33. Masih Peduli?

3.2K 339 56
                                    

Please, don't be a silent reader.

Happy reading .....

Kamu bisa menyembunyikan rasa sakitmu,
tapi tidak dengan rasa pedulimu.

— NOT YOU // BROTHERSHIP —

.


.



.


.




Tidak ada yang baik-baik saja setelah kejadian itu. Sikap Angkasa yang terasa semakin dingin. Skala yang selalu gagal mendekatinya. Pun dengan Diki dan Dita yang hanya membiarkan. Katanya, biarlah Angkasa menyembuhkan luka hatinya dahulu.

Sudah pasti yang paling merasa tersiksa di sini ialah Skala. Kendati ia masih mempunyai semangat seperti dulu saat baru pertama kali mendekati adiknya yang selalu bersikap ketus padanya, namun kali ini terasa berbeda.

Angkasa tidak melontarkan kata-kata tajamnya lagi padanya. Melainkan, adiknya itu hanya akan diam saja saat ia ajak bicara. Tak jarang, Angkasa juga sering meninggalkannya.

Sekarang, meskipun Skala mencoba mengajak Angkasa berbicara sampai berbusa pun, Angkasa tetap tidak akan menggubrisnya, dan hal itu pun membuat Skala begitu tersiksa.

Sudah berbagai macam cara ia lakukan, namun tetap tidak ada hasilnya. Angkasa masih bersikap dingin padanya, bahkan kelewat dingin. Senyum di wajahnya juga telah menghilang, berganti menjadi wajah datar yang setiap hari Angkasa perlihatkan.

Bahkan pagi ini, Skala sudah tak menemukan adiknya itu di meja makan. Padahal Skala sangat ingin sekali melihat wajah itu lebih lama. Karena akhir-akhir ini Angkasa seperti menghindari dirinya.

“Ma, Angkasa mana? Belum bangun? Papa juga ke mana?” tanya Skala bertubi-tubi sambil mendudukkan dirinya di kursi yang berhadapan langsung dengan Dita.

“Kamu kalau tanya satu-satu dong. Mama jadi bingung mau jawab yang mana dulu,” keluhnya.

Skala menyengir lebar, dan Dita kembali berkata, “Angkasa udah berangkat barusan. Papa kamu juga.”

Terlihat dengan jelas kalau Skala jadi terlihat tak bersemangat setelah mendengar perkataannya. Bagaimana pun, Dita sedikit banyaknya juga mengerti akan perasaan Skala. Ia pasti kembali merasa kesepian karena akhir-akhir ini Angkasa terlihat lebih menyibukkan diri.

Putra bungsunya itu akan berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali, dan pulang pun juga sudah malam. Sebagai seorang ibu, Dita tentu tak tenang saat melihat Angkasa lebih banyak menghabiskan waktunya di luar.

Namun setelah tahu jika Angkasa setiap harinya hanya bermain di rumah kedua sahabatnya, sedikit banyaknya Dita jadi merasa lega. Ia jadi membiarkan saja. Karena ia tahu, Angkasa pasti butuh waktu untuk menenangkan diri sendiri.

“Ma, apa Angkasa benci sama aku ya?” tanya Skala tiba-tiba yang langsung menghentikan pergerakan Dita yang tengah menuangkan segelas air putih untuk Skala.

“Kamu kok bisa mikir kaya gitu? Mama yakin, nggak ada sedikit pun rasa benci di diri Angkasa untuk kamu.”

“Tapi Angkasa nggak mau lagi Skala ajak ngobrol,” ucap Skala.

Dita menghela napas, menatap sendu ke arah Skala. “Maafin sikap Angkasa ya, jujur Mama juga nggak tahu harus gimana lagi. Tapi Mama percaya, walau sikap adik kamu berubah, tapi hatinya masih sama. Angkasa sekarang hanya butuh waktu untuk mengikhlaskan semuanya.”

NOT YOU || BROTHERSHIPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang