Panggih

45.9K 1.3K 67
                                        

AIZA

Ijab kabul semalam sudah dilaksanakan tanpa halangan. Rahma dan Fajar juga sudah sah menjadi suami istri secara agama dan catatan sipil. Aku dan Adam saat ini mengikuti instruktor sang pengantin untuk ikut andil bagian dalam beberapa ritual karena bagi keluargaku kami juga termasuk yang butuh upacara doa. Meski yang menjalani utamanya Rahma dan Fajar. Prosesi plangkahan tidak perlu dijalani karena secara teknis aku sudah menikah sebelum adikku.

Mengiringi sesi upacara panggih, Rahma terlihat sangat cantik dan membuat pangling karena riasannya yang bagus. Fajar juga sangat gagah mendampinginya menjadikan semuanya berjalan lancar. Nia juga cantik berpasangan dengan Sony menjadi pembawa kembar mayang

Yang selanjutnya kedua simbol benda yang berupa rangkaian bentuk daun janur kelapa, bunga, buah dan batang pisang itu akan ditukarkan sebagai bersatunya cipta, rasa dan karsa demi kebahagiaan dan keselamatan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yang selanjutnya kedua simbol benda yang berupa rangkaian bentuk daun janur kelapa, bunga, buah dan batang pisang itu akan ditukarkan sebagai bersatunya cipta, rasa dan karsa demi kebahagiaan dan keselamatan.

Lempar sirih, menginjak telur dan serangkaian adat lainnya disambut hikmat para tamu undangan dan kedua belah keluarga.

Aku ikut bahagia saat mengiringi sepasang raja dan ratu sehari yang memimpin di depan disatukan kain sindur menuju pelaminan. Iri, sudah pasti. Tapi melihat keadaanku saat ini, tidak mungkin hal ini bisa kualami. Dengan calon suamiku yang sebenarnya nanti. Apalagi dengan Adam. Mana mungkin? Mungkin tidak akan pernah.

"Haaah." Aku mendesah pelan saat akhirnya pantatku yang terbalut jarik panjang singset motif sidomukti mendarat di kursi yang paling depan dari para tamu. Bersama Adam di sampingku dan mbak-mbakku.

Aneh juga kalau ada dua pengantin di atas pelaminan. Dan aku juga nggak minta. Sesuai rencana awal saja. Lagipula bisa mati gaya aku makin nggak nyaman sama Adam. Yang nggak perlu ikut ribet.

"Anak-anak gadise Bu Sari ayu-ayu yo. Dua sekaligus mantunya. Rejeki nomplok yo, Bu Painem."

"He'eh, Bu Yati. Ngganteng pisan. Itu... siapa namanya? Yang dari kota Jakarta itu...?"

"Mas sopo ya... sopo, Bu Tukini?"

"Embuh."

"Heh! Yu Tukini ki jian tenan."

"Mas-mas sing ngganteng mirip artis Korea. Sipit kae 'kan?"

"Adam. Iyo. Mas Adam."

"He'eh, bener, Bu Painem. Ning ndi ya, Yu Tukini?"

"Yo embuh."

Aku makin mati gaya mendengar obrolan ibu-ibu tetangga kampung sebelah yang duduk di baris belakangku. Astaga, beginilah di desa, gosip akan lebih cepat tersebar. Omongan orang lain sangat berpengaruh. Jadi pengen cepat-cepat balik ke kota, deh.

Dan yang paling ngeselin, Eyang bahkan ngotot datang langsung dari rumah sakit dengan kursi rodanya. Eyang dari pihak ayahku satu-satunya yang masih hidup ini yang paling gigih menyuruhku cepat nikah. Yang buat aku nggak bisa kompromi lagi untuk mengundur tanggal atau menunda pernikahanku dan Adam. Maksudku pernikahan pura-pura ya. Eyang yang mantan tentara wanita pejuang kemerdekaan sangat gigih dan melakukan apa pun agar Bapak cepat-cepat menikahkanku. Huh.

Nikah Tender [HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang