VI.2

297 128 4
                                    

Begitu mendengarnya, aku seketika menoleh. Ternyata ada orang yang sependapat denganku. Dulu aku sudah pernah mengutarakannya kepada Cassie, tapi dia tak menganggap serius ucapanku. Dia tidak melihat ada yang aneh dengan kelakuan murid sekolah kami. Sama seperti murid lainnya di grup obrolan, mereka lebih fokus pada pelakunya daripada keanehan yang terjadi.

"Kau pikir ada yang tidak beres?"

"Yeah. Sama seperti kasus Michael Ahn. Bagaimana mungkin murid yang tak pernah membuat masalah sepertinya tiba-tiba berakhir menjadi seorang pembunuh dan mengakhiri hidupnya sendiri? Pasti ada sesuatu--atau seseorang--yang memicunya."

Alisku sontak berkerut. Ucapannya mengingatkanku akan apa yang dikatakan Jack soal pembunuhan yang dilakukan Ryan West. "Seseorang? Apa maksudmu?"

Sebelum gadis itu menjawab, pintu ruang UKS tiba-tiba bergeser membuka, dan seorang pria berseragam dengan jaket anti peluru membungkus tubuhnya rapat-rapat muncul di pintu. "Kalian bisa keluar sekarang. Ikuti aku," katanya.

Aku bertukar pandang dengan Scar, kemudian dengan patuh mengikuti pria tersebut, yang ternyata membawa kami ke halaman parkir sekolah. Di sana sudah ada banyak mobil kepolisian dan ambulans, sedangkan di beberapa titik para murid berkerumun, dengan beberapa pria berseragam sama dengan pria yang membawa kami tadi berdiri tak jauh dari mereka.

Kami berdua bergabung dengan salah satu kerumunan murid di sudut area parkir. Sebagian besar sedang berbicara di telepon, sementara sisanya berbisik-bisik dengan raut wajah penuh ketegangan. Suasana benar-benar terasa kacau-balau. Aku mengamati setiap murid, dengan penuh harap mencari-cari kalau-kalau ada Cassie. Tapi, sialnya, dia tak ada. Dengan gusar, aku pun mendekati salah satu pria berseragam.

"Permisi, Sir, apakah masih ada murid yang berada di dalam?" tanyaku.

Dia menunduk, menatapku sejenak, kemudian menggeleng. "Yang belum keluar hanya murid yang berada di kafetaria."

Ini buruk. Jika tadinya masih berharap Cassie sempat keluar dari kafetaria sebelum Ian masuk ke sana, kini harapan itu pupus. Ketiadaan gadis itu di area parkir hanya membuktikan satu hal; dia masih berada di kafetaria. Pertanyaannya, apakah Ian menembaknya atau tidak?

Sejumlah paramedis tiba-tiba keluar dari dalam gedung sekolah sambil membawa... entahlah, lima atau lebih usungan. Jeritan histeris seketika berkumandang di udara ketika kami menyadari mereka membawa korban penembakan Ian. Aku dan para murid lain serentak berlari ke arah mereka untuk memeriksa korban. Sayangnya, bahkan ketika masih berada pada jarak yang cukup jauh, aku sudah dapat mengenali salah satunya sebagai Cassie dari gelang anyaman yang melingkari pergelangan tangannya, dan saat itu hatiku pun mencelos.

Ketika sudah berdiri di sebelahnya, aku menyadari kalau kondisinya jauh lebih buruk dari yang dapat kubayangkan. Gadis itu tidak sadarkan diri dan darah membasahi separuh sisi kepalanya. Perutku langsung bergolak mual--ini pertama kalinya aku melihat darah sebanyak itu, tapi aku berhasil menahan diri untuk tidak muntah.

"Cassie!" panggilku, tapi dia tak menyahut, dan untuk sesaat kukira dia sudah mati. Seolah dapat menebak apa yang ada di benakku, paramedis yang membawanya menjelaskan kalau Cassie masih hidup, tapi kondisinya kritis.

Sembari memandangi paramedis memasukkan Cassie ke dalam ambulans, aku mengepalkan tangan dengan geram. Sebenarnya kenapa Ian Davis melakukan semua ini? Bahkan jika dia ingin meniru aksi Michael Ahn, tak seharusnya dia menargetkan Cassie juga. Sean boleh dibilang memang pantas mati, tapi Cassie? Sahabatku tak melakukan kesalahan apa pun! Ini tak adil bagi dia. Aku membalikkan tubuh, tepat ketika dua pria berseragam membawa keluar Ian Davis dengan tangan diborgol.

Wajahnya terlihat sedikit pucat, tapi di mataku dia tidak terlihat menyesali perbuatannya sedikit pun. Ketika menyadari kami semua memandanginya, dia berhenti melangkah dan malah balas menatap kami satu per satu. Sorot matanya menantang, sama sekali tidak ada rasa bersalah di situ, padahal dia baru saja merenggut nyawa paling sedikit lima orang. Yang lebih aneh adalah, aura yang dia pancarkan. Ian Davis yang kutahu selalu memancarkan aura penuh ketakutan. Dia selalu terlihat seperti sosok yang takut kalau bumi akan tiba-tiba terbelah dan menelannya. Tapi pemuda di hadapan kami ini memancarkan aura penuh percaya diri dan kepuasan, seolah dia baru saja melakukan suatu tindakan yang heroik.

"Seharusnya kalian semua juga mati," katanya. Baru kali ini aku mendengarnya berbicara sejelas itu. Biasanya, dia berbicara dengan berbisik-bisik, seakan takut ada orang yang akan mendengarnya dan tiba-tiba menyadari kehadirannya. "Dia bilang, kalian semua pantas mati! Dia bilang, kalian semua harus pergi ke neraka bersama-sama!" teriaknya. Dia masih meneriakkan kalimat yang sama sementara dua petugas di kanan-kirinya menyeretnya lalu dengan kasar mendorongnya masuk ke mobil polisi.

Aku tercengang, tidak habis pikir. Ke mana perginya bocah kurus yang pendiam itu? Perubahannya terlalu drastis. Dan lagi, siapa 'dia' yang dibicarakannya? Ian berbicara seolah ada seseorang yang memberinya ide untuk melakukan tindakan keji ini.

"Pembawa Pesan," tukas Scar. "Pasti dia."

Si anak baru hanya bergumam dan pasti tidak dimaksudkan untuk didengar oleh siapa pun kecuali dia sendiri. Tapi, secara kebetulan, aku mendengarnya dengan jelas. Jadi aku menoleh dan menatapnya lekat-lekat.

"Pembawa Pesan? Apa maksudmu?"

The MessengerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang