Mengulang kisah usang dan mewujudkan mimpi yang sempat pupus di tengah jalan, akankah bisa, Linggar?
Naraya AnantaNara memperhatikan kertas kusut di hadapan. Pikirannya jatuh mengawang ke lima tahun yang lalu. Di mana canda dan tawa masih setia menemani langkahnya.
Linggar Sukmajati. Sebuah nama yang terukir di sudut surat. Pertemuan dari sebuah kejadian unik menyeret mereka dalam hubungan cinta yang sebenarnya.
“Aku gak mau!” Nara mengentak kuat cekalan lelaki di hadapan.
Hingga ia terhuyung dan jatuh. Praduga mulusnya lantai yang akan mendera pantatnya, salah besar. Tangan kokoh melingkar di pinggang Nara. Sepasang mata hitam pekat itu menerjang jantungnya. Nara terdiam dan berdebar.
“Jangan kasar,” ujar Jati memperingatkan.
“Kamu gapapa, Sayang?” Jati bertanya.
Leon di hadapan melebarkan mata. “Dia siapa, Ra?”
Didera kebingungan, Nara hanya melirik sekilas dan mulai menguasai diri. Ia memiliki kesempatan untuk keluar dari hubungan toxic dengan adanya lelaki ini. Kesempatan bagus, pikir Nara pada akhirnya.
“Lelakiku. Kekasihku.” Mantap Nara berkata.
“Jangan bercanda!” gertak Leon
“Dia tidak bercanda. Saya kekasihnya. Saya ... Linggar Sukmajati.”
Dekapan lelaki bernama Linggar Sukmajati menarik Nara ke dalam alam mimpi. Ia merasai nyaman yang sebenar-benarnya. Nara bahkan hampir terbuai, tetapi urung tatkala Jati membawanya pergi ke luar kafe.
“Kau tak apa, Nona?” Jati bertanya sembari menatap Nara yang seperti tengah ketakutan.
“I"m fine.” Nara berkata sembari menatap Jati tanpa jeda.
“Nara,” ujarnya sembari mengulurkan tangan.
“Linggar Sukmajati. Panggil aku sesukamu.” Jati tersenyum kaku dan membalas cekalan Nara.
“Maaf, aku mendengar perdebatanmu dengan lelaki tadi. Kupikir tak sepantasnya lelaki bersikap dan berkata kasar pada wanita yang dikasihi. Sekali lagi maaf, aku hanya ingin menolongmu tak ada maksud macam-macam—”
“Kamu mau menjadi pacarku?” Nara bertanya tanpa malu.
Jati di hadapan hanya membeku. Sungguh, ia hanya muak tadinya mendengar bentakan lelaki arogan pada sang kekasih di meja seberang. Padahal, hari Minggu ini, Jati berniat merefresh otak dengan secangkir kopi dan meneruskan pekerjaan yang belum usai.
Desain rumah simple dengan tema Jawa masih setengah jadi. Akan tetapi, drama anak muda di hadapan membuat Jati kehilangan ide inti. Lelaki itu sebal meski tertarik melirik dan mendengarkan. Dari percakapan itu pula Jati menyimpulkan bahwa sang lelaki telah selingkuh dan berani bermain tangan. Tentu, si gadis tak mau melanjutkan hubungan.
Tibalah di puncak pertunjukkan dengan si lelaki yang mendorong gadis. Jati bangkit dengan cekatan mencekal tubuh ramping yang hendak terhuyung ke lantai. Kegesitan itu berujung debar.
Selama 25 tahun menjalani hidup, Jati tak pernah menghabiskan waktunya sia-sia untuk menjalin hubungan dengan wanita. Ia hanya ingin menjaga dan menjadikan jodohnya kelak sebagai ratu dengan cinta yang masih murni.
Melihat tatapan Nara, Jati terdiam. Ia hanya berusaha menolong dan meminta maaf. Kenapa jawaban Nara justru melenceng dari perkiraannya, apa-apaan ini?
“Maaf, Nona.”
“Jadi pacarku iya atau mau.” Nara kekeuh.
Menjalin hubungan dengan Leon, lelaki yang dijodohkan karena utang adalah neraka dunia. Nara merasa terkekang bahkan terkadang seperti hewan peliharaan. Leon tak ubahnya lelaki dominan, penuh pengekangan, cemburuan, dan suka kekerasan.
Apa saja yang bisa dibicarakan dengan baik-baik, selalu dibuat pelik. Leon tak segan menampar bahkan memukul. Pesta lamaran yang baru saja terjalin membuat ruang gerak Nara semakin dibatasi.
Rasa-rasanya wanita itu hendak depresi dan ingin melarikan diri. Bukannya mendengar keluhan, sang keluarga justru semakin menyuruh Nara menerima. Tak ditampik, orang tua Nara memang gelap mata atas kekayaan yang Leon berikan.
Nara sulit bernapas. Baru jadi tunangan saja, Leon sudah mulai berani menyentuhnya. Saat Nara mulai menolak, Leon tak segan mencubit, menggigit, dan segala kekerasan lain.
Lelaki di hadapannya yang Nara impikan sebagai malaikat penolong. Hingga, Nara menanggalkan malu. Ia sudah cukup gila selama ini disiksa oleh Leon. Kali ini, Nara berharap bisa keluar dengan menjadi kekasih Linggar Sukmajati.
“Nona, kau ada-ada saja,” ujar Jati pada akhirnya.
Meski menarik, Jati tak mungkin mengiyakan ajakan Nara. Sungguh gila jika Jati menerima. Sekilas, Nara memang cantik, tetapi Jati butuh alasan untuk menerima keberanian wanita itu menjadikannya kekasih.
“Kau sudah punya kekasih?” Nara bertanya.
Jati menggeleng. Ia sudah cukup disibukkan dengan studi dan pekerjaan. Rasa-rasanya memiliki kekasih merupakan beban pikiran. Ya Walaupun beberapa wanita pernah terang-terangan menunjukkan suka, Jati memilih menjaga jarak. Ia ingin fokus dan memperbaiki diri.
“Tolong jadi kekasihku, maka aku keluar dari Neraka. Beri aku nomor ponselmu, kapan-kapan kita bertemu lagi.”
Nara pergi dengan ketakutan karena papanya menelepon waktu itu. Namun, janji dengan Jati terlaksana juga. Nara menceritakan segala latar belakang masalahnya.
Jati tersentuh, tumbuh iba. Lambat laun komunikasi yang terjalin memupuk rasa. Jati tak lagi sekadar iba. Lelaki itu murni tertarik dan mulai menerima Nara sebagai kekasih pertama, dan terakhir, begitu janjinya.
Tiga bulan waktu peresmian hubungan, Jati sempat meminang Nara. Orang tua Nara mengekang. Leon tetap terpilih sebagai calon suami.
“Kita udahan, ya.” Jati berujar lirih.
Ia memutuskan mengakhiri semua. Pikirannya tak lagi jernih. Selaksa beban tiba-tiba menimpanya tanpa ampunan. Jati lelah, dan mulai menyerah.
“Linggar.” Wanita dua puluh tiga tahun itu menatap sang kekasih dengan luka.
“Nara ... aku mencintaimu. Kau tahu itu. Tapi, restunya gak ada. Aku gak mungkin ngelawan. Juga ... sekarang aku dihadapkan masalah rumit.”
Nara menggeleng. “Kamu mau ninggalin aku? Kamu gak kasihan sama aku? Kalau aku nikah sama Leon bisa-bisa sehari saja aku udah mati, Linggar.”
“Leon dan aku udah sepakat gak bakal nikahin kamu.”
Jati mengingat pertemuan dengan lelaki anak orang kaya itu tempo hari. Di atas kertas putih dan materai sepuluh ribuan mereka tanda tangan dengan kesepakatan mutlak. Jati maupun Leon tak ada yang menikahi Naraya Ananta. Pun, diam-diam Jati telah memberikan sejumlah uang untuh melunasi utang. Leon menerima dan seperti biasa saja.
“Linggar ....”
“Menikahlah dengan lelaki yang baik. Itu bukan aku. A—aku lemah.” Jati tak mampu berkata apa-apa, ia memang didera masalah besar dan tak mampu mengungkapkannya.
Dan sekarang, ia justru mengungkapkan hal menyakitkan di hadapan Nara, cinta pertamanya. Kaca-kaca di mata Nara mulai muncul. Jati terdiam kelu.
“Aku akan menikah.”
Pengakuan itu tak bisa Nara cerna. Ia suka dengan kejutan Jati. Tetapi, tidak untuk kali ini. Ia membenci. Bagaimana bisa Jati menikahi wanita lain sedangkan mereka saling mencintai.
“Mama!”
Nara tersentak. Lamunannya terputus. Di hadapan gadis cilik berumur empat tahun itu tersenyum manis.
“Lira? Kenapa?”
“Kenapa nama Lira, Lira Sukmawati?”
Nara tersenyum dikecupnya puncak kepala Lira lembut. Nara terdiam, jika dengan Lira, apa Jati bisa kembali padanya?
Mengulang kisah usang, meniti mimpi yang sempat pupus di tengah jalan, bisakah? Nara bertanya dalam hati, tetapi teka-teki wanita di rumah Jati menariknya ke pemikiran liar. Apa Jati telah memiliki istri lagi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Husband (Completed)
RomantizmRala Renjani, gadis matang berusia 25 tahun yang hendak menikahi kekasihnya harus menerima permainan takdir. Bagaimana tidak? Dua minggu acara pernikahan akan diadakan, tetapi luka datang bertandang. Calon suami yang diagungkan ketahuan bermain ranj...