***
Silau.
Ketika pertama kali Lily mencoba membuka mata, yang dia rasakan adalah rasa berat di kepala yang kian menjadi. Pun cahaya terang itu terasa begitu menggigit. Membuat Lily ingin kembali tidur lelap saja, namun tidak bisa. Tubuhnya terlanjur merespon rasa sakit yang luar biasa. Obat penenang yang diberikan oleh dokter sepertinya sudah habis total. Apa Lily boleh memintanya lagi?
"Kamu sudah bangun, Nak?" Suara samar-samar dari tepi ranjang membuat Lily bergetar. Dia jelas sangat mengenal suara itu. Milik sang Papa. Apa Papa akan memukulnya lagi seperti apa yang dilakukan oleh Kak Rosi, Nenek, dan Bude-Budenya, akibat tahu perbuatan keji Lily yang sudah berselingkuh dengan dokter Rama?
Lily mencoba membuka mata dengan sempurna. Perlahan masih buram, namun beberapa saat kemudian wajah khawatir sekali gus sedih dari sang Papa berhasil ditangkap oleh kedua netranya.
"Pa—Pa?" Lily mencoba mengeja dengan sudut bibirnya yang kaku dan pedih setengah mati. Dia ingin memastikan jika pria di sampingnya benar-benar sang Papa. Meskipun jika nanti Lily bahkan bisa saja berakhir dipukuli, namun melihat sang Papa benaknya merasa lega.
"Papa di sini." Alino Karenada menjawab. Mencoba menggenggam telapak tangan sang putri bungsu erat-erat. Lily mengalami pendarahan di kepalanya akibat terbentur di benda keras mengharuskannya menerima beberapa jahitan di pelipis. Wajahnya pun penuh lebam, sebelah matanya membengkak membuat Alino teriris ketika mata itu bersusah payah untuk membuka. "Lily sudah aman dan baik-baik aja."
Suasana kemudian hening. Alino mengerti kenapa putrinya tidak bicara. Luka di sudut bibir itu jelas terasa sakit sekali. Bukan hanya dipukuli, Lily bahkan juga ditampar berkali-kali. CCTV di ruang tamu tempat tinggal Lily menjadi bukti. Alino merasa sakit hati sendiri melihat putrinya dihakimi sedemikian rupa. Dia tahu jika Liliana memang bersalah, tapi melukainya secara fisik begini juga tidak bisa Alino biarkan.
Lily masih diam. Selain karena sudut bibirnya masih sakit jika digerakkan, dia juga malu setengah mati, tidak tahu akan membicarakan apa kepada sang ayah. Yang bisa dia lakukan selanjutnya hanya lah menangis. Air mata meleleh lewat sudut mata membasahi pipinya yang dipenuhi lebam. Dia terisak tanpa suara. Mencoba meredam perasaan sakit dan malu luar biasa.
Alino merasa tersayat. Dia mendekat, mencoba membungkuk tanpa menyentuh bahu sang putri yang juga terluka. Di CCTV tadi, dia melihat Rosi sempat menginjakkan heels yang dipakainya tepat di bahu Lily.
"Jangan menangis," bisiknya. Meskipun suara berat milik Alino terdengar parau. "Papa nggak akan memarahi kamu." Alino berbisik sepenuh hati. Untuk saat ini, yang dimiliki Lily hanya lah dirinya seorang. Alino tentu saja tidak boleh bersikap sembarangan jika tak ingin putrinya semakin berpikir yang macam-macam.
"Aku salah, Pa." Alino mendengar Lily berbisik lirih. "Aku menyakiti Kak Rosi."
"Tapi dia juga menyakiti kamu. Sekarang impas, oke?" Rosi dan Lily adalah dua putrinya yang berharga. Tentu saja Alino tidak dapat membenarkan satu demi menyalahkan yang lain. Lily salah karena sudah menjalin hubungan gelap dengan suami kakaknya, namun perbuatan Rosi yang melakukan pembalasan berupa kekerasan fisik semacam ini pun juga tak dapat dibenarkan.
***
"Tega kamu melaporkan kami begini, Mas?" Rosi berteriak murka. Dirinya sedang berada di ruang penyidik untuk diinterogasi atas kekerasan yang baru saja dia lakukan terhadap adiknya. Bukti visum dan CCTV pun sudah diserahkan. Bukan hanya Rosi, tapi Nenek dan juga kedua Buliknya pun ikut serta.
"Kamu yang lebih tega menganiaya adik kamu sendiri, Rosi." Dipisah oleh sebilah kaca, Rama duduk di hadapan sang istri, mengulurkan selembar kertas yang baru saja diambilnya dari pengadilan agama. Surat perceraian mereka. "Tolong tanda tangani," perintahnya.
Rosi menggeram. Dia meraih kertas itu dan merobeknya menjadi terpecah berkeping-keping. "Sampai kapan pun aku nggak mau dicerai. Seribu kali kamu mengirimkan surat ini, seribu kali juga aku akan merobeknya."
Namun Rama tetap memasang ekspresi tidak terganggu. Wajahnya tetap datar seolah sudah menduga reaksi Rosi yang akan mengamuk seperti ini. Dengan tenang, Rama kemudian mengeluarkan berkas lain dari tas kerjanya. Menyerahkannya kepada Rosi. "Kamu sudah melakukan aborsi sebanyak dua kali, ini adalah bukti yang aku dapatkan dari sebuah klinik ilegal yang diberitahukan oleh Eki. Kalau kamu tetap nggak mau menandatangani surat cerainya, aku akan menyerahkan bukti ini ke kantor polisi."
Rosi meraih kertas itu dengan gemetar, gambar-gambar di dalamnya membuatnya seketika merinding. Dia ... Hendak merobek kertas itu lagi akibat hilang akal. Namun ucapan Rama langsung menginterupsi, "aku masih punya salinannya. Banyak sekali. Percuma kamu merobek yang itu, aku bisa menyerahkan yang lain.
Pria itu lagi-lagi mengeluarkan satu kertas. Yang masih berisi surat perceraian mereka. "Jadi, cepat, tolong ditandatangani."
***
"Papa," Rama berlari, mencegah tubuh dari ayah mertuanya yang hampir saja limbung di lanti koridor rumah sakit. Beliau pasti banyak pikiran. Mengetahui jika kedua putrinya saling menyakiti tentu saja Rama merasakan sosok Papa mertua yang sangat sakit hati. "Aku sudah membawa Rosi, Nenek, dan Bulik ke kantor polisi. Apa kita sudahi saja?"
"Jangan." Alino menggeleng. Dia mendudukkan diri di kursi tunggu dengan lemah. "Lily sudah menerima hukumannya dengan dipukuli, Papa juga ingin Rosi mendapatkan hal yang sama. Balasan atas perbuatannya."
"Tapi bukti dari aborsi itu—Rama nggak menyerahkannya." Bukti-bukti itu dia dapatkan dari Papa Alino sendiri. Beliau ternyata sudah lebih dulu menyelidiki. "Rosi sudah mencoba memperbaiki diri selama ini, Pa."
Alino menghela napas. Bagaimana dia tidak merasa seperti dihempaskan ke jurang ketika mengetahui jika di masa lalu putrinya pernah melakukan perbuatan yang amat sangat mengerikan. Bukan hanya selingkuh dari suaminya, Rosi bahkan pernah hampir punya bayi bersama pria lain dan dua kali pula dia menggugurkannya. Itu benar-benar di luar bayangan Alino. Dari pada Lily, dia jauh lebih terluka akibat perbuatan Rosi.
"Mereka harus mendekam di dalam sana setidaknya beberapa bulan." Jika bukan Alino yang turun tangan, mana mungkin putri, Ibu, serta adik-adiknya itu kini berhasil ditangkap oleh polisi. "Papa nggak akan membantu membebaskannya. Mereka harus memetik apa yang sudah mereka tanam. Menyakiti Lily seperti itu, Papa benar-benar tidak bisa menolong lagi."
Kemudian Alino menoleh, tatapannya tampak sendu dan layu. "Lily sudah sadar. Masuk lah ke dalam. Mungkin ... Ada sesuatu yang hendak dia bicarakan kepada kamu."
Mendengar itu sejenak Rama termenung. Dia bimbang. Bagaimana pun juga, hubungannya dengan Lily sudah berakhir. Karena dirinya pula, Lily harus berbaring di atas ranjang rumah sakit dengan wajah lebam dan tubuh penuh luka seperti sekarang ini. Rama ... Bahkan merasa tidak pantas untuk bertemu dan menatap matanya lagi.
Namun tepukan di bahunya itu menyadarkan Rama. Alino menatapnya dengan kedua mata penuh arti. Ada perasaan campur aduk di wajah sang mertua. "Temui dia. Tadi dokter yang memeriksa sempat bilang ... Bahwa sekarang Lily sedang berbadan dua. Dia ... Mengandung anak kamu, Rama."
***
Yang udah pada baca di Karyakarsa, kira-kira masih butuh extra part lagi nggak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry From Lily (Selesai)
Romance*** Semula, Lily sangat membenci perselingkuhan. Namun dia justru menjadi selingkuhan dari kakak iparnya sendiri. Lily juga membenci setiap laki-laki yang tidak setia, tapi dia justru menerima cinta dari laki-laki yang tak lain adalah suami dari ka...