3. Maaf

474 83 1
                                    

Jeno nggak pernah menduga rumah tangganya bakal kayak gini.

Dua tahun pertama, mereka adalah pasangan bahagia. Jeno mencintaiJana, begitu juga sebaliknya. Keduanya menikah bukan karena tekanan atau paksaan dari keluarga, murni karena hubungan cinta yang udah terjalin selama tujuh tahun.

Semua hal-hal manis dan penuh keromantisan yang dulu selalu membersamai langkah mereka hilang saat ayah dan kakak tunggal Jana meninggal dalam kecelakaan mobil di jalan tol.

Dunia mereka seperti dibalik seketika, selain sibuk nyiapin pemakaman, mereka juga sibuk mencari cara untuk mencegah agar saham perusahaan nggak anjlok.

Jana bekerja ekstra keras, dia bahkan nggak sempat nikmatin sedih pasca ditinggal dua orang pria yang paling berjasa dalam hidupnya setelah kepergian sang mama yang lebih dulu menghadap pencipta.

Jeno selalu ada di sampingnya, membantu dia sebisa mungkin, walaupun gelar sarjana Teknik informatika miliknya rada-rada nggak nyambung sama bisnis dan manajemennya.

Mereka berhasil melalui semuanya, Jana sukses mempertahankan perusahaan keluarganya, bahkan berhasil melebarkan sayap hingga ke bidang pariwisata. Jeno senang, tentu aja dia bangga, siapa sih yang nggak bangga ngeliat pencapaian Jana?

Tapi, Jeno terlalu naif. Semakin sukses Jana, maka semakin tertinggal dirinya.

Dia baru menyadari itu beberapa bulan setelah ia merasa bahwa hubungan mereka sedikit merenggang. Jana terlalu sibuk dengan dunianya, sementara dia terluka karena egonya.

***

"Besok jadi ke Bali ya, Jan."

Jana yang baru meneguk kopi keduanya pagi ini menghembuskan napas panjang. "Nggak bisa ditunda?"

Reni menggeleng, raut wajahnya terlihat sedih. "Sorry, Kak Jo udah neken gue supaya lo mantau sendiri ke sana."

"Udah mulai dikerja ya?"

"Iya."

Jana menggigit bibir, ini bukan perjalanan bisnis pertamanya keluar kota, bahkan keluar negeri pun. Tapi, mengingat hubungannya yang semakin mendingin dengan Jeno. Ia ragu akan pergi atau tidak.

"Bisa ditunda dua atau tiga hari?"

"Nope." Reni menyodorkan tab yang berisi jadwal kerja Jana selama sebulan ke depan. "Schedule lo padat banget, bahkan bulan ini ada empat perjalanan bisnis."

"Semua penting?"

"Yep. Ini udah gue seleksi malah, perjalanan ke Malaysia gue batalin karena bisa diwakilin Kak Jo, ke Singapura juga gue batalin, karena benefitnya nggak terlalu tinggi."

Jana nggak punya pilihan lain. Dia memang menikmati pekerjaannya. Dulu pun sebelum ada di posisi sekarang, dia juga bekerja, tapi hanya sebagai staf biasa, bukan orang yang duduk di belakang papan nama bertuliskan CEO.

***

"Mas Jeno, boleh nebeng sampe halte nggak?"

Jeno yang baru mau masang helmnya berhenti, natap Celestya yang berdiri di dekat CBR miliknya.

"Nggak apa-apa naik motor gini?"

"Iya." Cewek itu mengangguk, "Aku bawa helm kok, emang tadi mau dijemput Jery tapi nggak jadi, aku disuruh nunggu di halte."

"Oke."

Perempuan yang lebih muda beberapa tahun darinya itu melompat kecil, setelah memastikan helmnya terpasang dengan baik, ia memeluk bahu Jeno agar bisa naik ke boncengan lelaki itu.

"Udah mas."

Jeno menurunkan kaca helm, memacu motornya membelah jalanan Jakarta. Pegangan Celestya di jaket kulit hitamnya ngebuat dia mengingat masa lalu. Dulu sekali, hanya Jana yang jadi penumpang tetapnya, hanya wanita itu yang boleh duduk di belakang dirinya, meluk dia erat-erat dan mereka bakal berkendara menantang angin, membiarkan rambut mereka kacau hingga tawa berderai di udara.

diversoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang