6. Berbenah

504 83 0
                                    

Pagi itu Jana bangun tanpa ekspektasi apa-apa, setelah meregangkan ototnya yang kaku, ia meraih ponsel, mengecek siapa tau ada email penting yang harus segera dibalas.

Tapi yang ia temukan justru nama suaminya di deretan chat paling atas.

Di pesannya, Jana emang bilang mau nangis, nyatanya sekarang, di atas kasur masih dengan rambut acak-acakan dan wajah bengkak, air matanya turun, menyusul lega yang luruh di dalam sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di pesannya, Jana emang bilang mau nangis, nyatanya sekarang, di atas kasur masih dengan rambut acak-acakan dan wajah bengkak, air matanya turun, menyusul lega yang luruh di dalam sana.

Ada beban tak kasat mata yang terangkat dari bahunya, tidak hanya meringankan tapi juga membuat suasana hatinya seketika meningkat.

Dengan semangat penuh, ia melempar selimut dan bersenandung kecil menuju kamar mandi. Ini adalah hal yang sangat indah untuk memulai hari.

***

Pukul delapan lewat tiga puluh menit adalah jam paling terlambat bagi Jeno untuk masuk kantor, saat dia meletakkan tasnya di atas meja, tatapan bertanya dari Celestya dan Bang Mino nggak bisa dihindari.

"Tumben amat telat, tumbeeeeeeen amat!"

Sapaan berlebihan diiringin tatapan mengejek membuat Jeno menghela napas, menatap Cels yang udah siap menginterogasinya disertai mata penasaran dari Bang Mino yang sibuk ngatur lalu lintas jaringan kantor.

"Gue abis ngajuin izin cuti."

"HAH? KOK?"

Kursi dorong yang ditempati Cels semakin mendekat hingga kepala gadis itu hanya berjarak sekian centi dari tubuh Jeno.

"Kenapa nih?"

"Gue mau pergi ke suatu tempat."

"Liburan?"

Jeno mengangguk ragu. "Kinda?"

"Lah?"

Bahunya mengedik, membuat Celestya semakin bingung. "Mas Jeno sehat? Hari ini nggak salah makan, kan?"

"Bahkan gue belum makan, Cels."

"Aneh ih. No wind no rain tiba-tiba mau cuti."

"Mau nyusul istri gue ke Bali."

"WAIT? WHAT!? HALU!"

Nggak lama kemudian, tawa Celestya memenuhi ruangan, gadis itu menggelengkan kepala seolah tidak percaya Jeno baru saja mengatakan kata 'istri' di depannya.

"Kapan nikahnya coba? Ada-ada aja sih Mas Jen. Mending cari sarapan yuk."

"Gue serius."

"Mas Jen nggak bisa ngibulin aku!" Celestya masih tetap pada pendiriannya.

"Tapi Jeno emang udah nikah, Cels."

Petir imajiner seketika muncul di atas kepala Cels, gadis itu dengan mata membelalak menatap Jeno, "... serius ..."

"Iya."

Tubuhnya lunglai ke belakang, masih memandang Jeno yang tak berkutik. "Padahal aku mau jadiin Mas Jeno lelaki cadangan."

diversoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang