IX.2

247 124 2
                                    

Dasar berengsek. Tanganku terkepal dan rahangku sontak menegang. Seakan dapat menyadari amarahku yang mulai mendidih, Scar menyentuh lenganku, dan menggeleng pelan ketika aku menemui tatapannya.

Dia beralih menatap Ian. "Katakan, sejak kapan kau mengenal Pembawa Pesan?" tanyanya, tanpa basa-basi.

Aku tidak pernah berpikir untuk mengonfrontasinya secara langsung. Tadinya, aku berniat untuk berbasa-basi. Yah, seperti mengucapkan sepatah-dua patah kata pendahuluan. Tapi rupanya strategi Scar terbukti lebih efektif. Seringai di wajah Ian lenyap dan raut wajahnya seketika berubah menjadi lebih waspada, sangat berbeda dengan ketenangan serta keangkuhan yang sebelumnya dia perlihatkan.

"Aku tak tahu apa yang kau bicarakan," elaknya.

Scar melangkah maju. "Jangan bohong!" tukasnya. "Aku tahu kalau Pembawa Pesan menghubungimu. Dia mengirimimu surat, kan?"

Alih-alih menjawab, sebelah tangan Ian terulur, hendak menggapai tombol di dekat tempat tidur. Barangkali itulah caranya memanggil penjaga di depan. Tapi Scar lebih cepat; gadis itu melesat dan langsung mengunci lengan Ian sampai-sampai pemuda itu mengerang kesakitan.

"Pembicaraan kita belum selesai," kata gadis itu. "Kalau kau tidak mau mengatakan semua yang kau ketahui tentang Pembawa Pesan, akan kupatahkan tanganmu."

Aku tidak yakin si anak baru memang tahu cara mematahkan tangan orang, tapi sepertinya Ian percaya kalau Scar dapat melakukannya dengan mudah. Pemuda itu mengernyit kesakitan sambil mengangguk, tanda dia menyerah. Scar melepaskan pemuda itu, tapi tetap berdiri di sebelah tempat tidur. Seakan dia tengah berjaga-jaga seandainya Ian berniat memanggil penjaga lagi.

Aku ikut melangkah ke sebelah Scar. "Berapa kali kau menerima surat darinya?" tanyaku, mengikuti strategi Scar.

"Tiga kali," jawab Ian, kali ini dengan raut penuh kekalahan. Lucu melihatnya kini dengan sukarela menjawab pertanyaan kami hanya karena takut pada ancaman Scar.

"Di mana surat-surat itu?" tanya Scar.

"Sudah kubuang. Agar tak dibaca orangtuaku."

Sial. Aku sontak bertukar pandang dengan Scar. Sorot mata gadis itu terang-terangan memancarkan kekesalan. Ini berarti kami hanya dapat mengandalkan informasi dari Ian tanpa memiliki kesempatan untuk menganalisis surat yang dikirim Pembawa Pesan.

"Kenapa kau membuangnya?" Scar bersedekap, memandang Ian. "Bukankah itu bisa membantu menjelaskan alasanmu menembaki murid SMA Gateaway?"

Nada sindiran dalam suara Scar pasti sampai ke telinga Ian, sebab pemuda itu langsung melempar tatapan tajam ke Scar. Pasti dia menyesal karena tak sekalian menembak Scar juga hari itu.

"Bahkan jika mereka membacanya, mereka tak akan peduli. Kalian pikir mereka akan mengerti alasanku melakukan semua itu?" Nada bicaranya meningkat. "Bahkan jika mereka tahu alasan sebenarnya, mereka akan tetap menyalahkanku!"

"Memangnya apa alasanmu?" tanyaku sinis.

Bagiku, tidak ada alasan apa pun yang dapat membenarkan perbuatannya menembaki orang-orang. Bahkan jika itu ditujukan sebagai pembalasan dendam. Aku juga salah satu korban perundungan mendiang Sean, dan aku juga sering memiliki niat untuk membalas dendam. Mendorongnya jatuh dari tangga, misalnya, tidak akan terlalu sulit untuk dilakukan. Namun, memperlakukan orang lain sama buruknya dengan bagaimana mereka memperlakukanmu hanya menunjukkan kalau kau berada pada level yang sama rendahnya dengan mereka.

Dan aku tidak ingin berada pada level menyedihkan yang sama dengan Sean.

"Bukankah alasanmu murni semata-mata karena disuruh oleh Pembawa Pesan?" Scar ikut bertanya.

Ian menggeleng dengan raut getir. "Aku melakukannya untuk melindungi diriku. Karena tidak ada orang lain yang akan melakukannya untukku."

Scar langsung mengangguk. "Ah... jadi itu yang dikatakan Pembawa Pesan? Kau harus membunuh mereka sebagai bentuk perlindungan diri? Agar mereka berhenti merundungmu?" Sebelumnya, aku telah menceritakan pada gadis itu mengenai situasi perundungan yang dihadapi Ian di sekolah. Tak kusangka dia langsung menggunakannya untuk menyerang pemuda itu.

"Yah, kurang lebih," Ian mengakui dengan enggan.

"Tapi, beberapa korbanmu bukan pelaku perundungan," kataku geram. Jika perbuatannya merupakan aksi perlindungan diri, kenapa dia juga menembaki orang-orang yang tidak bersalah seperti Cassie? Cassie bahkan tidak pernah berbicara dengannya, dan gadis itu mungkin akan terbaring koma selamanya akibat ulah Ian.

Ian hanya mengangkat bahu dengan ketidakpedulian terpampang jelas di wajahnya. "Mereka hanya sial lantaran berada di ruangan yang sama."

Kali ini Scar tidak sempat menghentikanku. Aku langsung menerjang Ian dan melayangkan tinju ke wajahnya berulang kali. "Bajingan kau!" seruku, meluapkan seluruh kemarahanku melalui tinjuku.

"Joseph, hentikan!" Scar menarik tanganku dari belakang. "Hentikan! Ingat, bukan ini tujuan kita ke sini!"

Ucapannya membuat tinjuku berhenti di udara. Aku mengerjapkan mata, kemudian menatap wajah Ian yang sudah babak belur serta berlumuran darah. Scar benar. Bukan ini tujuanku ke sini. Dan lagi, memukuli Ian, anehnya, tidak membuat perasaanku menjadi lebih baik. Amarahku tidak menjadi surut, malah sebaliknya. Kemarahanku seolah menumpuk di dada, hingga membuatku sesak dan sulit bernapas.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah menjauhi tempat tidur Ian setelah memutuskan kalau peran sebagai pengamat akan lebih cocok bagiku. Begitu aku mundur, Scar langsung mengambil alih situasi.

"Apa kau pernah bertemu dengannya?" tanya gadis itu, mengembalikan arah pembicaraan.

"Tidak," Ian menjawab dengan patuh sambil mengusap darah yang mengalir di sudut bibirnya. Barangkali dia berharap kami akan segera pergi jika dia menjawab semua pertanyaan kami dengan baik. Mungkin aksi pemukulan tadi ada gunanya juga.

"Lantas," lanjut Scar, "bagaimana caramu mendapatkan surat-surat darinya?"

"Dia--entahlah siapa pun itu--meletakkannya di lokerku. Sekali tiap minggu, selama tiga minggu berturut-turut."

Loker? Alisku sontak berkerut dalam-dalam. Ini informasi baru, sebab sebelumnya kami tak tahu bagaimana Michael Ahn mendapatkan surat-surat dari Pembawa Pesan. Informasi itu juga sekaligus membawa kami pada petunjuk pertama mengenai identitas Pembawa Pesan.

Orang itu merupakan salah satu dari kami.

Dia, berada di SMA Gateaway.

The MessengerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang