06 - Luka

748 125 26
                                    

***

Lily mengikuti langkah sang kakak perempuannya. Menapaki lantai koridor menuju sebuah ruangan yang dia tahu jelas siapa pemiliknya karena dokter Rama lah yang berjalan memimpin. Ada apa? Kenapa wajah Kak Rosi tampak kaku dan tegang? Apa ini ada hubungannya dengan Papa yang terus menerus memintanya untuk pulang? Dalam benak Lily mulai bertanya-tanya.

Dia melirik dokter Rama yang dengan berbaik hati membukakan pintu untuk mereka berdua. Wajahnya masih saja datar dan tak terbaca ketika mata mereka tidak sengaja bertemu. Kening Lily mengernyit seketika.

"Aku pinjam ruangan kamu sebentar, Mas." Rosiana menggumam dengan suaranya yang tanpa makna. Dia masuk mendahului adik perempuannya.

Rama mengangguk. Mengerahkan dagunya kepada Lily untuk menyuruh adik iparnya itu mengikuti langkah sang istri. Setelah kedua kakak beradik itu masuk ke dalam ruangannya, Rama bergerak menutup pintu dan memilih untuk duduk menunggu di luar. Rosi bilang, tadi dia membutuhkan privasi untuk berbicara empat mata dengan adiknya.

Kembali kepada Lily, kecurigaannya mengenai sang kakak akhirnya terbukti ketika satu tamparan kuat melayang ke pipinya sampai kepalanya terpelanting ke belakang. Lily tersenyum miris. Kakaknya, Rosiana yang lembut dan baik hati memang selalu berubah drastis begini jika secuil saja Lily melakukan kesalahan.

Kepalanya mendongak, menatap sang kakak dengan sorotnya yang datar. "Sekarang apa lagi?" Tanyanya dengan bibir bergetar. Demi apapun, sosok yang melotot dan menatap dirinya dengan geram itu berbeda sekali dengan Rosiana yang biasa.

"Kamu berhubungan dengan dokter Yudha? Dokter muda yang sudah punya istri itu?"

Mendengar pertanyaan sang kakak yang penuh amarah dan emosi itu seketika membuat Lily kembali terkekeh sinis. "Apa aja yang dokter Rama adukan kepada kakak?" Wajahnya kembali terpelanting ke arah yang berbeda ketika Rosi menamparnya sekali lagi.

"Sudah kakak bilang, jangan pernah ikuti jejak Mama!" Geraman Rosi sudah berubah menjadi teriakan frustrasi. "Kamu nggak capek selama ini dicaci maki terus sama Nenek dan keluarga besar kita? Kalau kamu melakukan hal yang sama dengan Mama, hidup kamu akan semakin menderita, Lily!"

"Aku nggak pernah punya hubungan apapun dengan dokter Yudha!"

"Jangan membentak!" Satu pukulan lagi. Dan seketika Lily merasakan sudut bibirnya terluka dan terasa asin sekali. "Kamu nggak tau gimana capeknya jadi kakak selama ini!" Rosi menunjuk dadanya sendiri sampai berbunyi. "Kakak selalu berusaha melindungi kamu. Berusaha menahan serangan-serangan yang dilayangkan Nenek supaya kamu nggak terluka sebanyak Kakak. Tapi kalau kamu memilih jalan hidupmu menjadi murahan seperti Mama, Kakak nggak akan pernah membiarkannya."

"Tapi aku sama sekali nggak seperti Mama." Lily kemudian menyahut lemah. Menghadapi kakaknya memang tidak bisa dengan emosi yang sama kalau dirinya tidak mau dijadikan samsak tinju. Rosi memang baik. Kakak semata wayangnya itu selalu menjaga dan menyayangi Lily sebagaimana mestinya. Hanya saja, kebiasaannya yang ringan tangan setiap kali dia marah, bisa melukai Lily kapan saja. "Aku dan dokter Yudha sama sekali nggak mempunyai hubungan apa-apa."

"Mas Rama selalu memantau kamu di sini. Jangan kamu pikir Kakak nggak tau apa-apa."

Mendengar itu, entah kenapa Lily menjadi geram setengah mati. Kakak iparnya itu pasti sudah mengadukan hal yang tidak-tidak kepada Rosi. Entah apa yang dokter Rama bicarakan, yang jelas, kakak perempuannya jelas tidak akan semurka ini jika tidak ada provokasi.

"Ingat ya, Ly. Kakak dan Papa memang menginginkan kamu menikah secepatnya. Tapi jangan pernah menggoda suami orang. Kamu nggak mau kan, dicap murahan setelah bertahun-tahun menjadi tumbal kelakuan Mama di masa lalu?"

Lily menunduk dalam. Wajahnya merah padam. Dia juga ingin marah, namun tidak bisa. Rosi bisa mengamuk dan tambah melukainya. Yang dari dulu hanya bisa Lily lakukan ketika sang Kakak sedang murka adalah diam saja. Miris memang, setiap hari, selalu dirinya yang harus mengalah. Mau benar atau salah.

"Usia kamu juga sudah dua tujuh. Cari lah laki-laki lajang yang bisa kamu nikahi. Kamu nggak capek mendengar Nenek mengungkit pernikahan setiap hari?"

Nenek adalah racun di dalam rumah tangga mereka. Duri dalam daging yang selalu merusak mental mereka berdua sejak kecil. Alhasil, Rosiana jadi selalu terhasut oleh doktrin wanita tua yang sangat menyebalkan itu.

"Dengar, Ly. Jangan pernah menjalin hubungan atau memiliki perasaan sedikitpun kepada laki-laki yang sudah beristri. Atau Kakak akan membiarkan Nenek mencabik-cabik kamu. Nggak ada toleransi untuk wanita yang merebut suami orang. Tolong diingat kata-kata Kakak ini."

"Kakak udah mengucapkannya berulang kali." Lily mengusap pipinya saat satu bulir air mata berhasil lolos dari sudut mata. "Mana mungki aku akan lupa." Dia kemudian menunduk, membungkuk untuk menyapa. "Kalau sudah selesai, aku pamit keluar dulu. Tiara pasti sudah menunggu dari tadi."

Lalu tanpa basa-basi, dia berjalan cepat menuju pintu. Matanya yang memerah menatap nyalang ketika menemukan dokter Rama yang langsung berdiri ketika melihat dirinya keluar. Sumpah mati Lily benar-benar membenci pria itu. Jika bukan karena dokter Rama yang mengadukan masalah semalam dan berhasil memancing kesalah pahaman terhadap kakaknya, Lily tidak perlu menerima dua tamparan pagi ini.

Tatapan tajamnya dibalas raut terkejut dari dokter Rama entah kenapa. Apa pria itu melihat kedua pipinya yang memerah? Karena Lily juga merasakan panas dan kebas di sana. Ah, atau darah di ujung bibir? Karena ketika Lily mengusapnya, cairan menyebalkan itu benar-benar ada.

Namun tanpa berkata-kata, dia melalui dokter Rama setelah memberinya tatapan penuh amarah begitu saja. Demi apapun, sampai mati Lily tidak akan pernah memaafkannya.

Rama berdiri, kepalanya mengikuti ke mana langkah adik iparnya pergi. Keningnya mengernyit ketika sang istri keluar sambil menutup pintu. "Kamu mukul dia?" Tanyanya saat itu juga. Dirinya sudah berulang kali mengingatkan Rosi mengenai hal ini. Mengenai tangan sang istri yang selalu tidak bisa terkendali ketika sedang diselimuti emosi.

"Aku hanya sedang memberi dia pelajaran." Rosi menjawab sambil merogoh isi di dalam tasnya. Meraih tissue basah dan mengelap seluruh telapak tangannya untuk memastikan tidak ada noda darah sedikit pun dari ujung sudut bibir Lily yang menempel di sana.

"Kamu sudah berlebihan." Rama kemudian menggeram. "Dia dan Yudha nggak menjalin hubungan. Aku menceritakannya ke kamu supaya kamu bisa menasihati Lily untuk berhari-hati terhadap Yudha, bukan untuk menuduh apa lagi memukulnya begini, Rosi."

"Sebelum itu terjadi, makanya aku ngasih peringatan lebih dulu, Mas. Kamu tau anak-anak jaman sekarang susah sekali untuk dinasihati. Mungkin di depan mata kamu dia nggak menjalin hubungan, tapi di belakang siapa yang tahu, kan?"

Rama geleng-geleng kepala menatap istrinya tidak percaya. Jika begini keadaannya, dia jadi merasa bersalah terhadap adik iparnya. Memang seharusnya, dia tidak perlu membagi masalah apapun kepada Rosi jika tidak mau keadaan menjadi runyam begini.

Lalu tanpa berbicara apapun lagi, Rama melangkahkan kakinya dengan cepat. Lily tidak mungkin melanjutkan makan siangnya ke lantai dasar jika sedang bersedih begini. Satu-satunya tempat yang akan adik iparnya itu kunjungi jika ingin sendiri adalah atap rumah sakit yang sepi. Rama tahu jika Lily sering sekali ke sana.

Karena ... Di rumah sakit, dirinya yang selalu bertugas untuk mengawasi Lily atas perintah sang istri.

***

Kira-kira dokter Rama jadi nyusulin nggak, nih? Kalau jadi, bakal ngapain dia buat bujukin si Lily?

Komen banyak-banyak di bawah, yaaaa.

Vidia,
02 Juli 2022.

Sorry From Lily (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang