05. Mungkin kah?

4.1K 445 25
                                    

Happy reading ....

Aku berharap hadirnya dirimu, namun
yang terlihat justru orang lain.

— Angkasa Calterion Bramanta —

.


.


.


.




“Kamu yakin mau kembali ke sekolah?”

Angkasa mengangguk ragu. “Angkasa bosen kalau di rumah terus.”

“Tapi Mama lebih setuju kalau kamu home schooling aja,” ucap Dita.

Makan malam ini dirasa agak berat, karena pembahasan tentang Angkasa yang mau kembali ke sekolah. Karena pendapat Angkasa dan Dita sangat bertentangan.

Sedang, Skala dan sang ayah hanya menyimak pembicaraan itu sejak tadi. Bagi Dika keputusan itu ia serahkan sepenuhnya pada Angkasa. Ia tak ingin memaksa.

“Secara nggak langsung Mama mau kurung aku, gitu?” jawab Angkasa tak terima.

“Enggak bukan gitu, sayang. Kamu ‘kan masih dalam masa pemulihan. Mama takutnya kamu kelelahan nanti.”

Sebenarnya bukan hanya itu saja, tapi Dita lebih menghawatirkan bagaimana putranya itu nanti di sekolah setelah hampir satu tahun Angkasa absen. Juga, pasti akan ada banyak perubahan di sana.

Apalagi, teman-teman Angkasa sudah lulus dan sekarang satu kampus dengan Skala. Sedang, kalau Angkasa kembali bersekolah, jadinya anaknya itu sudah pasti akan satu kelas dengan adik kelasnya dulu.

“Ma, aku udah sembuh. Kenapa Mama jadi over gini, sih?”

“Mama Cuma, nggak tenang aja kalau ngelepas kamu sendiri. Apalagi teman-teman kamu juga udah nggak ada di sana. Dan lagi Mama tahu, kamu tuh orangnya susah diajak berteman.”

Angkasa terdiam. Semua yang dibilang mamanya itu benar. Ia tak bisa menyangkalnya. Ia kembali menatap Dita yang sedang menuangkan air putih ke dalam gelasnya.

“Tapi aku lebih nggak tahan kalau terus-terusan ada di rumah.”

Dita hendak menjawab lagi, namun tertahan kala suaminya sudah lebih dulu berbicara. “Nggak papa, Ma. Biarin aja Angkasa kembali sekolah.”

“Lho, Papa kok belain Angkasa?”

“Bukannya belain, tapi ngebiarin Angkasa home scooling itu juga bukan solusi yang tepat. Papa yakin, Angkasa bisa menjaga dirinya sendiri ketika di luar,” kata Diki sambil menatap istrinya dan Angkasa secara bergantian.

Kalimat yang Diki suarakan tentu membuat Dita sedikit tak terima. “Terus maksud Papa, Solusi yang tepat itu dengan mengizinkan Angkasa kembali ke sekolah, gitu?”

“Papa rasa ini juga demi kebaikan Angkasa.”

“Pa— ”

“Papa benar, Ma. Angkasa pasti nggak betah kalau terus-terusan di rumah. Skala setuju sama Papa,” potong Skala cepat sebelum Dita kembali bersuara.

Dita menghela napas. Tiga lawan satu, sudah sangat jelas kalau ia tak akan menang di sini. “Yaudah, Mama izinin. Tapi kalau kamu capek jangan dipaksa. Kamu harus ingat, kondisi kamu itu belum fit seratus persen.”

Cowok itu melebarkan senyumannya. “Makasih Ma.” Dita mengangguk dan membalas senyuman Angkasa. Lalu, Angkasa mengalihkan pandangannya pada ayah sambungnya. “Makasih juga—Papa.”

NOT YOU || BROTHERSHIPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang