Manusia memiliki cara berjalan yang berbeda-beda; tidak ada seorang pun yang sama.
Ini sulit untuk dijelaskan, tapi aku selalu mengenali Cassie, di mana pun aku melihatnya. Penampilannya sendiri memang cukup mencolok, terutama sebagai satu-satunya murid perempuan berambut pendek di sekolah kami--jadi barangkali itu menjadi salah satu faktor pendukung juga. Di luar sekolah aku juga hampir tidak pernah menemui perempuan yang rambutnya pendek. Jika bukannya panjang sepinggang, paling tidak rambut mereka panjangnya sebahu.
Namun, ada kalanya Cassie menutupi kepalanya dengan tudung jaket, dan itulah saatnya aku harus mengenalinya menggunakan cara lain, salah satunya melalui cara berjalannya, apalagi lantaran dia suka berjalan-jalan dengan penampilan seperti itu. Aku pernah bertanya apa sebabnya, tapi dia hanya bilang kalau itu terasa nyaman. Barangkali itu benar, tapi aku cenderung berpikir kalau itu caranya menyembunyikan diri dari dunia. Di balik sikapnya yang keras, Cassie sebenarnya memiliki hati yang rapuh, yang selalu berusaha dia tutup-tutupi.
Gadis itu memiliki ketakutan terhadap banyak hal, terutama masa depannya. Bagaimana jika kita tidak berhasil, Joseph? Aku mendengar pertanyaan itu paling sedikit tiga kali setiap bulan. Dan setiap kali itu pula aku tidak memiliki jawabannya. Tentu saja aku ingin bisa menjawab dengan yakin bahwa kami akan berhasil. Bahwa suatu hari nanti hidup akan membaik. Bahwa kami akan pergi ke ibu kota untuk meraih impian kami bersama-sama.
Tapi aku pun tidak yakin.
Aku bisa dengan yakin mengatakan bahwa kami akan mencoba, tapi aku tidak bisa dengan yakin mengatakan kalau kami akan berhasil. Yah, aku bisa saja berbohong untuk membuatnya merasa lebih baik, tapi Cassie tidak suka dibohongi. Itu sebabnya seringkali aku hanya diam membisu.
Aku menghentikan mobilku di persimpangan lampu merah dan kembali memikirkan sosok Pembawa Pesan yang kami lihat dalam rekaman kamera pengawas tadi. Kami tidak dapat melihat wajahnya sama sekali sebab tak hanya mengenakan masker, dia juga menunduk, barangkali sengaja untuk menghindari wajahnya terekam oleh kamera pengawas, dan kualitas videonya juga jelek. Masalahnya, cara berjalannya itu yang menggangguku.
Cara berjalannya benar-benar persis Cassie.
Terkadang, ketika aku pergi bersamanya ke mal, kami akan berpencar lalu bertemu lagi di suatu titik setelah selesai mencari keperluan kami. Aku sendiri tidak terlalu keberatan menemani Cassie ke toko-toko yang menarik perhatiannya, tapi dia keberatan. Dia tidak suka melihatku membuang-buang waktu, makanya dia mengusulkan agar kami berpencar, kecuali kalau memang ada satu tempat yang ingin kami datangi bersama-sama.
Seringkali, selalu aku yang duluan selesai dan pergi mencarinya. Aku tidak pernah kesulitan menemukan Cassie. Aku selalu dapat menemukan dia, bahkan meski hanya melihatnya dari belakang. Biasanya aku akan menunggu sampai dia selesai berbelanja, barulah menghampirinya.
Itu sebabnya dari tadi jantungku tidak berhenti berdebar kencang.
Selama ini, aku tidak pernah salah mengenali Cassie dari belakang.
Selama ini, aku tidak pernah salah mengenali cara berjalannya.
Namun, Cassie tidak mungkin menjadi Pembawa Pesan, kan?
Apalagi dia bilang padaku kalau papan ketiknya rusak. Itu sebabnya aku membelikan dia keyboard eksternal itu.
Kau sudah gila, Joseph, batinku. Bagaimana bisa kau mencurigai Cassie? Dia sahabatmu! Kau yang paling tahu dia orang seperti apa. Kau yang paling tahu kalau tak mungkin dia melakukan hal sekeji itu.
Aku merasa bersalah, sungguh. Bahkan meski dugaanku nantinya terbukti salah dan dia tak pernah tahu kalau aku sempat mencurigainya, tetap saja aku merasa bersalah. Dia sahabatku. Seharusnya aku mempercayainya seratus persen. Ibaratnya, bahkan jika seisi dunia menuduhnya menjadi pembunuh, aku harus menjadi satu-satunya yang percaya kalau dia bukan pembunuh.
Sebab aku tahu kalau dia akan melakukan hal yang sama untukku.
Cassie sudah membuktikannya dengan menjadi satu-satunya orang yang percaya kalau Joseph Carson kelak akan menjadi musisi ternama di ibu kota.
Lampu lalu lintas berganti menjadi hijau. Aku harus mengambil keputusan sekarang. Maju atau kembali? Aku menelan ludah, kemudian menginjak pedal gas, melajukan mobilku. Rumah Cassie terletak cukup jauh dari sekolah, makanya aku tidak mengajak Scar ikut bersamaku. Ini sudah benar-benar larut malam dan gadis itu memerlukan istirahat. Lagi pula, tak mungkin aku mengajak orang lain memasuki kamar Cassie. Sahabatku itu takkan menyukainya.
Dia bahkan takkan suka kalau tahu aku memasuki kamarnya tanpa izin,
Ketika aku tiba di rumahnya, lampu teras tidak menyala, dan aku tidak tahu apakah itu berarti ayahnya sedang tidak berada di rumah atau hanya tidak cukup peduli untuk menyalakannya. Ada banyak orang di kota ini yang seperti itu--tidak mau repot-repot menyalakan lampu teras demi alasan menghemat listrik. Bisa saja ayah Cassie merupakan salah satunya.
Aku keluar dari mobil dan menghampiri pintu, lalu mengetoknya pelan. Tidak ada sahutan. Tidak terdengar langkah kaki dari dalam. Ini bisa berarti dua kemungkinan : lelaki itu memang tidak ada di dalam atau dia tertidur lantaran mabuk. Alasan kedua lebih sering terjadi, sehingga memaksa masuk sebenarnya boleh dibilang berisiko. Namun untuk kali ini aku tidak punya pilihan.
Aku berjongkok, mengangkat pot kosong yang sudah retak bagian atasnya di dekat kakiku, lalu menyambar sebuah anak kunci dari bawahnya. Cassie memiliki dua kunci; yang satu selalu dibawa-bawanya, sedangkan yang satunya disembunyikan di bawah pot ini, untuk berjaga-jaga seandainya kuncinya hilang. Setahuku ayahnya juga memegang sebuah.
"Maafkan aku, Cassie," bisikku, sambil memasukkan anak kunci ke lubangnya.
Begitu aku membuka pintu, bau pengap bercampur busuk langsung menyeruak, begitu kencang sampai-sampai aku harus menutup hidung dengan sebelah tangan. Tanganku yang lain meraba dinding sampai menemukan saklar untuk menyalakan lampu. Ketika lampu menyala, aku pun tercengang menatap kondisi rumah Cassie.
Sampah serta bungkus sisa makanan berserakan di mana-mana--lantai, meja makan, hampir seluruh tempat yang terlihat. Dari situlah sumber bau busuk tadi berasal. Aku melangkah dengan hati-hati, berusaha menghindari botol-botol kosong yang bertebaran di lantai sembari mengamati sekeliling. Rumah Cassie sangat kecil. Hanya dalam sekali pandang aku sudah bisa melihat seantero rumahnya (kecuali kamar tidur) dan ayah Cassie tidak terlihat di mana pun.
Sejujurnya, rumah ini terlihat seperti sudah berada dalam kondisi seperti ini selama berhari-hari.
Aku langsung menuju kamar Cassie, yaitu ruangan sempit di sebelah kamar mandi. Saking kecilnya kamar itu, Cassie bahkan tak bisa meletakkan kasur di dalamnya. Setiap hendak tidur, dia akan menghamparkan selimut tebal sebagai alas, dan melipatnya kembali ketika bangun di pagi hari. Dia juga memiliki meja lipat yang disandarkan ke dinding jika sedang tak sedang dipakai. Satu-satunya benda berukuran besar di dalam kamar hanyalah lemari dua pintu tempat dia menyimpan pakaian dan beberapa benda lainnya, termasuk laptop. Satu-satunya alasan laptop itu aman berada di sana dan tidak dijual oleh ayah Cassie hanyalah lantaran tidak akan ada yang mau membeli barang dari seorang mantan kriminal sepertinya.
Aku membuka pintu lemari lalu mengambil laptop. Cassie membeli laptop itu sekitar dua tahun silam dengan cara mencicil di sebuah toko online. Bukan model terbaru dan fitur-fiturnya standar, tapi itu yang paling murah. Cicilannya baru lunas tiga bulan lalu, tapi kondisi papan ketiknya sudah menyedihkan lantaran Cassie menggunakannya hampir setiap hari untuk mengerjakan PR. Beberapa huruf sudah tak bisa digunakan, makanya Cassie harus menambahkannya dengan tulisan tangan.
Itu salah satu alasan Cassie tak mungkin menjadi Pembawa Pesan.
Seluruh surat yang dikirim Pembawa Pesan diketik rapi. Tanpa tambahan tulisan tangan.
Akan tetapi, mataku tiba-tiba tertumbuk pada sesuatu yang berada di bawah tumpukan pakaian Cassie yang dilipat rapi. Aku mengangkat tumpukan pakaian itu dan menahan napas sewaktu menyadari benda apa itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Messenger
Mystery / Thriller[Pemenang Wattys 2022 kategori Mystery/Thriller] *** Berawal dari pernyataan pelaku penembakan massal di sekolahnya yang mengaku bahwa dia mendapatkan surat yang memprovokasinya untuk melakukan aksinya, Joseph bertekad mencari sosok pengirim surat t...