***
"Rosi sudah pulang duluan setelah menyiapkan sarapan tadi. Ada sesuatu yang harus diurus mengenai pembangunan butiknya." Rama yang berdiri di balik mesin pembuatan kopi memberitahu ketika dilihatnya Lily keluar dengan piyama yang sama seperti semalam. Kuning dan bermotif pisang. Rambut sepundaknya digelung ke atas dengan wajah bangun tidurnya yang terlihat lucu sekali.
"Kenapa nggak ngomong dulu sama saya, ya?" Tanya wanita itu dengan heran. Melangkah mendekat dan melihat makanan yang sudah penuh di atas meja makan bundar yang mungil.
"Tadi kamu masih tidur."
Kening Lily mengernyit dalam ketika dirinya menarik kursi dan duduk di sana. "Terus kenapa dokter nggak nganterin kak Rosi?"
"Katanya biar hemat waktu. Saya sekalian berangkat ke rumah sakit bareng kamu." Dengan dua gelas kopi karamel di tangannya, Rama menyerahkan satunya ke hadapan Lily. "Kopi, kamu pasti capek banget habis nangis semalam."
"Nggak nangis." Lily menyahut tidak terima. "Cuma keluar air mata aja," lanjutnya dengan lirih karena malu.
Rama tertawa kecil. Dia ikut menarik kursi dan duduk tepat di hadapan Lily yang sedang menikmati kopi buatannya. Ini adalah kali pertama bagi Rama menghabiskan waktu paginya di sini. Membuat dua gelas kopi dan menikmatinya bersama sang adik ipar. Sebelumnya tidak pernah sama sekali. Selama dua tahun terakhir mereka habisnya seperti orang asing yang hanya mengenal sekali lewat saja.
"Ngomong-ngomong ... Sepertinya Alisa sudah boleh pulang hari ini." Rama menyebut nama dari pasien mereka. Seorang gadis remaja yang ada kelainan pada rahangnya.
Lily meletakkan gelas kopinya dan mengangguk. "Setelah saya pastikan lagi hari ini dan membaik, tentu dia sudah bisa pulang dan beristirahat di rumah. Operasi kemarin sudah berjalan sebagaimana mestinya, dan Alisa pulih lebih cepat dari yang sebelumnya saya perkirakan."
"Saya senang mendengar itu." Rama menyunggingkan senyum tipis sambil mengamati isi cangkirnya sendiri. "Kamu tau, Ly. Setiap saya mengoperasi anak kecil ... Rasanya saya nggak tega sekali. Melihat bagaimana kulit mereka disayat, saya kadang juga ikut sedih. Kenapa penyakit yang mengharuskan mereka untuk operasi harus menimpa tubuh-tubuh kecil yang masih nggak berdaya."
"Karena penyakit bisa menyerang siapa saja, dok. Nggak tua dan nggak yang muda, penyakit jelas diberikan Tuhan untuk mengurangi dosa. Tapi dokter sadar nggak sih, kalau kesembuhan dari pasien itu juga merupakan motivasi tersendiri buat orang-orang yang membantunya seperti kita? Karena saya kadang merasa sedikit berbangga hati saat menyadari kalau saya ada di bagian yang membantu mereka untuk sembuh."
"Kamu benar." Rama tersenyum. "Meskipun Tuhan lah yang menghendaki kesembuhan para manusia yang sakit, tapi sedikit banyak saya juga merasa senang kalau di satu sisi saya juga ikut berpartisipasi dalam membantu kesembuhan pasien-pasien kita."
"Dokter," Lily memanggil sambil melipat bibirnya dengan ragu. "Apa ... Saya boleh tanya satu hal?"
Kedua alis Rama terangkat seketika. "Tanyakan aja," jawabnya.
"Mengenai anak ... Apa Kak Rosi masih belum siap juga?" Lily pernah menanyakan hal ini kepada kakaknya juga. Namun hanya lirikan sinis saja yang dia dapatkan.
Dan mendengar itu, tidak heran pula dia melihat Kakak iparnya yang kini mendesah pasrah. "Usia saya sudah hampir tiga puluh lima, tapi sepertinya Rosi memang belum mengharapkan kehadiran anak sama sekali."
"Padahal ... Kalau kalian punya keturunan, mungkin Papa nggak akan mendesak saya untuk cepat-cepat menikah." Lily meringis ketika mengungkapkan hal itu. Takut Rama tersinggung, namun juga dia ingin kakak iparnya itu untuk memikirkan lagi dan bisa membujuk kembali Kak Rosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry From Lily (Selesai)
Romance*** Semula, Lily sangat membenci perselingkuhan. Namun dia justru menjadi selingkuhan dari kakak iparnya sendiri. Lily juga membenci setiap laki-laki yang tidak setia, tapi dia justru menerima cinta dari laki-laki yang tak lain adalah suami dari ka...