAMU SEDANG MEMBACA
Sometimes, Love Just Ain't Enough
Romance"Tapi cinta aja nggak cukup, Genara." Aku tidak menanggapi, bahkan bergerak pun tidak. Atau mungkin, jangan-jangan aku juga lupa bagaimana caranya bernafas, entahlah. Aku tidak tahu bagaimana ekspresiku sekarang, tapi Mas Hardy menatapku dengan soro...