8. Feel Like Home

494 80 3
                                    

"Kok bisa di sini?" adalah pertanyaan pertama yang diajukan Lucas saat Jeno mendudukkan diri di kursi makan.

Ada Hera yang juga memandangnya dengan tatapan lain, ditambah Jo yang mengernyitkan kening—bingung.

"Nyusul istri," kata Jeno, sembari menyingkirkan potongan buncis ke tepi piring.

"Istri? Lo udah nikah?"

Pertanyaan itu membuat kernyitan di kening Jo semakin dalam.

"Kalian nggak tau?" tanyanya.

Sontak, Lucas menggelengkan kepala, sementara Hera hanya menghela napas.

"Jeno kan suaminya Jana."

"HAH? JANA? Jana yang itu ....?"

Ada nada ragu yang terselip, membuat Jeno tersenyum kecil.

"Iya, Jana yang itu."

Mata Lucas masih mengerjap, memproses informasi yang baru saja didapat otaknya.

"Sumpah? Kok nggak pernah bilang?"

"Buat apa?"

"Ya setidaknya lo bilang, udah nikah gitu Jen."

Tidak ingin memperpanjang pembahasan, Jeno akhirnya mengangguk, ngebuat Lucas kembali menekuri piringnya, enggan bertanya lebih lanjut karena Jeno kayaknya malas banget buat jelasin.

Mereka kembali makan dalam diam, sesekali Jo nanyain progress kerjaan mereka yang nggak Jeno tau, jadi dia cuma nyimak aja.

Langit malam Bali keliatan indah banget, ditambah musik akustik yang terdengar hingga restoran luar yang mereka tempati saat ini, membuat empat orang itu lebih fokus pada makanan daripada berbincang santai. Sampai sebuah panggilan membuat mereka mengalihkan tatap secara bersamaan.

"JENO!"

Jana melambai kecil, dengan tubuh atas tertutup sarung bali sebagai luaran karena kayaknya perempuan itu cuma pake tanktop.

"Hi."

Hera dan Lucas mengangguk sopan sementara Jo tersenyum kecil saat Jana—yang sudah ia anggap adik sendiri duduk di samping Jeno dengan wajah cerah, meski nggak menutup sembab dan bengkak di matanya.

Pemandangan yang udah lama banget nggak dia liat.

"Kok nggak bangunin aku?"

"Rencananya mau makan di kamar aja, tapi tadi ketemu Kak Jo."

Bibir wanita itu cemberut, membuat Jeno mengelus lembut tangannya, "Makan aja yuk."

"Nggak ah, masih kenyang."

Sejujurnya, Lucas ngerasa aneh banget ngeliat pemandangan itu, ia masih belum terbiasa dengan status Jeno yang tiba-tiba udah kawin, sama klien mereka pula. Padahal, kemarin-kemarin, Lucas mikir kalo lelaki itu masih bergabung dengan perserikatan sadboi kantor.

"Kalo udah selesai, aku mau ajak kamu ke suatu tempat."

"Ke mana?"

"Kejutan!" serunya riang, membuat Hera tertawa kecil.

Lucu banget liatnya. Walau mereka seumuran, tapi Hera ngeliat Jana sebagai sosok yang berbeda dari Renjana yang ia kenal beberapa hari terakhir, bukan Jana yang natap dia dengan sorot intimidasi, bukan Jana yang memakai setelan kerja keluaran Gucci dan sibuk ngometarin kerjaan dia dan tim.

Jana yang ia liat malam ini adalah sisi lain, Jana yang sebenarnya. Jana yang jadi dirinya sendiri di samping pria yang ia cintai. Dan entah kenapa, Hera seneng liatnya.

Jeno menggeser piringnya yang udah nyaris kosong ke samping sebelum meneguk segelas air.

"Yuk."

"Udah yang?"

"Iya."

Tangan perempuan itu terulur, menyeka tetesan air di bibir Jeno dengan lembut, membuat Jo mengalihkan pandangan, mendadak kangen istrinya.

"Kebiasaan banget sih yang, belepotan gini kalo makan."

Jeno tersenyum canggung, nggak terbiasa dengan afeksi publik yang ditunjukkan istrinya, meskipun itu sering kali mereka lakukan, dulu.

"Udah?"

Perempuan itu mengangguk kemudian berdiri, pamitan ke tiga orang yang masih melongo melihat mereka, dengan ekspresi yang tentu aja beda. Jo dengan senyum bahagianya, Hera dengan binar cerahnya dan Lucas yang masih bengong, sedikit nggak terima kalo Jeno dan Jana beneran sepasang suami istri.

Tautan tangan yang dimulai dari Jeno membuat Jana menyenderkan kepalanya di bahu sang suami, keduanya memilih keluar dari resort melalui pintu samping, yang terhubung langsung dengan jalanan Bali yang ramai.

"Mau kemana sih?" Jeno nanya, sembari memperbaiki sarung bali yang tersampir di bahu istrinya.

"Pantai."

"Malam-malam gini?"

Jana ngangguk kecil, "Mau qtime, yang."

Sang suami tentu hanya bisa menurut, mereka masih bergandengan tangan, menikmati udara malam yang dibawa angin, merasakan ketenangan dan kedamaian yang udah lama nggak mampir di kehidupan rumah tangga mereka.

"Jen..."

"Hm?"

"I love you."

Jeno mengecup pelipis Jana, tanpa kalimat balasan pun, wanitanya pasti udah tau, seberapa besar Jeno mencintainya.

Pantai di Bali masih semenakjubkan kala matahari bersinar, bulan yang jadi pelita malam melaksanakan tugasnya dengan baik, pantulan cahayanya membuat air terlihat berkilau, beberapa orang memilih untuk duduk di tepi dan menyaksikan ombak berkejaran.

Pun dengan pasangan suami istri ini. Jana memilih untuk melabuhkan bokong di gazebo yang tersedia, Jeno menyusul di sampingnya.

"Dingin, Na?"

"Iya, makanya sini, peluk aku."

Kekehan Jeno terdengar sebelum merengkuh tubuh sang istri dalam dekapan hangat. Jana mengeratkan kaitan lengannya di leher Jeno, mengubur wajahnya diperpotongan bahu lelaki itu, menghirup dalam-dalam aroma parfum yang dipadu angin laut.

"Na ..."

"Ya?"

"Sorry?"

"Lagi?"

Jeno nggak menjawab, sibuk mengelus punggung istrinya yang sudah beringsut duduk di atas pahanya.

"Aku beneran minta maaf."

"Kalo gitu, aku juga minta maaf, untuk keegoisanku yang bikin kamu sakit hati."

"Impas, kan?"

Wanita agustus itu mengangguk, "Jangan kayak gitu lagi ya?"

"Iya."

"Lain kali, aku bakal nurut kamu kalo kamu jelasinnya baik-baik," kata Jana.

"Aku juga bakal izinin kamu ngelakuin apapun, tapi jangan lupa kalo aku ada."

Jana mengangguk, kedua tangannya merangkum wajah Jeno dan menatap matanya dalam-dalam, membuat sang lelaki melakukan hal sama.

Kening mereka menyatu, hembusan napas Jana terasa hangat di wajah Jeno, membuatnya tersenyum kecil sebelum menyatukan bilabial keduanya.

Ciuman itu tidak panas, lembut seperti kulit Jana yang disentuh Jeno, memabukkan seperti sensasi vodka yang sering ia teguk dan juga adiktif.

Rasanya seperti pulang. Kembali pada rumah yang hangat.

Tautan mereka terpisah, Jana tersenyum, Jeno ikut melengkungkan potongan serupa.

"Wanna do more?" bisiknya seduktif.

Jeno menyeringai, "Of course."

***

diversoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang