Eva hanya duduk dengan gelisah, merasa begitu kerdil dan ingin kabur segera dari tempat mewah yang membuatnya begitu terintimidasi apalagi bersandingan dengan pangeran dan putri, calon raja ratu Auxaria di masa depan.
Siapa memang dirinya duduk berdampingan dengan mereka? Dia hanya rakyat jelata yang dianggap seperti debu.
Gadis itu merasakan jantungnya berdebar kencang saat diajak bergabung dalam jamuan teh bersama Pangeran Earl dan Princess Blaire.
Blaire dengan senyum tipisnya yang menawan menyajikan teh dari teko porselen berukiran rumit. Uap teh yang mengepul perlahan membawa aroma harum namun samar-samar tercium bau rempah-rempah yang asing.
Di atas meja tersaji berbagai macam kue-kue kecil yang tampak lezat. Ada kue-kue kering berbentuk bunga yang berwarna-warni. Ada juga tart buah yang mengkilap dengan hiasan buah-buahan segar.
Pangeran Earl dengan tatapan dinginnya dan selalu tenang mengamati Eva.
Terus saja kepala Eva tertunduk. Tapi, otaknya terus menyuruh dia untuk mengatakan sepatah kata demi menghargai ajakan ini dan bisa secepatnya kabur. Rasanya jarum jam bergerak begitu lama.
"T-terima kasih atas ajakannya. Sebuah kehormatan bisa bergabung dengan Pangeran dan Putri," ucap Eva dengan suara gemetar dalam sekali helaan napas, matanya tak berani menatap langsung ke arah Pangeran Earl dan Blaire.
Ia merasa seperti seekor semut kecil yang tersesat di istana gajah. Setiap hela napasnya terasa berat, seolah udara di ruangan itu semakin menipis.
Blaire tersenyum anggun, "Tidak perlu tegang, Eva. Silakan nikmati tehnya," nasihatnya.
Masih menunduk saat merasa tatapan dingin yang menusuk kulit akhirnya membuat otak Eva menyuruh agar cepat keluar dari tempat ini.
Eva meraih cangkir tehnya dengan tangan gemetar hebat. Uap panas membumbung tinggi mengaburkan pandangannya sejenak. Ia menyesap sedikit demi sedikit, berharap bisa menemukan rasa yang menenangkan. Namun, yang dia rasakan hanyalah rasa panas yang membakar lidah.
Sial!
Karena masih buru-buru untuk menyelesaikan jamuan teh ini, Eva dengan berani menyesap satu cangkir teh yang begitu panas membuatnya terbatuk-batuk hebat.
"Kau tidak apa-apa, Eva?"
Mata dan wajahnya memerah menahan panas, tapi Eva harus punya alasan untuk kabur segera.
"Tidak apa-apa, Tuan Putri. Terima kasih telah menanyakan," kata Eva sopan masih dengan kepala tertunduk. Harusnya dia punya keberanian untuk pamit, alih-alih terdiam seperti patung.
"Minumlah air ini, Eva. Bisa membuatmu lebih tenang." Blaire menyodorkan segelas air putih membuat Eva mengangkat kepalanya dan mendapatkan sepasang mata hijau tenang itu menatapnya di balik cangkir yang berada di wajahnya.
Karena buru-buru masih dengan tangan gemetar, air itu malah tumpah di pahanya membuat Eva kian kelabakan. Blaire tanpa sadar tertawa anggun, kenapa gadis itu terus saja ceroboh?
"M-maafkan saya, Yang Mulia," ucap Eva terbata-bata sambil mencoba mengeringkan air yang tumpah walau itu percuma.
Pangeran Earl terus saja terdiam dan menikmati sajian di depannya.
"Tenanglah, Eva. Tidak perlu terburu-buru." Blaire memberitahu karena gadis di depannya terlihat begitu ketakutan seperti melihat hantu.
"Jadi, menurutmu apa yang paling kau sukai dari istana ini?" tanya Blaire membuka percakapan.
Eva mengangkat kepalanya menatap sang putri dan juga pangeran bergantian.
"S-saya masih baru di sini, Tuan Putri. Belum terlalu mengeksplor. S-saya akan memberi tahu ketika menemukan tempat yang menjadi favorit saya," janji Eva dengan degupan jantung yang bertalu-talu karena masih gugup.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROYAL PRINCE AND HIS INNOCENT MAID
RomanceKehadiran Eva Mariette meluluhlantakkan kesempurnaan seorang Earl DeMorant, sang putra mahkota. Earl yang serius, Earl yang tenang tapi berbahaya, Earl yang hidup dalam kesempurnaan diusik oleh kehadiran seorang pembantu polos nan lugu. Eva yang c...