***
Wena Ayodia paham sekali mengenai sifat putra-putrinya. Terlebih si sulung yang jarang menampilkan ekspresi berlebih atau isi hati. Oleh karenanya, melihatnya pulang dengan wajah murung dan langkah yang tampak lesu di hari Minggu ini, membuat Wena sangat khawatir setengah mati.
Didekatinya sang putra yang kini sedang duduk mengobrol dengan suaminya. Ditepuknya punggung lebar Rama yang semula duduk membelakangi. Jika dilihat dengan jelas begini, Wena bisa langsung menemukan kantung mata sang putra sulung yang membayang. Pipinya tirus seperti orang kurang makan.
"Kamu sakit, Ram?"
Ayahnya yang sudah berambut putih semua itu juga ikut mendekatkan wajah. "Tadi Papa ajak ngobrol juga lesu banget. Cerita aja nggak apa-apa. Meskipun kamu juga udah tua, tapi kadang kan, sering butuh teman cerita."
Rama meringis. Seharusnya dia memang tidak usah pulang ke rumah. Karena meskipun sudah mencoba bersikap sebiasa mungkin, kedua orangtuanya jelas selalu bisa menemukan hal-hal ganjil jika itu menyangkut tentang dirinya.
Sang Mama mengangguk setuju. "Kenapa? Lagi berantem sama Rosi makanya sekarang nggak diajak ke sini?" Tanyanya memeluk pundak Rama. "Rumah tangga mah, biasa begitu, Mas. Berantem-berantem, nanti juga kalau udah di atas ranjang baikan lagi." Dan Mama langsung tertawa cekikikan.
"Enggak kok, Ma. Cuma emang agak capek aja beberapa hari ini banyak pasien." Rama melirik ke lantai atas. "Rena ada di atas, kan?" Tanyanya menyebut nama sang adik. "Rama mau nyamperin dia dulu, dia ngambek biasanya kalau Rama mampir tapi nggak nemuin."
Rama beranjak, dia tidak mau orangtuanya semakin khawatir. Namun hubungannya dengan Rosi memang baik-baik saja. Sangat baik-baik saja. Hanya suasana hati Rama yang memang beberapa hari ini memburuk. Dia tidak nafsu makan, tidak nafsu tidur, dan bahkan tidak nafsu ketika istrinya mengajak bercinta.
"Renata," Rama memanggil ketika pintu kamar yang dulu ditinggalinya ketika belum menikah terbuka. Sepertinya adiknya itu sedang berada di dalam sana. Dan ketika Rama masuk, benar saja, Rena tampak berada di balik layar besar dengan kedua telinga yang tersumpal oleh headphone berkuping kelinci. Dia tampak asyik bermain dengan stick Play Stationnya.
Sang adik menoleh, entah pengelihatan Rama saja atau memang Renata benar-benar langsung melengos. Mematikan play stationnya dan berdiri. Bukan untuk menyambut kedatangan sang kakak, adiknya itu justru langsung menghempaskan diri di atas ranjang tanpa mengucapkan apapun.
"Ngapain Mas Rama ke sini?" Adiknya itu membuka suara. Nadanya ketus, Rama mendekat dan melihat Renata yang memejamkan mata.
"Mau jenguk Mama sama Papa. Kamu ngapain ada di kamar Mas?" Rama membuka jaketnya, menggantungkannya di sandaran kursi dan ikut mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang. Ditatapnya wajah sang adik dalam-dalam. "Kenapa bete gitu? Ada masalah di kantor?"
Mendengar itu, Renata justru langsung membuka mata. Menatap langit-langit kamar dengan pandangannya yang nyalang. "Aku ada masalah sama Mas Rama," gumam Renata kemudian. Dia menoleh dan beranjak. Duduk berhadap-hadapan dengan sang kakak. "Mas Rama ... Ada hubungan apa sama Lily?"
Rama mengerutkan kening, terkejut sekali gus tidak paham. "Apa maksud kamu?" Tanyanya dengan nada terheran-heran.
Renata mendesah lagi. Dia beringsut turun menuju meja besar dan membuka salah satu laci yang sebelumnya memang tidak pernah dikunci. Lengannya terulur untuk meraih sesuatu di dalam saja yang ternyata berisi album foto. Rama membelalak ketika menemukan sampul album itu bergambar bunga lili. Dia jelas tahu sekali apa isinya.
Dengan cepat Rama berdiri, merebut album itu dari tangan Renata secepat kilat. "Kamu ngotak-atik barang-barang punya Mas? Kamu tahu itu nggak sopan."
Renata mengukir senyum getir. Percuma kakaknya merebut album itu, karena Renata jelas sudah melihat semuanya. Hampir setiap hari dia memastika bahwa foto-foto bergambar banyak sekali sosok Liliana itu benar-benar ada. Berikut dengan kata-kata romantis macam kerinduan terpendam dan juga perasaan yang tak tersampaikan. Dan cinta diam-diam itu ... Berlanjut hingga sekarang.
"Mas Rama ... Suka sama Lily sejak cewek itu masih SMA," gumam Renata kemudian. Di dalam album foto itu, semuanya terpampang dengan jelas. Bagaimana foto-foto usang yang sudah dikumpulkan sejak bertahun-tahun lalu masih ada hingga sekarang. "Kalau memang sukanya sama Lily ..., kenapa Mas justru menikahi Mbak Rosi yang merupakan kakaknya? Apa itu nggak jahat?"
"Rena—"
"Sampai sekarang, Mas masih memendam perasaan, kan?" Renata langsung tahu jika dirinya jelas menebak dengan tepat. Ekspresi yang ditunjukkan oleh kakak sulungnya itu benar-benar tidak dapat membohonginya. Rama memang seseorang yang sulit sekali jatuh cinta, Renata tahu sejak lama. Dan kini, mengetahui fakta bahwa sang kakak ternyata mencintai adik iparnya diam-diam membuat Renata tidak tahu harus melakukan apa. "Apa ... Mas Rama juga mengkhianati istri Mas sendiri di belakang? Mas Rama punya hubungan rahasia juga dengan Lily?"
Rama berdiri, meletakkan album foto sejauh mungkin dari jangkauan adiknya. "Tolong jangan beritahukan ini kepada siapapun, Mas akan—"
"Terus aku harus diam aja tau kakakku selingkuh sama adik iparnya sendiri?" Renata ikut berdiri dengan emosi. Dia menyugar rambutnya merasakan kepalanya pening setengah mati. "Aku harus bicara dengan Lily. Gimana pun, ini salah, Mas. Dia seharusnya tahu kalau dia nggak boleh mengkhianati kakaknya sendiri dengan pacaran sama suaminya!"
"Tolong jangan katakan apapun ke Lily. Ini bukan salah dia." Rama semakin panik. Bagaimana pun, jika hubungan gelapnya dengan Lily akhirnya terungkap, itu bisa menjadi marabahaya untuk mereka. Terlebih Liliana, wanita itu terlalu rentan berada di tengah-tengah keluarga yang bisa kapan saja menyakitinya.
"Bukan salah dia?!" Renata justru memekik tidak terima. "Dia berselingkuh dengan Mas Rama yang merupakan suami dari kakaknya! Mas bilang, bukan salah dia?!" Renata berjalan cepat. "Aku harus cepat-cepat memberitahu Mama. Gimana pun, aku nggak bisa membiarkan Kak Rosi yang nggak tahu apa-apa jadi korban pengkhianatan keji kalian."
"Rena, tolong—" Rama meraih tangan Renata dengan cepat. Dia langsung berlutut. Tidak membiarkan sang adik beranjak sedikit saja dari tempatnya berdiri saat ini. "Mas dan Lily salah. Mas juga sangat menyadari kalau apa yang kami lakukan mungkin memang akan menyakiti Rosi. Tapi—tapi kami sudah berakhir. Lily meminta untuk mengakhirinya. Tolong jangan beritahukan ke siapa-siapa."
Kedua mata Renata tampak berkaca-kaca. Wajahnya memerah menahan tangis yang mungkin tak lagi dapat terbendung. Dia ikut melorot jatuh, bersama kakaknya yang mungkin kini juga turut menumpahkan air mata sambil menunduk dalam-dalam.
"Sudah sejauh apa?" Tanya Renata menguatkan diri meskipun suaranya terdengar lemah dan putus asa sekali. "Hubungan Mas Rama sama Lily, sudah sejauh apa?" Dia berharap kakaknya menjawab hanya sebatas pegangan tangan, atau paling jauh berpelukan. Namun menemukan Rama yang diam saja, tangis Renata semakin menjadi. Dia mendorong dan memukul bahu sang kakak dengan keras. "Sekali lagi aku lihat Mas Rama deketan sama Lily, aku akan langsung melaporkannya. Bukan cuma ke Mama sama Papa, tapi juga ke Nenek Karenada. Mas pikir, apa yang akan Nenek itu lakukan kalau tahu cucunya ternyata bersikap sama seperti Ibunya yang perebut laki-laki orang itu?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry From Lily (Selesai)
Lãng mạn*** Semula, Lily sangat membenci perselingkuhan. Namun dia justru menjadi selingkuhan dari kakak iparnya sendiri. Lily juga membenci setiap laki-laki yang tidak setia, tapi dia justru menerima cinta dari laki-laki yang tak lain adalah suami dari ka...