15 - Dekat (Lagi)

951 127 18
                                    

***

Usai memastikan bahwa kondisi pasien terakhirnya sudah normal dan diizinkan untuk pulang, Rama masuk ke dalam ruangannya sendiri. Hari ini tidak lah sepadat hari-hari biasa. Hanya mengkontrol kembali kondisi Alisia dan tidak ada pasien lain yang dijadwalkan untuk operasi.

Rama melepas snelli dan menggantungkannya ke tiang kayu yang telah disediakan sebelum dia mendudukkan diri di atas kursi empuknya sendiri. Kursi empuk yang nyaman, tempat di mana Rama sering mengistirahatkan punggungnya yang lelah karena seharian bekerja.

Dia menyandar nyaman dengan kepala mendongak ke atas. Kedua kelopak matanya memejam. Tidak tahu kenapa, hari ini rasanya sangat melelahkan padahal Rama tidak bekerja ekstra seperti hari-hari biasanya.

Semua ini jelas disebabkan oleh Lily dan juga kejadian tadi pagi. Di mana ... Dengan kurang ajarnya Rama mencium adik iparnya sendiri.

Itu adalah hal yang tak diduga. Apa lagi dengan bejat direncanakan. Rama bukan lah laki-laki yang suka mengambil kesempatan di dalam kesempitan. Hanya saja ... Yang tadi pagi itu mungkin adalah bentuk kefrustrasiannya sendiri akibat lelah menunggu terlalu lama.

Liliana adalah sosok yang menakjubkan. Kepribadian wanita itu yang pendiam dengan pandangan kedua matanya yang sayu dan teduh tentu saja memancing penasaran. Dan tadi pagi itu ... Adalah kali pertama bagi Rama diperhatikan oleh Lily. Ditatap sebegitu dekat sampai Rama tidak tahu apa yang dia lakukan selanjutnya akibat kesulitan menahan diri.

Kini, tanpa sadar jemarinya menyentuh bibirnya sendiri. Matanya masih memejam. Masih membayangkan bagaimana sensasi bibir lembut milik Lily yang membalas ciumannya di sana. Bibir mungil kecil dengan rasa kopi yang sangat menggoda ... Benar-benar membuat Rama tidak bisa melupakan rasanya.

Sialan sekali. Padahal Lily sudah meminta untuk melupakan semuanya, Rama malah dengan mesum justru mengingatnya lagi.

Lamunannya kemudian terurai ketika suara ketukan di pintu terdengar. Rama menggumamkan kata masuk sebelum pintu hitam itu terbuka dan menampilkan sosok jangkung dengan wajah tampannya yang lesu. Ya benar, itu dokter Yudha. Laki-laki yang selama ini sudah mengganggu hidup Lily. Dan kini Rama butuh bicara dengannya.

"Duduk." Rama memerintahkan dengan singkat. Dirinya merupakan menantu dari si pemilik rumah sakit. Pun memegang gelar sebagai dokter bedah rahang terbaik, tidak heran jika dokter Yudha menunduk dalam ketika menemuinya begini.

Rama kemudian menyatukan jemarinya di atas meja. Matanya memandang dokter muda di hadapannya dengan seksama. "Kamu jelas tau kan, saya memanggil kamu ke sini untuk membicarakan apa?" Rama tidak mau bebasa-basi. Oleh karenanya dia memulainya dengan kalimat pembukaan yang langsung menembak cepat.

"Saya mencintai Lily." Pernyataan dokter Yudha yang sangat percaya diri itu seketika membuat Rama mengerutkan dahi. "Proses cerai saya dan istri saya akan segera selesai sebentar lagi. Saya hanya sedang memperjuangkan cinta saya kepada adik ipar dokter Rama."

"Usia kamu berapa? Bukan remaja lagi, kan? Kenapa kamu terlihat sangat menggebu-gebu mengejar Lily padahal dia sendiri merasa tidak nyaman?"

"Lily nyaman bersama saya." Lagi, entah kepercayaan diri dari mana yang didapatkan oleh dokter muda di hadapan Rama ini. Kepercayaan diri yang entah kenapa terdengar narsis sekali. "Saya bisa pastikan kalau dia pun punya perasaan yang sama."

"Tolong jangan dipaksakan. Kalau sampai Pak Aliano Karenada tau jika putrinya sedang diganggu oleh pria beristri di dalam rumah sakit ini, saya bisa menjamin kalau pekerjaan kamu tidak akan aman." Rama mulai mengangkat tautan tangannya ke dagu. Kedua kelopak matanya mencoba mengamati dengan seksama raut wajah laki-laki di hadapannya ini.

Tampak murung dan merenung dengan wajah yang menunduk dalam. Dalam sekali lihat saja, Rama bisa menebak jika dokter Yudha memang benar-benar sedang jatuh cinta. Terhadap adik iparnya. Hanya saja, tingkahnya yang terlalu mendekati dengan berlebihan terkadang membuat Rama muak.

"Apa ... Benar-benar udah nggak ada kesempatan lagi untuk saya?" Dengan suaranya yang lirih Yudha bertanya. "Saya mencintai Lily setulus hati dan mencoba untuk mendapatkannya. Hanya status saya yang masih menjadi suami dari wanita lain yang menghalangi, bukan?" Perlahan wajahnya mulai mendongak. Kedua mata Yudha yang ternaungi bulu mata lentik menatap Rama dengan tajam. "Untuk sekarang, selama proses perceraian masih berlangsung, saya nggak akan lagi mendekati Lily," ujarnya kemudian. "Tapi setelah ketuk palu, dokter Rama nggak bisa menghalangi saya untuk mendapatkan Lily lagi."

Bibir Rama mengukir senyum miring diam-diam. Kedua matanya tampak meremehkan. "Kalau memang Lily mau sama kamu, tidak akan ada yang melarangnya."

***

Langkah Rama berlari cepat menaiki tangga di belakang sebuah bangunan sederhana tiga lantai yang tadi malam menjadi tempatnya menginap. Beberapa saat yang lalu Rosiana menelepon untuk mengkonfirmasi bahwa adiknya memang sedang sakit. Pun memberitahu jika siang ini Lily dirawat oleh Karina. Salah satu wanita penghuni gedung tiga lantai ini yang menjadi alasan Rama terburu-buru untuk datang lagi ke kediaman Lily.

Rosiana jelas masih khawatir setengah mati. Desas-desus mengenai Karina yang penyuka sesama jenis tentu tidak lantas membuat mereka tenang meninggalkan wanita itu bersama dengan Lily. Rama pun sama takutnya. Napasnya terengah ketika dirinya mencoba untuk mengetuk pintu di depannya dengan gerakan yang tak beraturan.

Dan benar saja, pintu itu dibuka oleh wanita dengan make up on point dengan bibir nude kecoklatan yang tampak mencolok sekali. Tubuhnya semampainya terbalut oleh rok kulit seksi dan juga tank top hitam yang feminim. Jika Rosiana tidak bilang pernah melihatnya berciuman dengan sesama perempuan juga, mungkin Rama tidak perlu mengkhawatirkan apapun.

"Oh, kakak ipar." Karina berucap seraya mengerling dengan kedua matanya yang berkedip nakal.

Rama tidak memedulikan. Dia berlalu masuk kemudian membuka pintu kamar milik Lily dan menemukan wanita itu sedang menyandar di kepala ranjang dengan tatapan mata yang kosong ke depan.

Pandangannya baru berubah ketika menemukan pintunya dibuka secara tiba-tiba. Kening Lily tampak mengernyit dalam ketika melihat kehadiran Rama di kediamannya.

"Dokter ngapain ke sini lagi?" Lily yang masih pucat pasi bertanya. Mengikuti pergerakan Rama yang malah melepas jaket hitamnya setelah meletakkan satu bungkusan yang entah isinya apa.

"Udah saya bilang, kan? Jangan berduaan sama dia." Entah kenapa, ucapannya ini terdengar seperti laki-laki yang sedang cemburu. Padahal nyatanya tidak sama sekali. Rama hanya terlalu khawatir saja.

Lily menatap kakak iparnya yang mulai mendudukkan diri di tepi ranjang dan menghadapnya dengan lekat. "Kak Rosi ngasih tau?"

Karena beberapa saat yang lalu kakak perempuannya itu menelepon Lily. Dan suara Karina yang tidak sengaja terdengar ternyata membuat kakaknya kembali khawatir dan bersikap berlebihan lagi.

"Kamu belum makan sejak tadi pagi, kan?" Rama justru tidak menjawab pertanyaannya sama sekali. Justru mendekatkan wajah untuk mengamati luka di sudut bibir Lily yang mulai mengering.

Di tempatnya, Lily berdehem gugup. Membuang muka untuk menghindari tatapan dokter Rama yang menghujaninya sedemikian rupa. "Kenapa dokter peduli? Biasanya nggak begini."

"Kamu tau, walaupun kamu meminta untuk melupakan, rasanya tetap susah sekali."

Dan jawaban penuh makna itu sama sekali tidak Lily mengerti apa artinya.

***

Jadi, Lily tetap sama Rama atau cari yang lain aja nih? 😂😂😂

Vidia,
15 Juli 2022.

Sorry From Lily (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang