2. Pertandingan Pertama Kali

36 34 4
                                    

Pagi ini sebelum masuk, aku membawa raket bulutangkisku. Bukan hanya itu saja, aku juga menggunakan seragam olahragaku, serta handuk serta barang-barang lainnya yang konyol untuk dibawa. Setelah aku meletakkan tasku, di kantin aku berpapasan dengan Kak Thohari. Dia masih menggunakan seragam dengan blazer berwarna krem, baju yang putih, dan celana yang berwarna ungu. Pipinya seperti ada bekas luka yang tidak terlihat lagi.

"Assalamualaikum!" aku menghampirinya.

"Waalaikum salam. Kamu temannya Riga ya? Soalnya dia juga ajak aku buat main ke Lapangan Adyaksa" katanya.

"Memang menurut Kak Thohari, Riga itu bagaimana?" tanyaku lagi.

"Dia adalaha pemain yang punya potensi bagus. Pak Malik ajak dia ke sini. Apa dia cerita soal saingannya dulu?"

Aku penasaran apa yang dimaksud dengan saingan itu. Tampaknya, dia tidak cerita padaku sama sekali tentang saingannya.

"Memang ada masalah apa dengan saingannya?"

Thohari mengajakku ke tepi lorong, dan melihat pemandangan dari bawah. Dia sopan juga ya untuk kakak kelas.

"Riga dulu cerita pada saya, kalau dia tidak mau kembali ke sekolah olahraga lagi. Jadi, Riga itu pernah punya saingan yang bernama Sofia. Sofia itu merupakan pemain unggulan sekolah olahraga waktu dulu. Dalam penyisihan, akhirnya Sofia dikalahkan Riga dalam seleksi. Satu sekolah pun heboh kerananya. Sebab itu Riga jadi wakilkan buat putri tunggal SKO tingkatan SMP untuk POSN pas lagi kelas 3. Sejak itu, Riga terlalu dibebankan oleh expectation anak-anak di sana. Sekolah tu punya tradisi juara sejak lampau. Sayangnya, Riga kalah dalam POSN tingkat Kotamadya. Jadi, dia tidak melanjutkannya ke sekolah yang sama"

Oh, jadi begitu. Pantas saja dia sangat senang diterima di sini.

"Kak Thohari bagaimana bisa ke sini?" tanyaku, mengharapkan dia cerita banyak. "Tak sengaja. Hahahaha"

Haduh, dia malah bercanda. Keterlaluan sekali. "Gua pikir karena diajak Pak Malik juga" kataku.

"Hahaha. Memang kamu begitu?"

Eh? Kamu? Aku jadi canggung dipanggil "kamu". Jarang sekali seorang lelaki seumuranku memanggil "aku kamu". Meskipun aku tahu Kak Thohari seperti apa, tapi kenapa dia enggak pake "Gua Lu" saja begitu biar lebih akrab. Sudahlah, jangan pikirkan itu.

"Ah ... enggak juga, sih. Nilai ... GUA ... kurang bagus!" kataku canggung.

"Yaah, sayang juga ya" dan kemudian, Riga memelukku tiba-tiba dari belakang.

"HAYO, siapa aku?!" dia bilang begitu sambil mempererat pelukannya.

Akh ... rasanya sulit dilepaskan. Bagai dililit anakonda rasanya! Tanganku yang mencoba melepaskan, tidak bisa segampang itu. Tenaganya besar sekali!.

"Kak Thohari, TOLONG DONG!!!!" "Maaf, kejap dulu. Saya ada urusan penting! Bye!" dan dia langsung melarikan diri.

"Kayaknya kamu intim banget sama Kak Thohari" "Apanya yang intim? Gua biasa aja tuh" aku membantah Riga.

"Omong-omong, kan lapangan lagi sepi. Mending kita main bulutangkis sekarang, yuk!" dan dia langsung menyeretku ke lantai bawah. Aku tidak menyangka kalau Riga orangnya seperti itu!

"Tunggu!! Tunggu!!! Tunggu!!! Gua bawa ambil raket dulu!"

Dan, akhirnya kami turun dengan membawa raket. Untungnya, Riga membawa kok separuh bungkus panjang itu. Kulihat dengan seksama, dan tampaknya ini sudah pernah digunakan sebelumnya walaupun masih bisa digunakan. Kami berdua bermain di lapangan samping persis lorong pas di kelas 3. Jadinya, kami akan menjadi pusat perhatian bagi mereka yang melihatnya. Kami membagi jarak, tanpa net dan tanpa garis. Hanya bungkus kok itu saja yang menjadi pemisah kita.

SHOOTING STARSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang