***
Lily berangkat pagi-pagi sekali. Yang dia lakuan setelah memakai kembali snellinya adalah melangkah menuju ruang pemulihan milik pasien muda berusia dua puluh lima tahun yang baru kemarin siang menjalankan operasi.
"Apa yang dirasakan?" Lily mengukir senyum ramah. Memeriksa denyut nadi di pergelangan wanita itu yang berdetak normal.
"Masih agak sedikit nyeri." Si pasien menjawab dengan suaranya yang susah keluar akibat bagian rahangnya yang masih diperban.
"Itu normal, ya. Setelah ini saya nggak akan suntikkan obat bius lagi. Nyeri-nyeri sedikit bisa ditahan, ya?"
Pasien mengangguk. Setelah Lily selesai memeriksa kondisinya yang normal, dia pamit untuk keluar. Langkahnya langsung berhenti ketika di depan pintu dilihatnya dokter Rama yang hendak masuk ke dalam. Tatapan Lily langsung sengit.
"Saya kira kamu belum datang." Kakak iparnya itu berucap untuk kali pertama. "Saya baru mau periksa."
"Sudah saya periksa. Kondisi pasien normal. Tidak lagi saya beri obat pereda nyeri di luka bekas operasi dan mungkin pasien akan nggak nyaman," jawab Lily kemudian. Dia menutup pintu di belakangnya dengan hati-hati agar pasien di dalam beristirahat dengan tenang.
"Bagus kalau begitu." Rama menjawab. Lalu dilihatnya sang adik ipar dengan teliti. Wajahnya tidak lagi sesembab tadi malam. Namun Rama bisa dengan jelas melihat kantung matanya yang menghitam. Tanda bahwa mungkin Lily tidak tidur semalaman.
Lily yang merasa tidak nyaman ditatap dalam begitu segera berpamitan untuk segera pergi. Dia merasa aneh sendiri. Merasa malu juga dan menyesal setengah mati karena semalam dia membiarkan dokter Rama melihatnya menangis layaknya anak kecil.
"Dokter Lily." Tiara memanggil dari kejauhan. Perawat yang seumuran dengan Lily itu berlari kecil mendekat dengan dua cup mie di kedua tangannya. Dia jelas dari kantin. Lily mengucapkan terima kasih seraya tersenyum lebar ketika temannya itu memberikan satu cup itu kepadanya.
Mereka berdua berjalan bersama menuju ruang istirahat untuk sarapan pagi. "Semalam pulang jam berapa?" Lily bertanya di sela-sela langkah mereka.
Sambil sesekali menghirup aroma kaldu dari dalam cupnya, Tiara melirik Lily sebentar. "Setengah sebelas. Padahal malam Minggu, tapi aku tugas jaga." Wajah imut Tiara cemberut.
Mereka berdua masuk ke dalam ruang istirahat yang sepi. Duduk di sana sambil menikmati sarapan pagi yang tidak sehat milik mereka masing-masing.
"Semalam dokter Rama pergi sebentar sambil minjam helmnya dokter Haryanti. Itu nganterin dokter Lily pulang, ya?"
Mendengar itu Lily langsung terbatuk. Selama ini, dirinya dan juga dokter Rama tidak dekat sama sekali meskipun mereka berdua adalah ipar. Dan Tiara adalah saksi bahwa hubungannya dengan dokter Rama sama sekali tidak pernah baik apa lagi jika di dalam ruang operasi. Ketahuan bahwa malam tadi dia diantar pulang oleh seseorang yang notabenenya Lily benci, dia jadi merasa malu setengah mati.
"Saya semalam agak nggak enak badan." Lily menjawab bohong. Jika bukan karena alasan itu, maka tidak mungkin dia menjelaskan kalau semalam dirinya frustrasi akibat dokter Yudha sehingga dokter Rama mengantarnya pulang, bukan?
"Kenapa nggak kasih tau saya?" Tiara langsung menyahut. "Kan, saya juga bisa nganter dokter Lily pulang."
Lily meringis. "Kepala saya udah pusing banget, Ti. Mana sempat saya cari-cari kamu dulu buat antar pulang. Yang ada saya udah pingsan duluan." Bagus, Lily. Kemampuan berbohong mu sepertinya sudah meningkat dari waktu ke waktu.
Namun acara mereka harus terhenti ketika mereka mendengar alarm dari tempat istirahat mereka. Lily dan Tiara seketika saling beradu tatap. Pasien baru. Dengan cepat mereka meletakkan cup mie yang belum habis kemudian berlari keluar.
***
Pasien selanjutnya yang datang adalah anak remaja berusia dua belas tahun. Mengalami nyeri pada bagian rahang dan sekitarnya. Lily dan Tiara langsung membantu anak perempuan itu untuk masuk ke dalam ruang pemeriksaan.
"Bisa dibuka sebentar, ya, mulutnya." Dokter Rama memerintah dengan suaranya yang ramah. Tidak terdengar seperti dokter Rama yang biasa. Mungkin karena pasien yang dia tangani sekarang adalah anak remaja yang sedang merasa kesakitan.
Tiara dengan sigap memberikan apapun yang dibutuhkan oleh dokter Rama. Sedangkan Lily berdiri di sisi pasien yang lain. Mengecek kondisi nadinya yang berdetak normal juga beberapa organ vital yang lain.
"Apa ini disebabkan oleh jatuh? Atau hal lain sampai akhirnya menjadi sakit begini?" Kepala dokter Rama mendongak ke arah sang ibu yang masih menunggui putrinya.
Si ibu menggeleng cepat. "Dia sama sekali nggak jatuh, dok. Cuma bangun pagi tadi langsung mengeluh kalau rahangnya sakit bukan main. Seperti berdenyut dan mirip rasanya sama sakit gigi pada gusi."
Dokter Rama berdiri tegak, meletakkan alat terakhirny ke nampan stenlis yang dibawa oleh Tiara. "Saya juga nggak menemukan luka apapun di daerah dalam mulutnya. Ini bisa jadi luka dalam dan mungkin akan membahayakan. Oleh karenanya, saya akan memeriksa lagi lebih lanjut di ruang pemeriksaan." Kepalanya lalu menoleh ke arah Tiara. "Tolong siapkan, ya."
***
Anak remaja itu menderita Osteomilietis. Sebuah penyakit infeksi bakteri yang terjadi pada sumsum tulang dan untuk anak itu sendiri, Osteomilietis yang dideritanya mempengaruhi tulang rahang sehingga satu-satunya cara untuk mengatasinya adalah dengan melakukan operasi. Demi mengangkat area yang terinfeksi dan mengembalikan aliran darah.
Lily selesai memberi obat nyeri pada bagian dalam rahangnya sehingga anak itu bisa tidur dengan tenang tanpa merasakan sakit yang berdenyut-denyut sementara para dokter sedang menyiapkan prosedur operasi yang kemungkinan akan dilakukan besok pagi.
"Padahal Osteomilietis jarang terjadi menyerang rahang apa lagi pada anak-anak ya, Dok." Tiara berbicara ketika mereka berdua sedang berjalan menuju lift untuk ke lantai dasar. Untuk makan siang setelah tadi pagi mereka tidak bisa sarapan dengan benar.
"Jarang terjadi bukan berarti nggak pernah terjadi, Ti." Lily menjawab. Pintu lift terbuka dan ada beberapa perawat yang sudah lebih dulu berdiri di sana. Entah betulan atau hanya perasaan Lily saja, tapi beberapa di antara mereka langsung menatapnya dengan menyipit sengit. Apa berita mengenai dokter Yudha semalam sudah kembali menyebar?
Dan sebelum pintu lift benar-benar tertutup, kening Lily mengenyit ketika Tiara menahannya dengan cepat. Dan Lily baru menemukan keberadaan kakaknya, Rosiana bersama dokter Rama ketika pintu itu kembali terbuka lebar.
Kenapa kakak perempuannya itu jadi rajin sekali ke rumah sakit?
"Kakak mau bicara sama kamu." Adalah kalimat pertama yang Rosi ucapkan ketika dirinya sudah berdiri di samping sang adik. Tatapannya kemudian lurus ke depan.
"Bicara apa?" Lily bertanya penasaran. Wajahnya semakin kebingungan tak kala ujung telunjuk sang kakak bukan memencet lantai dasar untuk ke kantin.
Melainkan lantai tiga. Di mana ruang kerja milik dokter Rama berada. Kening Lily kembali mengernyit curiga.
***
Bisa tebak Rosi mau ngomong apa?
Vidia,
01 Juli 2022.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry From Lily (Selesai)
Romance*** Semula, Lily sangat membenci perselingkuhan. Namun dia justru menjadi selingkuhan dari kakak iparnya sendiri. Lily juga membenci setiap laki-laki yang tidak setia, tapi dia justru menerima cinta dari laki-laki yang tak lain adalah suami dari ka...