5. Kesadaran

27 27 3
                                    

Aku merebahkan tubuhku sejenak selepas mengganti baju di kasur. Tidak seperti di luar, aku tidak mengenakan hijab di dalam rumah. Terurai rambutku ini yang pendek sebahu di atas bantal, mataku tetap mencari sesuatu yang menarik di gawai kentang ini. Aku ingin menonton pertandingan Riga dulu di SMP. Lalu apa hubungannya dengan Hasan?

Namun, sampai aku jauh menyelam, aku belum tahu dimana link nya. Soalnya pun, yang ada hanyalah hasil pertandingan POSN dan O2SN tingkat nasional.

"Assalamualaikum" tiba-tiba saja, sosok lelaki membuka pintu kamarku. Kusadari bahwa dia adalah Helmi, sepupu sekaligus musuhku.

Kujawab salamnya sebelum aku berkata, "Lu ngapain ke sini? Nggak ikut demo?"

"Gak tau ah. Sekarang BEM nya gak jelas agendanya apa" jawabnya duduk di bawa kasurku.

Tidak lama kemudian, ibuku datang menyambutnnya dengan senyuman. "Helmi mau makan?"

Andai, aku yang diperlakukan begitu. "Nggak, ah Tante. Udah makan"

"Kalau kamu mau makan, tinggal ambil aja ya!" "Oke"

Dia jarang ke rumahku karena sibuknya tugas kuliah, katanya.

"Tirana ..." "Lupa manggilnya apa" aku yakin dia tidak sengaja.

"Ya udah deh, Kak Tirana" dan jujur saja, aku menghargainya kalau dia ..."Coba ulang lagi?" perkataan tadi.

Dan dia malu sekali mengatakannya. Itulah yang membuatku merasa hidup dan lebih dihargai dari dirinya. Karena, ibunya itu adalah adiknya dari bapakku. Jadi, secara adat aku berada di atasnya, walaupun lebih tua dia. Hahaha.

"Kak .... Bodo amat ah! Masih jaman memangnya?!"

"Eeeh ... ga boleh songong" kataku menaruh telunjuk di mulutnya dan memang hal ini adalah kebiasaanku kalau dia berkunjung ke rumahku.

Tapi, ada hal yang ingin kukatakan. "Helmi tahu Thohari bin Mahmud Bisri?"

Dia menolehkan kepalanya ke atas, dan menggelengkan kepalanya "Ga tau deh, Kak".

Aku sangat suka padanya kalau dia mau memanggilku "Kakak" begitu. Aku jadi tampak seperti kakak perempuan baginya. Aku membencinya karena dia yang menjadi selalu perbandinganku kalau tiap kali ibu marah padaku. Memang kalau dibandingkan dengan Hasan, dia tidak terlalu tampan. Tapi sifat penolongnya yang membuatku senang.

"Gimana kalo nanti kita main ke Taman Adyaksa kalau sore?" kataku.

"Hmm ... boleh aja sih. Gua senggang kok. Mau ngapain? Tapi ga bawa motor" katanya.

"Kita main bulutangkis aja. Ga papa kok kalo ga bawa motor, jalan juga dekat" kataku.

Akan kutunjukkan smash dahsyatku! Aku jadi ingin main bulutangkis lagi! Ada beberapa alasan. Pertama, karena Helmi hari ini datang mengunjungi rumahku. Sesuatu yang jarang. Yang kedua, adalah waktuku masih belum banyak untuk belajar. Nanti minggu depan belum tentu aku dapat kesempatan untuk main. Yang ketiga, adalah permainan Kak Nova tadi yang membuatku ingin memainkan bulutangkis.

Yah, kita segera ke Taman Adyaksa selepas bertemu sebelum anginnya makin banyak. Untungnya, hari ini tidak terlalu anginnya kencang dibanding kemarin. Jadinya, aku bisa jalan bersama Helmi berdua. Aku juga memakai celana training selain seragam sekolahku serta hijab dan manset karena bajuku ini lengannya pendek. Ibuku untungnya memberikan izin. Kami berdua juga membawa raket dan kok.

"Gua bakal kasih lu sesuatu yang istimewa!" kataku begitu kami sampai di gerbangnya.

"Yah, kan karena gua yang ajarin ... Kakak" kata Helmi dengan wajah cemberut.

SHOOTING STARSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang