XV.1

231 112 0
                                    

Dia hanya mendapatkan apa yang memang pantas dia terima.

Ucapan Tom masih terngiang-ngiang di benakku hingga keesokan harinya. Tidak ada yang salah dari itu. Sean dan para senior yang tewas dibunuh Ian boleh dibilang memang pantas mendapatkannya. Namun--sekali lagi--kebenaran dalam kalimat itu sekaligus sangat tidak adil bagi orang-orang seperti Cassie. Aku tidak tahu persis berapa jumlahnya, tapi Ian menembak paling sedikit tiga murid yang tidak ada sangkut pautnya dengan para pelaku perundungan terhadap dirinya. Hanya saja, tidak seperti Cassie, luka tembakan yang mereka alami tidak mengancam nyawa.

Kemarin malam aku kembali mengunjungi Cassie di rumah sakit dan menceritakan soal pekerjaan terakhir kami. Aku sudah mengirimkan surat-surat itu dan memutuskan tidak akan menerima klien lagi untuk sementara waktu agar bisa fokus mencari Pembawa Pesan. Jujur, hatiku sakit melihat kondisi Cassie yang tidak kunjung mengalami perbaikan. Gadis itu hanya terbaring diam, tidak merespons ucapanku sama sekali, dan itu terasa sangat janggal. Selama bertahun-tahun, Cassie telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidupku. Sejak aku mengenalnya, tidak ada sehari pun berlalu tanpa mendengar suaranya. Bahkan jika kami tidak bertemu, kami akan mengobrol di telepon paling tidak sekali. Jadi situasi saat ini sangat tak biasa bagiku.

Aku merindukan Cassie.

Aku merindukan suaranya. Aku merindukan pembicaraan-pembicaraan kecil kami yang tidak penting. Aku merindukan kehadirannya yang terasa nyata.

Aku merindukan Cassie yang baik-baik saja.

Kemarin aku juga baru tahu dari perawat kalau ayah Cassie sama sekali tidak pernah mengunjungi putrinya di rumah sakit. Lelaki itu benar-benar keterlaluan. Sehari setelah peristiwa penembakan, aku sudah mendatangi rumahnya dan menyelipkan pesan di bawah pintu, jadi mustahil dia tak tahu apa yang terjadi pada Cassie. Bahkan meski dia hanya menganggap Cassie sebagai beban, bukankah dia harus datang menjenguknya paling tidak sekali? Bagaimanapun, Cassie tetaplah darah dagingnya sendiri.

"Kau tidak terlihat bersemangat." Suara serak Scar mengejutkanku. Entah sejak kapan, tiba-tiba dia sudah berdiri di sebelahku. Hari ini rambutnya masih tergerai tapi sedikit lebih rapi daripada kemarin. Sepertinya dia menyisir rambutnya pagi ini. "Memikirkan Cassie?"

Sama seperti aku yang sempat kaget lantaran dia mengingat namaku, kali ini pun dia lagi-lagi membuatku terkejut karena dapat menebak dengan tepat apa yang membuatku tidak bersemangat.

"Kau pasti merasa semua ini tidak adil baginya," lanjut Scar, nada bicaranya mengandung kepahitan bercampur simpati. "Memang benar, Sean dan para perundung itu mendapatkan apa yang pantas mereka dapatkan. Namun tidak bagi korban lainnya, termasuk Mike. Dia memang telah resmi ditetapkan sebagai tersangka, tapi bagiku dia juga korban."

Aku hanya diam, tak yakin apa yang sebaiknya kukatakan. Faktanya, pendapat kami itu subjektif, sebab bukankah kami memedulikan mereka hanya karena mereka penting bagi kami? Cassie penting bagiku, dan itulah sebabnya aku peduli pada fakta bahwa dia turut menjadi korban penembakan Ian. Michael Ahn penting bagi Scar, dan itu sebabnya dia memedulikan fakta bahwa saudaranya berakhir sebagai pembunuh.

Meskipun, terkadang aku bertanya-tanya, apakah akar dari 'kepedulian' kami berdua adalah rasa bersalah? Aku yang merasa bersalah karena meninggalkan Cassie di kafetaria, dan Scar yang merasa bersalah karena tak mengetahui bagaimana saudaranya hidup selama ini. Untuk melindungi diri kami dari rasa bersalah itulah, makanya kami berusaha menemukan dalang dari semua ini. Sebenarnya, barangkali kami hanya sedang berusaha mengurangi rasa bersalah itu dengan memindahkan bebannya ke orang lain, dalam hal ini Pembawa Pesan.

"Jadi, di mana kita bisa menemui orang ketiga?" tanya Scar selagi kami berjalan menuju ke ruangan kelas.

"Kalau kita beruntung, kita bisa menemukannya di gudang kosong di belakang sekolah. Dia suka merokok di sana saat jam makan siang."

"Gudang?" ulang Scar. "Dia juga target perundungan, kan? Kenapa dia malah suka nongkrong di tempat sepi begitu? Bukankah itu hanya memperbesar kemungkinan bertemu para bajingan itu?"

Memang. Tidak banyak orang yang memperhatikan siapa suka nongkrong di mana. Tapi, anehnya, para bajingan SMA Gateaway seolah tahu di mana saja target mereka berada. Yang lebih aneh adalah, para korban tidak belajar dari pengalaman. Contohnya saja Jude--tersangka ketiga kami--yang masih saja sesekali nongkrong di gudang meski dia kerap didatangi geng Sean di sana. Kalau aku, aku bahkan takkan pernah kembali lagi ke sana seumur hidupku. Aku akan mencari tempat lain yang tidak diketahui oleh para bajingan itu.

Jam pelajaran pertama dan kedua berlalu begitu saja. Aku tidak terlalu memperhatikan apa saja yang dibahas tadi. Cassie akan mengomeliku kalau tahu. Kendati dia merupakan tipikal murid teladan, aku bukan. Apalagi, berbeda dengan Cassie yang mengejar beasiswa, yang kubutuhkan untuk pergi ke ibu kota hanyalah ijazah SMA, bukan nilai sempurna. Jadi aku memang tidak pernah merasakan perlunya memperhatikan penjelasan guru.

Saat jam pelajaran ketiga, aku iseng-iseng memeriksa grup obrolan. Ternyata sudah ada banyak percakapan yang tidak kubaca lantaran selama ini aku memang mematikan notifikasinya. Entah kenapa, aku tidak terlalu kaget mengetahui bahwa aku dan Scar rupanya menjadi pembahasan utama belakangan ini--tak heran aku merasa ada banyak mata yang mengamati kami. Pencetus utamanya, tentu saja Darcy. Setelah bosan membicarakan Ian Davis, gadis brengsek itu akhirnya menemukan sumber gosip baru untuk dibicarakan.

Beberapa orang memang menemukan kesenangan tersendiri dari mengarang-ngarang cerita bohong tentang orang lain. Yang lebih parah adalah, ada saja orang yang memercayai kebohongan itu, semata-mata karena mereka tidak mau menggunakan otak mereka untuk berpikir.

Aku membaca hingga selesai, kemudian tanpa sadar mengeluarkan dengusan mencemooh. Scar, yang duduk di sebelahku, mendengarnya dan menoleh. "Ada apa?" bisiknya. Kali ini kami duduk di barisan paling belakang dan tidak ada siapa pun di samping kami. Jadi kami dapat berbisik-bisik dengan cukup nyaman.

Scar tidak bergabung dalam grup obrolan yang sama--dia bahkan belum mendaftar ekstrakurikuler apa pun. Jadi alih-alih menjawab, aku menyodorkan ponselku. "Kau baca saja sendiri," bisikku.

Dia juga tidak tertarik menyimak penjelasan guru kami di depan kelas, jadi dia meraih ponselku dan membaca percakapan di sana. Setelah beberapa menit, dia mengeluarkan dengusan mencemooh yang sama denganku tadi. "Darcy ini gadis brengsek yang waktu itu, kan?" bisiknya, menoleh menatapku, dan aku mengangguk. "Memang orang brengsek ada di mana-mana."

Kami punya alasan untuk marah. Darcy mencetuskan teori konyol bahwa aku dan Scar berpacaran. Tak hanya itu, dia juga menduga kalau kami sudah lama menjalin hubungan jarak jauh, dan akulah alasan Scar pindah dari Metropolitan ke kota kecil kami ini. Beberapa orang tidak percaya, tapi sebagian besar iya.

Sungguh mengejutkan betapa banyak orang yang dengan sengaja memilih untuk memercayai kebohongan, semata-mata karena itu menghibur.

"Jadi, apa yang akan kita lakukan?"

Aku mengedikkan bahu. "Kalau kita melakukan sesuatu, itu hanya akan membuktikan bahwa teorinya benar, kan?"

Beberapa orang suka mencari perhatian dengan cara yang buruk. Darcy adalah salah satunya. Gadis itu sudah terkenal suka menggosipkan orang lain, dan sudah banyak yang menjadi korbannya. Satu-satunya orang yang dengan sukarela bersedia membuang waktu untuk meladeni Darcy hanyalah mendiang Gemma Brown, yang juga terkenal akibat perilaku buruknya. Dulu, sewaktu Gemma masih hidup, mereka berdua kerap beradu mulut di tengah-tengah koridor, masing-masing tampak jelas merasa senang dengan perhatian yang mereka dapatkan.

Scar mendenguskan tawa sinis. "Sebaiknya tidak memberi orang-orang sepertinya apa yang mereka mau. Mari kita lihat apakah dia akan berusaha lebih keras."

The MessengerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang