6. Rasa Bersalah

24 28 7
                                    

Berakhir pula waktu sekolah di hari pertama. Bersyukur aku tidak lagi dihukum karena Hasan dan Riga yang memulai ulah. Sementara Riga dan Hasan bersiap berlatih bulutanngkis, dan aku menjalani les seperti biasa. Aku punya alasan sendiri untuk tidak ekskul bulutangkis, berangkat dari pengalaman kemarin bermain dengan Helmi. Jalannya ke tempat les lumayan jauh dari sekolahku. Di ruangan ini terdapat 10 orang saja, termasuk aku.

"Ada yang bisa jelaskan soal ini?" Pembimbing berkata.

Tampaknya, itu soal trigonometri yang lumayan sulit. Kukerjakan satu per satu rumusnya, hingga selesai. Tampaknya aku benar, makanya aku segera duduk di kelas.

"Wah, benar-benar. Terima kasih Tirana! Jadi, kita akan bahas mengapa ini menjadi benar"

Sesuatu yang sangat kusenangi dari les. Teman yang menyenangkan, pembimbing yang menyenangkan dan penolong, walaupun jauh dan melelahkan. Tapi menurutku itu terbayarkan sudah sih. Kalau kupikir lagi, bulutangkis bukan pilihan yang buruk.

Namun, apa aku serius untuk ikut ekskul bulutangkis? Apa karena aku senang bisa melakukan smash? Apa karena aku menonton Kak Nova? Tapi tampaknya hal itu tidak berguna untuk kupikirkan lebih lanjut. Sebab, aku memang menyukai bulutangkis dari dahulu. Pun juga Helmi juga akan membantuku kalau dia sempat.

Jadi, sembari memegang lembaran formulir pendaftaran bulutangkis, aku melangkah sampai rumah. Mengapa aku mendapatkan ini? Sebenarnya aku juga bingung.

"Riga, apa ini?" tanyaku saat tadi saat jam istirahat.

"Formulir pendaftaran bulutangkis" katanya.

"Lu tau gua ga jago. Lu tahu, kan?"

"Ayolah, mengapa kau begini? Dari kemarin, tampaknya kamu sangat antusias. Kamu bahkan mengalahkanku!"

"Riga. Apa lu coba buat bohongin gua?" tanyaku.

Riga sama sekali tidak menarik wajahnya saat itu, kecuali tetaplah tersenyum.

"Aku tidak berbohong. Kau memang hebat" katanya.

"Mencurigakan, kan? Kalau orang yang bisa bermain sampai mewakili Sekolah Olahraga bisa kalah dengan orang yang sudah lama tidak bermain?" tanyaku serius.

Riga cuma garuk-garuk kepala.

"Aaah, mungkin akunya yang lagi kurang enak badan. Hahaha"

"Jangan bohong, Riga"

"Kau juga melakukannya dengan Taman Adyaksa" sudah kuduga, dia bukan orang yang bodoh.

"Baiklah, kita sama-sama bohong. Tapi kumohon, apa yang sebenarnya kau katakan pada Kak Nova?" tanyaku.

"Dia kebetulan menemuiku, dan menyerahkan benda ini. Titipkan pada Tirana, begitu katanya"

Bahkan ini semua karena kebohonganku. Harusnya aku tidak perlu mengatakan kebohongan itu.

"Kamu belum tahu apa yang akan terjadi nantinya. Kau hanya perlu cari tahu saja. Begitu katanya Kak Nova saat aku sempat bilang kau tidak mau ikut" kata Riga.

"Lagipula, gua ada les. Mungkin gua ga bisa ikut beginian. Yang ada gua malah bikin kecewa aja" tanyaku.

"Pokoknya pegang ya! Ini amanat dari Kak Nova"

Masih banyak anak-anak yang memainkan lompat tali. Jika saja Riga lihat ini, aku yakin dia akan ikut bergabung dengan anak-anak SD itu. Namun sekarang, apa benar aku ikut bulutangkis. Aah ... tidak ada kewajibannya aku menerimanya kan?

"Assalamualaikum!" "Waalaikum Salam" sahut ibuku dari belakang.

Aku menelan ludah, berharap apa yang terbaik saja. Aku ... harus memeprkuat mentalku. Jika ditolak ... aku harus cari cara lain. Kulepas sepatu, dan segera pergi ke kamar dan segera mengambil handuk selepas melepas seragam dan hijab yang melekat padaku.

SHOOTING STARSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang