Mengapa?

92 15 0
                                    

Ara mengerutkan keningnya tak mengerti maksud ucapan Nia, Nia kembali merebahkan tubuhnya seperti semula tak perduli dengan Ara yang masih terlihat bingung.

Nia

Malam ini aku tak ingin pulang, biarlah lebih baik aku tidur disini, tidur sekamar dengan Ara cewek yang selalu berdebat denganku bahkan untuk hal sepele sekalipun. Aku menarik nafas panjang dan membuangnya kasar.

"Udah malam, aku mo tidur... "

"Tidur aja... "

Jawabku acuh, jangankan menoleh pada Ara membuka mataku pun tidak.

"Trus kenapa kamu masih disini... "

Aku diam tak menjawab pertanyaannya.

"Niaaa, aku ngomong sama kamu wei...!"

Aku berdehem lalu membuka mata dan duduk disisi tempat tidur, ku alihkan pandanganku padanya.

"Gue malam ini tidur disini... "

Ara mengerutkan keningnya.

"Kamu nggak lagi ngigau kan...!?"

Aku mengangkat bahuku sebagai jawaban.

"Kenapa...!?"

"Terserah gue lah mo tidur dimana...minggir gue mo tidur...! "

Aku beranjak menghampiri Ara dan menarik bantal dipangkuan Ara lalu merebahkan tubuhku disampingnya yang masih duduk diatas tempat tidur dengan bersandar pada tembok.

"Ya Tuhan...mimpi apa aku...!"

Ara berdecak kesal dan menyibak selimut yang menutupi kedua kakinya dan dengan cepat ia turun dari tempat tidur berjalan menuju pintu kamar.

"Eh, mo kemana lo... "

Ara menghentikan tangannya yang hendak menarik gagang pintu dan menoleh padaku.

"Mo tidur sama Bunda..."

Ara keluar kamarnya dengan menutup pintu sedikit keras, ia terlihat kesal. Aku tersenyum dengan sikapnya. Meski kami sering berdebat atau bertengkar bahasa kasarnya tapi jujur kadang kala itu membuatku bisa tersenyum. Aku menghela nafas mataku tertuju kemeja belajar disisi ruangan. Aku berdiri menghampiri meja itu, diatas meja

Sebuah frame foto menarik perhatianku. 1 frame foto berukuran besar seperti foster berisi banyak foto-foto polaroid. Semua foto Ara dan ibunya, mulai dari Ara masih bayi hingga dewasa. Ada yang kurang dari foto-foto itu, aku tidak melihat sosok lelaki difoto-foto itu. Aku teringat ucapan Opa, kalau Ara anak Yatim semenjak masih dalam kandungan ibunya. Sebuah kecelakaan telah merenggung Ayahnya.

Tapi masa iya tidak ada foto Ayahnya, paling tidak bersama ibunya. Tak ingin banyak berfikir tentang Ayahnya Ara, aku duduk di kursi didepan meja. Tumpukan buku-buku diatas meja mengisyaratkan kalau Ara gemar membaca. Bertolak belakang denganku yang sangat malas membaca buku. Aku beranjak bangkit setelah beberapa saat melihat-lihat buku apa saja yang Ara baca. Tampa sengaja tanganku menyenggol sebuah gelas plastik yang berisi alat-alat tulis.

Tak hayal gelas jatuh ke lantai dan isinya berhamburan. Dengan sedikit malas aku berjongkok dan memungut alat-alat tulis milik Ara dan memasukkannya kembali ke tempatnya. Saat aku meraih sebuah pena yang berbeda dari yang lainnya, karna bentuknya lebih pendek dan bagian penutupnya berbentuk kepala boneka. Tiba-tiba kepalaku terasa pusing dan pandangan mataku menjadi berkunang-kunang. Kamar yang tadinya terang kini berubah menjadi remang-remang.

Kupejamkan mataku menahan rasa sakitnya, dan dalam hitungan detik dikepalaku tiba-tiba muncul bayang-bayang aneh yang datang silih berganti. Aku tidak bisa melihat dengan jelas sosok yang terlintas dalam benakku, semua hanya berupa bayang-bayang. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku, kupukul pukul kepalaku dengan kedua tanganku mehan rasa sakitnya dan agar bayang-bayang yang melintas dikepalaku menghilang.

"Niaaa....!"

Aku tersentak kaget saat aku merasakan sentuhan seseorang dikedua pundakku. Ku buka mata.

"Aaara...!"

Tepat dihadapanku Ara duduk berjongkok sambil mengguncang tubuhku yang terduduk lemas di lantai.

"Kamu kenapa Nia, kamu sakit...?"

Nada suara Ara lebih lembut dari biasanya, dan raut wajahnya terlihat khawatir.

"Aku panggilin Bunda yah... "

Dengan cepat aku mencengkram lengan Ara yang hendak pergi. Aku menatapnya dan menggelengkan kepala. Seakan mengerti maksudku Ara mengangguk dan membantuku berdiri. Ia mendekap pundakku dan membimbingku duduk disisi tempat tidur.

Segelas air putih yang ia ambil dari meja kecil disamping tempat tidur disodorkan nya padaku. Tampa ragu aku meraihnya dan dalam satu tegukan kuhabiskan tampa tersisa. Setelah meletakkan gelas, Ara kembali duduk disampingku. Ia menatapku penuh tanya.

"Kamu serius mo tidur disini, atau aku anter kamu pulang yah... "

Aku menggeleng, tanda tak ingin pulang. Ara hanya menghela nafas.

"Ok, tidurlah...! "

Ara mengisyaratkan aku untuk berbaring, kuikuti maksudnya. Ia meraih selimut dan menutupi tubuhku yang terbaring. Ara memungut alat-alat tulis yang masih berserakan dilantai karna ulahku. Tak lama ia pun sudah ikut berbaring disampingku. Sesaat ia menatapku dan tersenyum tipis, dan tampa sadar aku membalasnya.

"Tadi Opa kamu telfon Bunda... "

Mendengar ucapan Ara aku merubah posisi tidurku yang tadi menghadap langit-langit kini menghadapnya.

"Opa bilang apa...?"

"Cuma nanya kamu, ada disini apa nggak... "

"Trus... "

"Yaaah kata Bunda ada, dan Bunda bilang kamu tidur disini... "

Sesaat suasana menjadi hening, aku dan Ara sama-sama hanyut dalam fikiran masing-masing. Entah sudah berapa lama kami terdiam.

Saat aku merasa sesuatu yang hangat menyentuh kulit wajahku aku menggeliat. Perlahan namun pasti ku buka mata, sinar pagi yang hangat telah membangunkanku. Untuk kedua kalinya aku menggeliat dan kutoleh disampingku  Ara sudah tidak ada. Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul 9 pagi.

Dengan cepat aku bangun dan merapihkan tempat tidur. Menginap dirumah orang dan bangun kesiangan membuatku merasa tidak enak hati. Aku bergegas turun diruang tengah yang terhubung dengan ruang makan dan dapur aku berpapasan dengan Bunda.

"Sudah bangun neng, yuk sarapan... "

Aku tersenyum kecut.

"Nggak usah Bun, Nia sarapan dirumah aja... "

Bunda tersenyum, seakan mengerti rasa tak nyaman ku ia tersenyum dan mengangguk. Sebelum melangkah ke ruang depan kulirik sebuah kotak makan yang tergeletak diatas meja makan. Disaat yang bersamaan Bunda pun mengikuti arah pandanganku.

"Aduh Araaa, kumaha teh lupa bawa besek na... "

"Itu untuk Ara Bun...?"

"Iya neng...ketinggalan... "

"Biar Nia yang kasih ke Ara, kebetulan Nia mo main ke kafe..."

Bunda terlihat senang dan memberikan kotak makan Ara padaku. Dan lagi-lagi tiba-tiba ada bayang-bayang aneh muncul dikepalaku namun kali ini jepalaku tidak terasa sakit seperti semalam dan bayang-bayang itu terasa lebih jelas meski aku belum bisa mengenali sosok yang ada disana.

"Non Nia kenapa atuh...? "

Suara Bunda membaku ke alam sadarku kembali.

"Oh, nggak apa-apa Bun, Nia pamit... Makasih sudah diizinin nginap... "

Bunda tersenyum dan mengantarku sampai teras depan. Setelah membersihkan diri dan dengan pakaian rapih aku bergegas pergi. Didalam mobil kotak makan Ara kuletakkan diatas kursi depan disampingku. Selama dalam perjalan menuju kafe fikiran ku terus teringat kejadian tadi malam dan pagi ini.

"Ada apa...kenapa...?!"

Hanya pertanyaan itu yang terus mengusikku.






Nexk
Slow update yah




TABIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang