Lukisan yang disinari Sang Surya

1 2 0
                                    

Hi^♡^
Apa kabar?
Gimana harinya?

***

"Huft akhirnya...." Jae lega. Akhirnya mereka bisa kembali ke asrama 'tercinta' setelah seharian duduk mendengar lontaran kata yang berloncatan dari mulut para petinggi sekolah, kemudian berkenalan dengan para kambing dilanjutkan dengan berkeliling melihat setiap sudut habitat baru mereka, dilanjutkan lagi dengan memasang rungu untuk mendengar untaian kata-kata dari Ustad Gantengㅡkata Brian.

"Hilih...dahal duduk doang lo!" Cibir Brian. "Hey you! Lo nggak liat sih apa yang gue lakuin!"

"Liat kok!" Sahut Dowoon. "Lo jadi budak senior, heheheh!" Tawa pun meledak diantara mereka. Jae menatap kesal ke arah kawanan manusia kurang otak itu. Jikalau dinalar lagi, memang benar apa yang diucapkan oleh Dowoon. Para kambing itu menyalahgunakan posisi senior mereka.

Sekarang waktu menunjukkan pukul 17.00
Jam lima sore.

"Nah kalian semua mandi dulu gih, pada bau matahari. Bentar lagi siap-siap buat ke mushalla."
Tak perlu dijelaskan, kalian sudah tahu itu siapa.

"Yoi pak ustad!" Seru mereka serempak.

Semburat warna jingga yang berasal dari Sang Surya yang ingin pergi melihat belahan dunia lain mulai menyinari lukisan milik Hamada Asahi. Bertepatan dengan hal itu, sebuah teriakan yang amat sangat pilu menyentuh rungu semua penghuni asrama.

Tidak. Lebih tepatnya itu tangisan.

Beberapa dari mereka saling melempar pandangan serta pertanyaan, lewat batin.

"Siapa tuch yang teriak?" Tanya Dowoon dengan nada yang terdengar meledek. Niat pemuda rada-rada ini hanya untuk mencairkan suasana. Bagai patung di taman nasional, mereka terdiam.

"Run bitch!" Seru Jae. Anak yang mendapat predikat sebagai manusia tertinggi di asrama sudah lari ke luar. Semuanya mengikuti Jae keluar dari asrama.

"Oh my gosh, I'm fucking scared. Ini asrama kok ngeri banget ya?" Jae tak habis pikir dengan rumah asrama yang satu ini. Kran air yang tiba-tiba hidup dan mati sendiri, lukisan-lukisan yang mengerikan masih terpajang tanpa ada tindakan lanjutan. Jika memang ingin menghargai anak yang bernama Hamada Asahi itu, mengapa tidak diletakkan saja di ruangan kepala sekolah?  Mengapa harus di dalam asrama ini?

"Gila. Gue emang pengen punya kisah menantang supaya ni idup kagak monoton amat, tapi nggak gini juga ya njeng!" Seru Brian. Anak itu marah-marah pada asrama yang tak tahu apa. Ia hanya menyimpan rahasia dan tak bisa mengungkapkannya. Asrama itu hanya bisa menunggu seseorang atau sekelompok manusia untuk mengungkit semuanya. Sungjin mengusap bahu Brian untuk tidak terus-terusan mengucapkan sumpah serapah yang sudah ia pelajari selama ini. Jangan tanya dengan keadaan Dowoon dan Wonpil, mereka berdua sedang berpelukan.

"Heh! Kalian ngapain itu? Kok nggak siap-siap ke mushalla? Mana itu yang masih pake singlet, heh! Mana bajumu?" Teriak Ustad Younghoon pada mereka. Ya itu Jae yang masih memakai singlet. Anak itu sedang mencari baju beberapa menit sebelum tangisan menyeramkan itu muncul dan menyentuh rungunya. Saat tangisan mulai terdengar, ia langsung turun ke lantai bawah dan melupakan misinya untuk mencari baju. Begitu juga dengan keempat temannya, mereka keluar dari kamar setelah mendengar tangisan itu.

Ustad Younghoon ikut menatap asrama sembari berjalan ke arah Wonpil dan Dowoon yang tengah berpelukan. Beliau menepuk pundak Wonpil, "Ada apa?" Lima sekawan itu saling berpandangan. "Gini ustad, tadi...eum...ada yang nangis. Suaranya kayak cewek...asalnya itu dari lantai dua ustad. Makanya kami lari ke luar, sampe-sampe Jae lari nggak pake baju. Sebelumnya, kami udah ngalamin kejadian horor juga ustad. Kami, eh maksudnya saya udah bilangin sama Ustad Yoshi, cuma beliau bilang kami cuma kelelahan..." Ustad Younghoon mengangguk paham dengan penuturan dari Wonpil barusan. Ia menutup matanya sejenak, kemudian membukanya lagi. "Asrama ini baru dibuka setelah 9 tahun ditutup, itu yang saya dengar. Saya bukan alumni sini, akan tetapi mendengar cerita kalian..." Younghoon melihat tampak depan asrama ini dengan seksama. "Kayaknya ada yang aneh. Ntar saya sama Yoshi bakalan ke asrama kalian. Jangan lupa hapalin ayat kursi. Trus..." Younghoon melirik kelima anak itu, "Kelakuan jangan kayak setan. Ntar setannya makin nempel soalnya mereka kira kalian temen."
Setelah memberikan siraman rohani singkat, Younghoon melangkah pergi.

Melihat kepergian Ustad Gantengㅡkata Brian, Jae berlari menyusulnya. "Maaf ustad, tapi saya boleh minta satu hal nggak sama njenengan?"

*njenengan=anda

"Iya boleh. Ada apa?" Ustad Younghoon menampilkan senyuman khasnya yang membuat para pembaca salting jikalau membayangkannya. "Temenin saya ngambil baju di kamar ya ustad. Saya mohon ustad...kami semua pada nggak berani..." Jae memelas agar Younghoon mau menemaninya masuk ke asrama. Younghoon menghela napas panjang, "Cepet ya. Kalo lelet saya kurung."
"Siap kyai!"

Sedangkan Brian, Wonpil, Dowoon dan Sungjin menunggu di luar. Cukup ustad dan Jae saja yang masuk. Mereka masih ketakutan, yah meskipun yang paling takut tiga orang yang berdiri di belakang dan di samping Sungjin, Wonpil dan Dowoon, serta Brian di sampingnya.

Azan maghrib sudah berkumandang dari speaker mushalla.

Younghoon beserta lima sekawan berjalan beriringan menuju mushalla. Otaknya terus berpikir tentang kejadian yang diceritakan oleh lima sekawan, antara percaya atau tidak. Bisa jadi saja memang ada manusia yang iseng dan mengganggu ketenangan para penghuni asrama atau memang makhluk halus yang dipanggil hantu itu nyata adanya. Intinya, yang harus ia lakukan nanti adalah menyelidiki tempat ini bersama Yoshi.

Sepulang shalat maghrib, tak ada satupun diantara mereka berlima yang berani masuk ke dalam asrama. Mereka hanya berdiri mematung di depan rumah tersebut.
Hal ini mengundang beberapa siswa dengan tingkat penasaran yang hampir menyentuh langit, berjalan ke arah mereka.

"Kok kalian nggak masuk? Bentar lagi isya lho."
Jae dan kawan-kawan saling melempar pandang. Salah seorang anak yang datang melihat mereka berlima,  maju dan menatap asrama. Kemudian ia membalikkan badannya, "Kalian anak asrama sini? Kuat juga ya iman kalian."
"Ke-kenapa?"
"Dari yang gue denger...asrama ini ditutup gara-gara ada anak yang bunuh diri. Sebabnya sih gue nggak tahu, yang gue denger dia gantung diri. Asrama ini...kata kakak gue...ini asrama punya anak itu. Setelah 9 tahun..." Anak itu menjeda kalimatnya dan melirik ke asrama sejenak. "Asrama ini dibuka dengan tujuan mengenang Hamada Asahi."
"Gue nggak tahu ini bener apa nggak...soalnya kalo secara nalar kan...nggak mungkin ada orang yang mati rohnya masih berkeliaran di dunia manusia." Anak itu kemudian menepuk bahu Jae, "Masuk aja dulu. Bentar lagi isya. Makan malam aja dulu...mana tahu itu semua cuma kelakuan orang iseng, hehe."

Anak itu pergi. Disusul dengan siswa-siswa yang sejak jadi berkerubung di sekitar Jae dan kawan-kawan.

"Heh anjing! Lo kan yang isengin kita?" Brian mulai emosi. Menurutnya setiap kata-kata yang berloncatan dari mulut anak itu benar-benar mencurigakan. "Jangan asal tuduh lo ya." Desis anak itu tanpa menolehkan kepalanya menghadap Brian.

"Sus banget." Lirih Jae sembari menyikut lengan Brian. "Okay, jadi kita diluar aja sampe isya?" Tanya Jae pada keempat temannya. "Boleh juga, tapi kalian nggak laper? Ntar malemnya kita mau dimana?" Semuanya saling melempar pandangan setelah Wonpil mengajukan pertanyaan.
"Kita diluar saja. Itu lebih baik. Atau kita nunggu di mesjid. Makannya nanti aja...gimana?" Usul Sungjin. "Turu nya dimana?"
"Di kubur."
"Lo nyuruh gue mati sat?"

Dan terjadi lagi. Gelut antara Jae dan Brian.

Danar, Pejuang Matahari di Kala SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang