36 - Konfirmasi Rama

814 117 10
                                    

***

"Tadi Kak Rosi ke sini, mengutarakan kecurigaannya mengenai dokter Rama dan Tiara yang hampir ciuman di dalam ruangan dokter." Lily langsung memboardir pria yang baru saja masuk ke dalam pintu tempat tinggalnya dengan pertanyaan. "Coba, jelasin apa maksudnya?"

"Hampir ciuman gimana?" Rama terheran-heran. Masuk dan berjalan lurus menuju dapur untuk meneguk segelas air putih. "Saya dan Tiara justru sedang membicarakan kamu."

"Apa?"

"Sini," Rama yang duduk di atas kursi makan menarik tubuh Lily. Ini masih jam lima sore, dia memang sengaja pulang lebih awal untuk mampir ke tempat tinggal Lily terlebih dahulu. "Tiara sudah tahu mengenai hubungan kita. Saya udah ngasih tahu dia."

"Dokter gila?" Lily memekik. Melotot ke arah sang 'kekasih' dengan tidak percaya. Bagaimana juga dokter Rama dengan sangat santainya memberitahu mengenai hubungan gelap mereka kepada Tiara?

"Dia emang udah menduga, Ly." Rama mengelus rambut di kening wanita itu yang terlihat sedikit berantakan. "Saya juga perlu untuk membicarakan hal ini sama dia."

"Buat apa?" Lily panik tentu saja. Dia tidak mengerti dengan jalan pikiran Rama. "Saya nggak tau apa yang lagi dipikirin Tiara tentang saya." Tentu saja bukan hal-hal baik. Lily yakin sekali besok dirinya akan mendapat beribu-ribu pertanyaan dari temannya itu ketika masuk bekerja besok pagi.

"Saya yakin dia mengerti." Rama mengukir senyum lembut. Menatap wajah Lily dengan matanya yang menguar penuh cinta. "Saya meminta bantuan dia, Ly. Untuk menjaga kamu. Setelah saya mengungkapkan keinginan saya untuk menceraikan Rosi, kamu jelas membutuhkan bantuan dia."

"Bantuan apa? Saya bisa mengurusi diri saya sendiri." Lily menelan ludah. Diam-diam merasa gugup juga. Rasa takut menyelinap tanpa diduga ketika membayangkan saat-saat mengerikan mengenai dokter Rama yang mulai mengutarakan keinginannya untuk menceraikan Kak Rosi. Lily ... Masih belum siap menghadapi kemarahan Kakaknya, dan ... Papa.

"Saya punya rencana, Ly. Supaya kamu nggak terlalu banyak terima tekanan nanti, lebih baik memang kamu menghindar untuk beberapa saat saja." Rama memberitahu. Dagunya dia sandarkan pada sebelah pundak Lily. Menopang di sana dan menghirup aroma Lily dalam-dalam. "Saya nggak mau kamu ikut disalahkan, Ly. Jadi percaya sama saya, saya pasti bisa melindungi kamu."

"Menghindar ke mana?"

Fokus Rama tertahan lama pada bibir ranum yang seharian ini dirindukannya, padahal semalam dia menikmatinya tanpa henti, tapi tidak pernah merasa puas. Namun ketika dia maju hendak meraih bibir itu, Lily mengelak. Menatapnya dengan wajah penuh tuntutan yang tegas. "Nanti, Ly. Nanti saya jelasin semua." Rama benar-benar tidak tahan lagi.

Dan ketika dia maju sekali lagi, Lily untungnya tidak menghindar kali ini. Disambutnya bibir Rama dengan penuh suka cita. Dengan kerinduan yang sama. Rama merasa senang sekali. Perasaannya yang ingin bertemu Lily dan merindu setengah mati ternyata tidak bertepuk sebelah tangan.

"Saya udah deg-degan banget tadi waktu Kak Rosi datang sambil marah-marah." Lily sedikit terengah ketika kuluman dokter Rama di bibirnya terlepas. "Ternyata dia curiga sama Tiara. Saya harus ngasih bukti ke dia kalau dokter dan Tiara bener-bener nggak punya hubungan apa-apa."

"Jangan dipedulikan. Biar saya yang ngomong sama Rosi nanti."

"Kalau dokter yang ngomong pasti Kak Rosi tambah curiga lagi." Lily cemberut. Kedua lengannya melingkar erat di leher Rama. Memandang wajah pria itu dengan seksama. "Alasan mancing dokter semalam juga menimbulkan kecurigaan Kak Rosi."

"Ngomong-ngomong tentang semalam ... Apa masih sakit?" Rama justru membahas hal lain. Ini juga lah yang sejak tadi dia khawatirkan. Lily masih sakit akibat pengalaman pertamanya bersama Rama semalam. Dan dia takut wanita di pangkuannya ini masih merasa tidak nyaman.

Pipi Lily langsung merah padam. Wajahnya terbakar. Selangkangannya memang masih terasa nyeri jika dipakai buat berjalan. Tapi tentu saja dia tidak bisa mengungkapkan hal itu kepada pria yang sudah mengambil pengalaman pertamanya dalam bercinta ini. Terlalu malu. Terlalu erotis jika harus diceritakan.

"Masih?" Rama bertanya ulang ketika beberapa saat tak kunjung mendapat jawaban. "Maaf banget, Ly. Seharusnya semalam saya memang harus lebih hati-hati," desahnya merasa bersalah. Menempelkan sebelah pipinya ke dada Lily dan memejam di dalam pelukan wanita itu. Wangi sabun mandi yang biasa Lily pakai menguar, menyalurkan ketenangan yang memabukkan. Rama benar-benar ingin menghirup aroma ini seumur hidupnya.

"Kalau pengalaman pertama ... Memang bukannya sakit ya, dok?" Lily bersuara. Dia tidak mau membuat kekasihnya merasa bersalah seperti ini. Padahal selain kesakitan, semalam Lily juga ikut menikmatinya. Amat sangat menikmatinya. Lily berdehem. "Saya udah berendam air hangat, dan sedikit mendingan."

"Jadi ... Malam ini nggak bisa lagi, ya?" Rama bertanya dengan polosnya. Kedua bola matanya yang bulat mengerjap layaknya anak kecil yang sedang meminta permen.

Kepala Lily menggeleng. Bukannya dia tidak mau. Hanya saja .... "Dokter harus cepat pulang kalau nggak mau Kak Rosi semakin curiga lagi."

Lily benar. Selain karena Rosi, Rama juga tidak akan setega itu mau menggempur Lily setelah semalaman wanita itu kesakitan. Namun untuk pergi dari sini, kenapa rasanya berat sekali? "Saya masih kangen," kata Rama kembali mendongak, menangkap bibir ranum tanpa polesan lipstik itu dan mengulumnya sesaat. "Seharian nggak ketemu, memangnya kamu nggak kangen juga sama saya?"

"Kangen." Hati Lily menjawab jujur. "Saya tadi penasaran banget kenapa Kak Rosi bisa mikir kalau dokter Rama sama Tiara hampir ciuman."

"Rosi terlalu hiperbola. Yang dari pagi pengin banget saya cium itu kamu, Ly." Gombalan seorang pria yang biasa bersikap dingin dan kaku sepertinya boleh juga. "Saya kayaknya nggak sanggup kalau harus pulang sekarang. Kamu ikut aja, yuk. Menginap di rumah Rosi."

"Apa Kak Rosi nggak semakin curiga?" Lily juga masih ingin bersama dokter Rama. Racun cinta sepertinya sudah menyebar ke dadanya sedemikian rupa. Seharian tidak bertemu dan hanya bertemu beberapa saat saja, rasanya tidak cukup. Namun jika dirinya ikut pulang bersama dokter Rama, apa itu tidak akan memancing kecurigaan sang Kakak.

"Bilang aja kalau kamu telepon saya buat ikut pulang ke sana." Dokter Rama memberi Lily satu kecupan lagi. "Walau pun di sana kita nggak bisa mesra-mesraan, seenggaknya saya bisa lihat kamu."

Lily sepertinya sudah gila karena pada akhirnya dia mengangguk. Perasaan tidak ingin berjauhan dengan dokter Rama memang kuat adanya. Dia sampai berani mengambil risiko-risiko tolol dengan mengikuti perintah laki-laki itu yang mengajaknya pulang ke rumah pribadinya. Di mana kakak perempuannya, yang juga merupakan istri dokter Rama juga berada di sana.

Dan setelah sampai di rumah milik pasangan itu pun ... Perkataan dokter Rama yang katanya tidak akan mesra-mesraan sepertinya sama sekali tidak bisa dipercaya.

***

Bab depan adalah bab paling hottttt di antara bab yang lain, hihi. Bab yang pecah perawan pun lewat! Kalian bisa baca duluan di Karyakarsa, yaaaa. Buat yang belum cukup umur, tolong menjauh! Kamu bisa baca bab-bab lainnya aja. Oke?

Vidia,
15 September 2022.

Sorry From Lily (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang