5. Cerita Mereka

478 76 3
                                    

"Nggak tau juga Kak Jo, tapi sejak perusahaan maju dan gue makin sibuk, hubungan kami merenggang, gue terlalu sering pulang malam dan Jeno juga nggak terlalu peduli, kita udah kayak orang asing yang berbagi rumah."

Jo mengangguk kecil, wanita di depannya emang terlihat serius dan meyakinkan di ruang meeting, atau saat bertemu rekan bisnis, tapi selebihnya, Jana hanya wanita biasa yang bisa rapuh.

Hatinya belum sekuat itu untuk nanggung beban ini.

"Mau tau pendapat gue atau cuma pengen didenger?"

Jana mengeratkan pelukannya diguling, "Coba, sarannya apa?"

"Masalah kalian sebenarnya terlalu klasik. Sebagai kepala rumah tangga dan juga suami, Jeno ngerasa nggak berguna ngeliat lo udah maju dan berlari kencang di depannya sementara dia masih terseok-seok di belakang ngejar kesuksesan lo."

"Tapi kak—"

"No, dengerin gue dulu," potong Jo cepat, "Jana, ego pria itu tinggi, apalagi kita yang dibesarkan dengan budaya patriarki yang sangat kuat, lelaki selalu menganggap dirinya superior, ngeliat lo jauh lebih sukses itu mengusik ego Jeno."

"Kak, gue nggak pernah bermaksud untuk bikin Jeno ngerasa kayak gitu."

"Emang enggak, Jana sayangku. Tapi, ngeliat pencapaian lo bikin Jeno merasa kecil."

Jana menunduk, menghindari kontak mata dengan Jo, dia pengen ngedebat pria itu, tapi apa yang Jo katakan emang sedikit banyak ada benarnya.

"Jana, laki-laki dibebani tanggung jawab superior secara fisik, psikis maupun finansial yang begitu banyak itu karena apa? Didikan lingkungan kita yang edukasi tentang kesetaraan gender masih kurang. Lo menganggap ini biasa-biasa aja, wajar kok wanita itu sukses, tapi Jeno nggak mikir gitu, Jana."

"Solusi yang kak Jo tawarkan apa?"

"Kalian harus duduk berdua, ngebahas masalah ini sampai selesai. Apapun yang ngeganjal di hati lo, ungkapin, jangan nyela omongan Jeno, setelah kalian tau uneg-uneg masing-masing, terserah mau gimana. Terusin rumah tangga kalian atau pisah aja."

"ENGGAKLAH. NGGAK MAU PISAH."

Jo manggut-manggut, "Yaudah, kalo gitu coba tanya Jeno, maunya apa? Maunya lo juga apa? Cari jalan keluarnya."

"Gampang amat?"

"Yang bikin susah itu gengsi."

Jana menggigit bibir, melirik kembali ponselnya yang diletakkan di meja nakas, jam fossil yang melingkar di tangan kirinya nunjukin angka tujuh waktu Jakarta, Jeno pasti belum tidur.

"Gimana?"

"Gue coba."

Jo berdiri, nggak lupa buat ngambil box pie susunya di meja, lelaki itu nyempatin diri buat ngelus rambut Jana sejenak.

"Jangan sedih-sedih ah, Yudhis pasti sedih di sana ngeliat lo kayak gini."

Jana memaksakan senyum. "Ini enggak sedih."

"Sebelum ngomong sama Jeno," lanjut Jo pelan, "Coba introspeksi diri dulu deh, Jan. Pikirin kesalahan lo, kesalahan Jeno dan apa yang sebenarnya apa yang lo cari dari hubungan kalian? Apa esensi pernikahan bagi kalian? Baru abis itu ngobrol pake kepala dingin."

"Iya Kak."

"Gue balik ya."

"Makasih Kak Jo, salamin ke Kak Chitra ya."

Jo hanya melambai malas, pintu kamar Jana tertutup pelan, penghuninya kini menenggelamkan kepala ke guling lembut yang sedari tadi ia peluk.

Udara di kamar semakin menurun, efek mendung yang menghiasi langit Bali sejak sore tadi, ditambah suhu pendingin ruangan yang terlalu rendah.

diversoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang