II.2

446 147 6
                                    

Seperti banyak orang lainnya di sekolah kami, tentu saja dia memiliki banyak alasan untuk membunuh bajingan seperti Sean. Tapi selama ini Michael berhasil menahan diri untuk tidak melakukannya. Dan kukira dia akan bertahan hingga akhir, seperti korban perundungan Sean yang lain--termasuk aku. Jujur saja, aku sudah sering 'membunuh' Sean berkali-kali dalam kepalaku. Jadi aku heran kenapa Michael memilih untuk menyia-nyiakan usahanya selama ini dan mengakhiri hidupnya sendiri? Kenapa orang yang mengatakan bunuh diri itu dosa malah berakhir membunuh orang dan dirinya sendiri? Prinsip dan perbuatannya tidak cocok.

Saat jam makan siang, barulah kabar tentang kematian Michael menyebar di seantero sekolah. Murid-murid kembali heboh untuk kedua kalinya hari ini. Cassie tak terkecuali. Dia nyaris menjatuhkan piring makannya ketika berita duka tersebut mengudara melalui pengeras suara di kafetaria.

"Dia... bunuh diri?" Mata Cassie membelalak. Dia terlihat syok mendengarnya. Dan itu sedikit aneh sebab kami sama sekali tidak dekat dengan Michael. Yah, aku juga terkejut waktu tadi pagi mengetahuinya, tapi tidak seperti Cassie. Sulit untuk dijelaskan, tapi reaksinya terlihat janggal di mataku. Barangkali lantaran Cassie bukan tipe yang memedulikan seseorang yang tidak termasuk dalam lingkup orang-orang terdekatnya.

"Berani taruhan, pasti dia bunuh diri gara-gara merasa bersalah," komentar seseorang di dekatku. Aku tidak ingat namanya, tapi gadis itu seangkatan dengan kami.

"Atau itu caranya lari dari tanggung jawab," timpal temannya.

Yah, kurasa hanya dua teori itulah yang akan muncul di benak sebagian besar murid SMA Gateaway.

Selagi makan siang, aku memeriksa obrolan di salah satu grup. Ada banyak grup obrolan di SMA Gateaway. Sebagian besar terbentuk lantaran anggotanya mengikuti klub yang sama--salah satunya adalah grup yang kuikuti. Seperti yang sudah kuduga, mereka semua sibuk membicarakan kematian Michael. Hanya saja, tidak seorang pun yang menggunakan nada berduka.

"Sudah kuduga dia akan membunuh Sean suatu hari nanti."

"Paling tidak dia sudah melakukan 'hal besar' dalam hidupnya."

"Baguslah dia bunuh diri. Aku tidak mau satu sekolah dengan pembunuh."

Itu hanya sebagian kecil reaksi orang-orang atas kematian Michael. Aku hanya membaca sedikit, kemudian tidak tahan lagi dan memutuskan untuk mematikan notifikasi obrolan. Jika tidak ada peraturan konyol yang mewajibkan kami untuk bergabung dalam grup obrolan semacam ini, sudah lama aku keluar. Membaca komentar-komentar mereka membuatku muak. Aku juga tidak peduli dengan hidup Michael, tapi aku tidak berpikir bereaksi seperti mereka tepat untuk dilakukan.

Ditambah lagi, bagiku Michael tidak terlihat seperti seseorang yang akan menjadi pembunuh. Pasti ada sesuatu yang memicunya.

"Kau pasti tidak percaya Michael bisa membunuh Sean," tukas Cassie. Dia menyeringai ketika aku memberinya tatapan penuh tanya. "Aku selalu bisa membaca isi kepalamu. Kenapa kau pikir Michael tidak bisa membunuh orang? Kau meremehkan dia?"

"Tidak, bukan begitu," sahutku, sedikit gusar namun tidak dapat menemukan bantahan yang tepat.

"Sebagian besar pembunuh adalah orang yang kelihatan biasa-biasa saja." Dia menunjuk dirinya dan aku bergantian. "Seperti kau dan aku. Pertanyaan terbesarnya bukan apa mereka sanggup membunuh atau tidak, melainkan mau atau tidak. Barangkali kesabarannya habis dan dia memutuskan kalau satu-satunya cara hanyalah dengan membunuh Sean. Harus kau akui, kematian Sean memutus rantai perundungan yang cukup signifikan."

Cassie berbicara dengan begitu santai. Tanpa beban sama sekali. Seolah kami sedang membicarakan seseorang yang tidak kami kenal sedikit pun, padahal korban dan pelaku merupakan orang yang kami temui sehari-hari.

"Lagi pula, memangnya kau tak senang Sean mati? Dia juga sering mengusikmu," lanjut Cassie.

Bohong besar kalau aku bilang tidak. Aku tidak memungkiri bahwa kematian Sean berarti hilangnya satu gangguan besar dalam hidupku. Hanya saja, intuisiku mengatakan ada yang aneh. Ada sesuatu yang terasa janggal. Remaja Gateaway City tidak biasanya melakukan aksi kriminal seperti ini. Tingkat kasus bunuh diri serta pembunuhan yang melibatkan remaja benar-benar terbilang kecil di kota kecil ini.

"Yah, aku hanya--entahlah. Rasanya sayang hidup Michael harus berakhir seperti itu. Kudengar dia pelukis yang cukup berbakat. Bahkan guru kesenian kita bersedia memberinya rekomendasi untuk masuk ke fakultas kesenian ternama di ibu kota."

Cibiran terlontar dari bibir Cassie. "Itulah masalahmu, Joseph. Kau itu terlalu baik. Untuk apa menyayangkan hidup seseorang yang bahkan tidak dekat denganmu? Faktanya, pertama, Sean itu pantas mati. Kedua, Michael terlalu pengecut untuk bertanggung jawab atas perbuatannya, dan itu sebabnya dia memilih bunuh diri. Apa yang perlu disesalkan dari itu?"

Kendati terdengar sedikit berhati dingin, tidak ada yang salah dari ucapan Cassie. Namun, mendengar semua itu darinya entah kenapa menimbulkan perasaan tidak nyaman. Semua itu tidak seperti sesuatu yang akan diucapkan oleh Cassie. Sejak aku bersahabat dengannya sekitar delapan tahun silam, Cassie selalu terasa bagai sepatu lama yang menyenangkan. Bagiku, dia adalah sosok yang dapat membuatku menjadi diri sendiri. Aku tidak pernah harus berpura-pura ketika bersamanya. Aku tidak pernah harus menyembunyikan emosi apa pun. Seperti itulah Cassie bagiku.

Namun, saat ini, untuk pertama kalinya sejak kami bersahabat, Cassie terasa seperti orang asing.

The MessengerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang